Senin, 02 Maret 2009

IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo

IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo

Published by Dias Satria at 1:33 pm under i am the economist Edit This

[ Senin, 23 Februari 2009 ] Jawapos
IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo

Memahami pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah/dolar dalam beberapa pekan terakhir cukup mengkhawatirkan beberapa pihak. Penurunan IHSG yang menyentuh posisi 1.296 dan rupiah yang menyentuh 12.050 pada penutupan Jumat (20 Februari 2009) mengindikasikan bahwa kondisi pasar keuangan domestik berada pada posisi rawan.

Pelemahan rupiah dan IHSG di tengah-tengah ambruknya bursa regional dan belum pastinya pemulihan ekonomi AS, secara mudah dan gamblang disebut-sebut sebagian pengamat sebagai penyebab utama masalah ini. Bahkan, pelemahan ini dianggap fenomena yang lazim di saat suatu negara sedang mengalami resesi.

Pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG seharusnya dapat dilihat dalam perspektif yang luas bahwa fenomena ini bukan sekadar fenomena moneter. Lebih dari itu, secara ekonomi politik banyak hal yang menyebabkan keterpurukan ini.

Makroekonomi v Ekonomi Politik

Dalam perspektif makroekonomi, pelemahan indikator IHSG dan kurs mudah dipahami. Bahwa pelemahan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang mendeterminasikannya dalam jangka panjang dan jangka pendek.

Dalam jangka panjang, penguatan kurs dan IHSG dipengaruhi oleh faktor seperti: produktivitas ekonomi, harga relatif, hambatan perdagangan, dan kinerja ekspor/impor.

Dalam konteks ini, jika salah satu atau beberapa faktor di atas memberikan efek positif pada kondisi neraca perdagangan (surplus), kurs dan IHSG akan meningkat secara bersamaan. Rasionalnya, jika barang produk Indonesia laku di pasar dunia, permintaan rupiah meningkat (kurs terapresiasi). Contoh lain, jika industri produk domestik semakin baik dalam kompetisi global, investor-investor akan memburu saham-saham domestik (IHSG terdongkrak).

Namun, penjelasan di atas tentu tidak dapat ditelan bulat-bulat bahwa dalam pandangan ekonomi politik (non mainstream), ada pertimbangan lain yang menyebabkan rasionalitas di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pertama, nilai perdagangan valas (mata uang) jauh lebih besar dibanding nilai perdagangan barang dan jasa. Hal ini membuktikkan bahwa neraca perdagangan yang positif belum tentu mendongkrak kurs dan IHSG. Dalam konteks ini tingginya pengaruh sentimen pelaku pasar dan transaksi spekulatif mendominasi ekspektasi investor.

Kedua, tingginya penggunaan US dolar dalam perdagangan internasional semakin menjelaskan bahwa surplus perdagangan (ekspor lebih besar dibanding impor) belum tentu meningkatkan permintaan rupiah. Sebab, partner dagang akan menyukai pembayaran dalam bentuk US dolar.

Lemahnya penjelasan makroekonomi tentang determinasi nilai tukar jangka panjang, mendorong pembenaran lain dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan volatilitas dan fluktuasi kurs dan IHSG cenderung tinggi dalam jangka pendek.

Secara sederhana, dalam konteks jangka pendek, dua faktor utama yang dipertimbangkan ialah perbedaan suku bunga (domestik dan asing) dan ekspektasi. Sebagai contoh, jika suku bunga riil (suku bunga domestik dikurangi suku bunga asing) adalah positif, kemungkinan capital inflow yang dapat memperkuat posisi mata uang domestik akan semakin meningkat.

Namun, tentu saja, rasionalitas tersebut dapat memberikkan efek yang mungkin berbeda dan membingungkan. Sebagai contoh, tren suku bunga yang meningkat bisa diartikan investor sebagai preseden buruk dalam suatu perekonomian karena suku bunga yang tinggi bisa berarti inflasi yang tinggi, dan kontraksi ekonomi. Akibatnya, ekspektasi investor akan semakin negatif, yang terefleksi dengan semakin enggannya investor asing/domestik memegang aset domestik.

Dalam konteks jangka pendek, kedua faktor di atas (perbedaan suku bunga dan ekspektasi) memang memainkan peran penting dalam menjelaskan pergerakan bursa dan kurs yang cenderung fluktuatif dan liar. Namun, lebih dari itu, pemahaman yang menyeluruh tentang perilaku pasar dan pemain-pemain di dalamnya juga harus menjadi perhatian serius.

