Minggu, 23 November 2008

Efek Domino Krisis

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=dfb84a11f431c62436cfb760e30a34fe

Efek Domino Krisis Global
Jumat, 21 Nopember 2008 | 14:27 WIB Dias Satria SE.,M.App.Ec
FE Universitas Brawijaya
Peneliti INDEF dan INSEF

Keadaan ekonomi Indonesia jika dibiarkan dalam manajemen ekonomi yang seperti saat ini, lambat namun pasti menuju pada kondisi yang semakin terpuruk. Hal ini disebabkan karena di tengah-tengah krisis finansial global, yang sedikit demi sedikit juga merogoti fundamental ekonomi domestik, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi masih tambal sulam dan belum ada suatu kebijakan besar out of the box, yang memikirkan bagaimana perubahan-perubahan struktur ekonomi Indonesia harus direvitalisasi dan membuat perubahan besar bagi peningkatan investasi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Keadaan ini bisa diilustrasikan sebagai efek kartu domino yang terus bergulir, dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya, dan terus berputar hingga seluruh sektor mengalami nasib yang buruk.

Secara ringkas efek domino bisa dimulai dari ricuhnya pasar saham yang ditandai dengan penutupan bursa saham domestik. Keadaan ini diperparah dengan penarikan beberapa aset domestik (SUN, Saham domestik dll) oleh asing karena krisis likuiditas global atau kebutuhan dana segar dollar, serta paniknya investor domestik sehingga menyebabkan penurunan harga saham yang melewati batas psikologisnya.

Tentu saja hal ini belum berakhir, sejak Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI untuk meredam capital outflow yang semakin menggila dan menekan rupiah hingga terlempar di angka Rp 12.000 per dollar, mulailah efek baru domino dimulai di sektor perbankan domestik. Kenaikkan suku bunga tentu saja telah menampar aktivitas bisnis perbankan karena tingginya biaya dana atau cost of fund. Di sisi lain, tingginya suku bunga tentu akan menjadi preseden buruk bagi sistem keuangan domestik dan kondisi investasi domestik.

Bagi sistem keuangan domestik, tingginya suku bunga akan meningkatkan permasalahan adverse selection, atau seleksi yang salah. Atau dengan kata lain, hanya para peminjam yang berisiko tinggi sajalah yang akan berani melakukan pengajuan kredit. Hal ini tentu saja akan memberikkan efek yang sangat buruk bagi kesehatan perbankan, karena ancaman kredit macet (atau NPL yang tinggi).

Selanjutnya, bagi dunia usaha, tingginya suku bunga domestik tentu akan menyebabkan penundaan ekspansi bisnis baru. Namun bagi mereka yang sudah telanjur melakukan pengajuan kredit tentu akan memberikkan beban yang makin besar khususnya beban bunga.

Meski efek domino yang besar diprediksikan pasti akan terjadi jika suatu jantung perekonomian terjangkit penyakit (sektor perbankan diibaratkan sebagai jantung), namun hingga saat ini pemerintah dan Bank Indonesia terlihat masih sangat konservatif dan proaktif untuk menyelematkan kesehatan sektor ini. Hal ini juga disebabkan karena pandangan too big too fail. Berapa pun biayanya, pasti pemerintah akan menanggung.

Dalam satu minggu terakhir, efek domino krisis ternyata sudah mulai merambat luas khususnya terhadap dunia usaha dan buruh. Beberapa media nasional bahkan secara langsung mempertemukan kedua kubu yang berkonflik ini, terkait dengan upah buruh dan SKB 4 Menteri. Suatu hal yang tidak mudah, baik secara politis maupun ekonomi, karena pemihakan di salah satunya saja pasti akan berisiko bagi pemerintah.

Jelas, bahwa efek domino, lambat tapi pasti sudah mulai merambah dari satu kartu (sektor) ke kartu (sektor) yang lainnya. Dan dapat dilihat bahwa kebijakan pemerintah dalam menghadapi permasalahan ekonomi tersebut sangatlah bersifat tambal sulam dan jangka pendek. Pemerintah sangat, bahkan terlalu fokus terhadap keadaan krisis, hingga terkesan melupakan esensi pembangunan ekonomi yang besar, yang sebenarnya mampu mentsunamikan efek domino yang terjadi saat ini.

Beberapa kebijakan strategi pemerintah dalam menangani krisis, yang sifatnya masih jangka pendek, antara lain: buy back saham, pengawasan dan kebijakan di pasar saham, peningkatan suku bunga SBI, intervensi rupiah, jaminan deposito hingga Rp 2 miliar dan beberapa imbauan untuk tidak melakukan spekulasi valas. Jika dilihat dari kebijakan-kebijakan yang marak diberitakan di media tersebut, jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masih tambal sulam terhadap permasalahan-permasalahan bidang keuangan, untuk meredam krisis keuangan global.

Dalam konteks ini, penyelematan diri saja tidak cukup untuk menghindar dari badai. Bahwa bangsa ini harus mulai bergegas untuk memikirkan pembangunan ekonomi yang sifatnya megaproyek. Kembali negara ini harus belajar bagaimana melihat China yang mampu secara ulet membangun negerinya yang padat penduduk, dengan proyek-proyek megabesar infrastruktur dan industrilisasi. Atau India, yang secara diam-diam telah lama mengembangkan industri besar microchip dan software, serta memperkerjakan masyarakatnya untuk perusahaan-perusahaan besar Amerika dalam bidang jasa pelayanan (call center) dll.

Di luar permasalahan krisis, ada hal lain yang sangat krusial berkaitan dengan pembangunan ekonomi masyarakat di tengah era global perdagangan dunia. Bahwa setiap negara harus dapat mengambil peluang di era globalisasi. Bagi negara yang hanya menjadi penikmat, dalam jangka panjang akan hanya terpuruk dengan shock yang sifatnya eksternal. Mereka tidak akan pernah menikmati kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup yang baik. China sudah memulai perubahan besar sejak tahun 70an, dan India sejak 90an. Jika Indonesia belum memulainya, mungkin kita juga tidak mungkin bisa berangan-angan bahwa bangsa ini akan dikenal dengan kekuatan ekonominya di masa depan. *