Pertama, kondisi anomali di pasar keuangan yang cenderung liar membutuhkan strategi ekonomi politik yang tepat dan komprehensif. Volatilitas pasar keuangan yang berlebihan harus dapat diregulasi dengan ketat dan kuat, dengan mengontrol modal yang ketat. Krisis keuangan yang terjadi pada 1997 seharusnya dapat menjadi pelajaran penting bahwa krisis ekonomi meluas, berawal dari indikator pasar saham dan pasar keuangan yang semakin drop. Selanjutnya, keikutsertaan asing dalam pasar keuangan domestik harus dapat diregulasi dengan ketat, namun tidak berpaling dari prinsip fairness dan keterbukaan.

Kedua, intervensi Bank Indonesia (BI) jelas tidak akan efektif dengan hanya melakukan intervensi yang bersifat unsterilized dan sterilized di pasar uang. Hal itu disebabkan kemampuan dan kapasitas cadangan devisa BI sangat-sangatlah terbatas. Di sisi lain, intervensi pasar valas yang berlebihan akan berdampak cukup berat dalam pengelolaan uang beredar dan pencapaian target inflasi. Bahwa intervensi valas mungkin akan berkonflik dengan pencapaian target inflasi.

Membangun Kerja Sama Regional

Penguatan bursa saham domestik dan mata uang lokal tidak akan efektif jika dilakukan dengan kemampuan sendiri. Nasib serupa yang dialami bursa regional setidaknya harus dapat mendorong kerja sama regional dalam konteks penguatan sistem keuangan. Hal ini disebabkan tiga rasional penting. Pertama, kekuatan dolar dalam sistem pembayaran dalam perdagangan internasional tentu bukanlah hal mudah untuk ditaklukkan.

Kedua, tingginya aksi spekulatif para Hedge Funds (spekulator besar) tidak akan dapat ditandingi bank sentral mana pun di dunia. Ketiga, penyelamatan pasar keuangan juga berarti penyelamatan ekonomi secara luas. Dalam hal ini jika pasar keuangan dibiarkan bankrupt, efek penularan krisis lambat laun akan menyebar bak penyakit epidemi.

*. Dias Satria SE MAppEc, dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Unibraw, Malang

Manipulasi Yuan dan Ketidakseimbangan Global

AMERIKA GERAM DENGAN CHINA

(Manipulasi Yuan dan Ketidakseimbangan Global)

Dias Satria SE.,M.App.Ec

Para pengambil kebijakan (Policy Makers) Amerika Serikat bukan saat ini saja geram melihat China yang terus melakukkan manipulasi terhadap nilai tukarnya Yuan. Sejak China meningkatkan surplus neraca perdagangannya dan mengumpulkan cadangan devisa Dollar yang semakin banyak, para pengambil kebijakan AS mulai menyuarakan ketidaknyamanannya atas strategi nilai tukar China tersebut.

Kebijakan manipulasi China dengan mengundervalue nilai Yuan, sudah barang tentu akan semakin meningkatkan kinerja ekspor produk-produk China di pasar global. Dan hal ini tentu akan mengurangi daya saing produk-produk AS dan Negara lain di pasar dunia.

Apa yang dilakukkan China?

Yang diklaim para pembuat kebijakan AS tentang “manipulasi Yuan” adalah bahwa Bank Sentral China dianggap telah melakukkan intervensi yang kuat dengan tidak membiarkan nilai tukar Yuan terapresiasi atau meningkat terhadap US Dollar. Nilai Yuan memang seharusnya terapresiasi terhadap US Dollar, karena dengan semakin meningkatnya perdagangan internasional China maka permintaan terhadap nilai tukar Yuan seharusnya meningkat, dan ini akan meningkatkan nilai Yuan terhadap US Dollar. Namun, hal ini tentu bukanlah merupakan hal yang mudah bagi China untuk membiarkan itu terjadi.

Pertama, dengan meningkatkan nilai tukar Yuan terhadap US Dollar pasti akan menurunkan kinerja ekspor mereka, karena semakin meningkatnya harga barang China di pasar internasional.

Kedua, standar nilai tukar perdagangan internasional yang menggunakan US dollar tentu akan mendorong setiap Negara untuk melakukkan pegging terhadap US Dollar, termasuk China. Hal ini dilakukkan untuk menjaga stabilitas harga produknya di luar negri, dan menjaga resiko pembayaran luar negri.

Bagi AS, jelas, bahwa kebijakan tersebut akan melemahkan daya saing produk AS khususnya dalam tataran harga di pasar internasional. sehingga klaim yang keras terhadap strategi curang China tersebut juga dapat diterima secara nalar. Bahwa Kebijakan “manipulasi Yuan” ini jugalah yang telah banyak berkontribusi terhadap resesi yang terjadi di AS, mulai dari meningkatnya pengangguran, kredit macet dan kebankrutan perusahaan-perusahaan AS.

Sumbernya adalah US Dollar sebagai standar pembayaran dunia

Bagi Amerika, mendepresiasikan nilai tukarnya untuk mendorong kinerja ekspor bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan karena dollar digunakan secara internasional untuk perdagangan bebas. Sehingga permintaan selalu muncul tatkala perdagangan internasional terjadi, dan tentu akan meningkatkan kekuatan sisi permintaan bagi dollar. Di sisi lain, posisi unik nilai tukar Dollar di pasar uang dan barang dunia yang diterima secara luas sebagai alat tukar universal atau medium of exchange juga tidak dapat dipungkiri, semakin meningkatkan permintaan yang terus menerus terhadap US dollar.

Jika kita lihat posisi yang unik dari US dollar, tentu memberikkan keuntungan dan kerugian bagi ekonomi domestic AS. Secara positif, tentu saja akan mendorong surplus transaksi keuangan AS, karena semakin menariknya asset-aset berdenominasi Dollar. Namun efek negatifnya, aliran uang yang terlalu deras di AS sudah pasti akan mendorong pada penetrasi kredit yang berlebihan. Akibatnya sudah jelas terlihat, kredit macet dan kebankrutan sector keuangan dimana-dimana. Hal ini disebabkan karena sector keuangan sudah tidak lagi mengindahkan prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Tidak hanya buruk bagi AS, tapi juga Dunia

Strategi manipulasi dari sudut pandang manapun tentu tidak dapat diterima secara logika. Karena perilaku tersebut sama halnya dengan perilaku menyimpang (Moral Hazzard), dan tentu saja akan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain (Zero sum game).

Jika kita berbicara arsitektur perdagangan internasional (pasar bebas) dimana masing-masing pihak memegang secara amanah prinsip-prinsip berekonomi yang baik, maka transaksi yang sifatnya merugikan sebaiknya dilarang dengan tegas. Dan yang dilakukkan China tentu saja adalah “salah” dengan memanipulasi nilai tukarnya agar dapat memenangkan perdagangan dalam ajang kompetisi global. Yang ditakutkan adalah jika Kebijakan curang yang dilakukkan oleh satu Negara memicu perilaku yang sama oleh Negara lainnya (Beggar thy Neighbour), keadaan ini mirip sekali dengan sejarah transaksi perdagangan dunia yang terjadi sebelum GATT (General Agreement on Tarrif and Trade)-cikal bakal WTO (World trade organization). Dimana pada saat itu, setiap Negara dengan seenaknya melakukkan hambatan perdagangan dengan meningkatkan tariff yang tinggi terhadap barang-barang impor. Kebijakan ini kemudian direspon negative oleh partner dagang mereka, sehingga menyebabkan kebekuan perdagangan internasional. hal ini secara ekonomi popular dengan istilah Tragedy of the commons.

All in all

Kebijakan manipulasi Yuan, tidak selamanya baik bagi China. Karena menginjeksi dana hanya untuk mengundervaluekan nilai tukarnya tentu bukanlah kebijakan yang sustainable. Kebijakan ini memiliki biaya opportunity yang juga besar. Hitung saja berapa biaya yang harus dikorbankan untuk program kemiskinan di China, program infrastruktur, kesehatan, pendidikan dll demi menjaga nilai tukarnya rendah terhadap US Dollar. Jelas, kebijakan ini boomerang bagi China sendiri.

Di sisi lain, bagi dunia, kebijakan manipulasi Yuan juga tidak dapat diterima secara prinsip. Bahwa dalam kompetisi perdagangan dunia, kita harus menjunjung tinggi asas Fairness.

Survive di saat resesi datang

Survive di saat resesi datang

Dias Satria SE.,M.App.Ec.

(Dosen Jurusan EKonomi Pembangunan Universitas Brawijaya dan Peneliti INSEF Surabaya)

Masa depan ekonomi dunia, seakan belum menunjukkan titik terang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ramalan (forecasting) yang dilakukkan oleh lembaga-lembaga internasional, termasuk majalah The Economits yang menyebutkan bahwa tahun 2009 sebagai “The Year of Unsustainability” dimana resesi ekonomi akan datang, pertumbuhan ekonomi akan melambat dan kebankrutan dimana-mana. Tahun yang disebutkan dimana perusahaan-perusahaan akan memotong biaya produksi dan me”rumah”kan para pekerjanya.

Bagi Indonesia, tahun 2009 merupakan even besar dalam pesta demokrasi. Jumlah uang beredar tidak mustahil beredar cepat, karena kebutuhan akan pembiayaan kampanye dan pesta politik. Selanjutnya Bagi dunia usaha, tentu akan sangat sulit melakukkan ekspansi jika tidak terkait langsung dengan even besar ini. Maka sebagian besar dari mereka tentu hanya menunggu dan melihat, apa yang terjadi di tahun 2009.

Kondisi tersebut tentu bukanlah hal yang sangat mudah bagi recoverynya denyut nadi perekonomian domestik. Pertama, kondisi yang tidak tentu di saat pesta demokrasi, sudah pasti akan mengurungkan niat para pengusaha untuk melakukkan ekspansi lebih jauh. Kedua, kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah incumbent mungkin akan cenderung melakukkan kebijakan-kebijakan popular yang inflasioner (memacu harga tinggi). Ketiga, kondisi resesi tentu akan menurunkan pendapatan masyarakat dan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Keempat, kondisi resesi tentu akan mengurungkan ekspansi kredit oleh perbankan sehingga mengurangi performace sektor riil secara umum.

Lemahnya kinerja ekonomi Indonesia, setidaknya akan memperburuk indikator sosial ekonomi domestik khususnya pada tingkat kemiskinan dan pengangguran. Dan, jika mungkin dapat dihitung adalah efek resesi ekonomi pada kerusakan lingkungan. Mengapa? Dengan semakin menurunnya profit perusahaan, concern perusahaan terhadap lingkungan sebagai tanggung jawab korporasinya (CSR) tentu akan semakin menurun.

Efek yang cukup signifikan pada perekonomian, tentu akan berimplikasi negatif pada banyak pihak. Khususnya bagi perusahaan yang kehilangan profit, Pekerja yang kehilangan pekerjaan, Lulusan yang tidak dapat pekerjaan dan masyarakat yang semakin miskin.

Dalam menjawab tantangan kedepan, tentu dibutuhkan kebijakan yang down to earth yang mampu menjawab problem yang rumit dalam ekonomi. Secara sederhana, 2 perspektif kebijakan ekonomi (jangka pendek dan jangka panjang) harus dapat diterapkan secara optimal dan proporsional, tanpa membebankan pada salah satunya.

Dalam jangka pendek, policy mix (bauran kebijakan) kebijakan fiskal dan moneter mungkin akan membantu meminimalkan distorsi pada siklus bisnis. Namun analisis lebih dalam tentu harus dilakukkan lebih lanjut sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Terkait dengan kebijakan fiskal, pandangan teoritis yang melihat tambahan output (pertumbuhan ekonomi) akibat kebijakan ekspansi fiskal memang tidak selamanya salah. Namun perlu difahami bahwa kebijakan fiscal sangat rentan dengan masalah keberlanjutan (sustainability). Pertama, fiscal yang berat akan membebankan anggaran pemerintah di masa depan. Dan, kebijakan ini biasanya akan memberikkan efek negative dengan peningkatan koleksi pajak yang semakin besar di masa depan. Kedua, kebijakan fiscal “pengeluaran pemerintah” mungkin akan menciptakan lapangan pekerjaan dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang efeknya dipertanyakan. Kecuali jika proyek infrastruktur dengan dana tersebut, mampu menarik investasi baru yang masuk. Ketiga, kebijakan fiscal rentan terhadap terjadinya efek crowding out, atau dengan kata lain dapat mengurangi investasi swasta.

Terkait dengan kebijakan moneter, “sudah sangat jelas” bahwa perlakuan kebijakan suku bunga (SBI) dalam menjaga stabilitas harga masih sangat diragukkan kefektifannya. Hal ini disebabkan karena Inflasi yang terjadi masih sangat rentan akibat inflasi yang bersumber dari administered price (kebijakan pemerintah) dan volatile foods (inflasi bahan makanan). Dan faktor yang terakhir (volatile foods), bukanlah permasalahan yang mudah, karena terkait dengan permasalahan yang kompleks dibidang tata niaga, tingkat kompetisi usaha dan kebijakan pemerintah. Sehingga, efektivitas kebijakan moneter dari BI seharusnya difokuskan pada penjagaan stabilitas system keuangan khususnya pada aliran modal masuk dan penjagaan stabilitas nilai tukar rupiah. sedangkan, penjagaan inflasi domestic tetap harus dapat disinkronkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait.

Dua kebijakan diatas merupakan kebijakan jangka pendek, yang tentunya memiliki limitasi (keterbatasan) yang sangat tinggi. Khususnya di saat resesi ekonomi yang sangat rentan dengan kondisi yang unconditional (tidak biasa) dan uncertainty (tidak tentu). Sehingga perspektif kebijakan jangka panjang, tidak boleh dilupakan oleh pemerintah. Kunci dasarnya adalah bagaimana mengubah bangsa ini melewati step-step pembangunan, dari perekonomian yang sub sistem ke perekonomian yang lebih inovatif dan berbasis pada kemajuan teknologi tinggi.

Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran yang strategis dalam pengelolaan ekonomi. Dan tentunya dibutuhkan kebijakan yang jangka panjang dan bukan kebijakan yang “karbitan”. Perlu dilakukkan perencanaan yang matang, dan partisipasi yang aktif dari seluruh stakeholder swasta agar partisipasi pembangunan dapat berjalan maksimal. Dalam konteks ini, pengenalan teknologi tinggi pada industry-industri kecil harus dapat difasilitasi oleh pemerintah.

Disisi lain, pemerintah tidak boleh melupakan nasib si kecil “masyarakat miskin”, dan pembangunan desa. Bahwa kebijakan pemerintah tidak boleh hanya difokuskan pada pemberian bantuan yang sifatnya jangka pendek dan tidak memperhatikkan keberlanjutan (sustainability). Intinya ada di dua hal, yaitu: pembangunan komunitas ekonomi masyarakat desa (Kredit mikro, pembangunan sektor pertanian dll) dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (Investing People). Dua hal tersebut merupakan kebijakan sederhana yang dimungkinkan dapat sustainable, dan dapat menopang kinerja ekonomi yang sedang mati suri.

Malang Raya Ekonomi Adem Ayem

MALANG RAYA: EKONOMI ADEM AYEM !

Dias Satria SE.,M.App.Ec

(Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya)

Perekonomian Malang Raya hingga kini seakan belum menunjukkan lompatan yang gemilang dibidang ekonomi, meski akhir-akhir ini Kota Batu meluncurkan terobosan baru dunia entertainment dengan julukan Batu Next Spektakuler. Namun terobosan ini bukan tidak akan memberikkan efek yang positif bagi pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, hanya saja satu terobosan tersebut akan sulit sekali berkembang jika permasalahan dasar yang dihadapi oleh Malang Raya belum dapat diselesaikan secara optimal. Hal ini disebabkan karena meski Malang Raya bukanlah satu kesatuan wilayah, namun ketiga wilayah tersebut (Kota Batu, Kab Malang dan Kota Malang) memiliki keterkaitan histori dan ekonomi yang sangat kuat. Sehingga kedepan, diharapkan Malang Raya dapat berkembang menjadi sebuah icon penting bagi barometer pembangunan di wilayah Jawa Timur.

Untuk memetakan secara sederhana perekonomian Malang raya, dapat dilihat secara ringkas dari kontribusi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) masing-masing sektor. Kita akan melihat 2 sektor dominan di masing-masing daerah (Kota/Kab. di Malang Raya). Pertama, Kota Batu dapat diidentifikasi sebagai Kota yang bebasis pada sektor Perdagangan, Hotel dan Pariwisata dan sektor pertanian. Kedua, Kota Malang berbasis pada sektor industri manufaktur dan sektor Perdagangan, Hotel dan Pariwisata. Ketiga Kabupaten Malang berbasis pada sektor Pertanian dan sector Perdagangan, Hotel dan Pariwisata. Sehingga dapat disimpulkan ketiga daerah di wilayah Malang Raya bertumpu pada 3 sektor dominan, yaitu: sektor Perdagangan, Hotel dan Pariwisata, Pertanian dan Industri Manufaktur.

Ketiga sektor tersebut tentu memberikkan andil yang sangat besar, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi Malang Raya dan pembukaan lapangan kerja. Sehingga jika terjadi kemandekkan sector-sektor tersebut, sudah barang tentu akan menyebabkan permasalahan yang kronis bagi pendapatan ekonomi masyarakat Malang Raya.

Kembali pada statement diawal yang menyebutkan tentang lompatan yang gemilang dibidang ekonomi, tentu bukanlah sindiran yang “kontraproduktif” atas kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilakukkan oleh pemda setempat, namun lebih pada motivasi dan semangat. Bahwa, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya sampai disini saja, yang hanya “adem ayem” saja, di batas comfort zone. Namun diharapkan dapat melompat, sehingga berdampak positif bagi perbaikkan kesejahteraan masyarakat (welfare).

Sebelum lanjut, pada apa yang harus dilakukkan kedepan. Ada baikknya kita mengidentifikasi sejenak fakta-fakta dilapangan terkait dengan keadaan saat ini di Malang Raya (existing condition). Pertama, jika diperhatikkan secara “umum” saja, bahwa pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah di Malang Raya cenderung flat atau datar, atau jika meningkat tidak meningkat signifikan. Kedua, jika dilihat indikator kemiskinan ada kecenderungan yang menurun, meski menurunnya juga tidak signifikan. Ketiga, jika dilihat dari kondisi fiskal (Penerimaan Daerah), ada kecenderungan juga meningkat, meski kenaikkannya juga tidak signifikan. Fakta-fakta inilah yang bisa dibilang sebagai perekonomian yang “adem ayem” dan belum dapat dikatakan sepenuhnya berhasil.

Saya sangat setuju dengan pernyataan, “Sedikit demi sedikit, nanti menjadi bukit”. Namun tentu kita harus melihat daerah-daerah lain tidak hanya di Indonesia, jangan-jangan daerah-daerah lain tersebut telah mengubahnya menjadi sebuah gunung, dan kita masih bangga dengan hanya capaian bukit. Oleh karena itu, lompatan gemilang perlu untuk dilakukkan demi meningkatkan performance yang jauh lebih besar dan hebat.

Sedikit melihat kepiawaian India, yang dalam sekejap (kurang dari satu dekade), mampu membuat Amerika menjadi ketar-ketir. Bukan karena nuklirnya, bukan karena persenjataannya, tapi karena isi otak yang ada dalam masyarakatnya (India), mampu menggeser orang-orang Amerika di negaranya sendiri. Singkat kata, Orang-orang India mampu menggantikkan para ahli-ahli IT (information Technology) yang berpusat di Silicon Valley (Amerika), dengan kekuatan di Bangalore (India) dengan para ahli orang-orang India. Pelajaran penting disini, bahwa pembangunan manusia (Human Resource Development) menjadi suatu kunci sukses suatu daerah atau Negara. Dan inilah salah satu lompatan gemilang India, dibidang ekonomi di tahun 2000.

Kembali dalam konteks malang, singkat kata, bahwa perbaikkan-perbaikkan dan andil pemerintah serta swasta memiliki peran yang strategis dan sangat penting bagi kemajuan Malang Raya. Keadaan krisis saat ini, tentu tidaklah mudah untuk menanggulanginya. Sehingga jika pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan kekuatan fiskal, tidak mengalami perubahan atau penurunan di tahun 2009, kita boleh berbangga dengan pemerintah malang raya. Karena bertahan disaat badai merupakan prestasi yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Namun tentu saja, dispensasi ini hanya jangka pendek saja. Tetap, dalam jangka panjang kita menunggu lompatan-lompatan gemilang tersebut.

Dalam konteks ini, permasalahan dasar ekonomi malang raya yaitu: pengangguran, inflasi (stabilitas harga) dan kemiskinan, harus dapat diprioritaskan secara baik. Hal ini tentu membutuhkan dukungan pemerintah yang bersih dan pemerintah yang smart (pintar). Mengapa peran pemerintah menjadi sangat strategis? Contoh sederhana saja, pengelolaan keuangan yang berwawasan pro-poor budget sudah pasti akan menjawab tantangan kebutuhan dasar masyarakat miskin (pendidikan, kesehatan dll). Sehingga, kebijakan tersebut dapat menjadi step awal bagi masyarakat miskin untuk turut serta mengambil kesempatan dalam pembangunan, dan menghindari mereka dalam lingkaran setan kemiskinan. Kedepan tentu beban pemerintah akan semakin ringan, karena semakin terangkatnya kaum miskin di wilayah tersebut. Contoh lain, pemerintah yang bersih dan smart sudah pasti akan melakukkan pengaturan ekonomi secara baik. Dalam konteks ini level of playing field bagi pemain kecil dan besar tidak akan terganggu karena adanya pengaturan tersebut. Atau dengan kata lain, system ekonomi predator tidak akan berjalan di bumi Malang Raya.

Dalam menjamin perekonomian yang sehat, dan memiliki lompatan-lompatan gemilang dalam pembangunan setidaknya ada beberapa hal dasar yang harus dilakukkan pemerintah Malang raya.

Pertama, Pemerintah harus memastikkan bahwa kebutuhan dasar masyarakat miskin dapat terpenuhi (Pendidikan, Kesehatan, Perumahan dll). Hal ini menjadi sangat penting untuk memberikkan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk turut serta dalam pembangunan ekonomi, dan mengeluarkan mereka dari lingkaran setan kemiskinan.

Kedua, Pemerintah harus memastikkan bahwa kebutuhan infratruktur dasar haruslah terpenuhi (Jalan, pelabuhan, airport, listrik, telekomunikasi dan koneksi broadband). Infrastruktur yang baik dan maju, akan sangat menolong aktivitas ekonomi masyarakat, dan mengundang investor untuk masuk.

Ketiga, Pemerintah harus mendorong terciptanya kondisi ekonomi yang stabil dan aman.

Keempat, Pemerintah harus mengupayakan suatu sistem asuransi sosial masyarakat yang baik dan professional. Hal ini menyangkut kepedulian pemerintah untuk melakukkan pengaturan yang efektif pada dana pensiunan dan kesehatan masyarakat.

Kelima, Pemerintah harus dapat mendorong terjadinya diseminasi teknologi maju dan terapan kepada para pengusaha-pengusaha daerah (lokal).

Keenam, Pemerintah harus dapat melakukkan pengaturan yang efektif pada kondisi lingkungan dan kesinambungan ekosistem alam.

Keenam solusi diatas tentu dapat dibreakdown secara lebih komprehensif, sehingga dapat menjadi acuan bagi kebijakan-kebijakan strategis di daerah. hal ini tentunya diharapkan agar Malang Raya bisa lebih dinamis dalam perkembangan ekonominya. Modal utama Malang Raya yaitu “Sumber Daya Manusia” yang berkualitas yang ditelurkan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada di wilayah ini setiap tahunnya, diharapkan dapat menjadi amunisi awal yang dahsyat bagi pembangunan ekonomi Malang Raya yang berkelanjutan. Hidup AREMA raya.

(www.diassatria.web.id)

Bahaya Kartu Kredit

BAHAYA KARTU KREDIT DAN KREDIT KONSUMEN (CONSUMER LOANS)

Dias Satria SE.,M.App.Ec.

(Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya)

Penggunaan kartu kredit dalam kehidupan modern tentu sudah tidak mungkin dapat dipisahkan lagi. Hal ini berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, informasi dan peradaban manusia yang semakin modern, yang cinta akan kemudahan, life style dan inovasi.

Tumbuhnya penggunaan kartu kredit didukung dengan semakin berkembangkan akses penggunaan kartu kredit di setiap aktivitas bisnis di tempat-tempat perbelanjaan, serta kebutuhan masyarakat modern untuk dapat menikmati sistem pembayaran yang canggih dan simple.

Namun penggunaan yang berlebihan dalam kartu kredit dapat menyebabkan permasalahan yang serius bagi nasabah tersebut, serta issuer (Bank yang bersangkutan).

Permasalahan dalam penggunaan kartu kredit yang harus diwaspadai oleh nasabah, antara lain:

Pertama, Nasabah biasanya tidak mengetahui secara pasti penghitungan bunga yang rumit, yang dikenakan oleh bank. Nasabah juga harus lebih kritis dalam menerima tawaran bunga 0% atau rendah, jika mampu membayar pada jatuh temponya. Hal ini disebabkan karena biasanya bunga yang dikenakan setelah masa jatuh tempo akan semakin tinggi dari suku bunga rata-rata.

Kedua, Nasabah sebaiknya mengetahui secara pasti kemampuan keuangannya. Apakah dari sisi keuangan mereka telah mampu menggunakan kartu kredit atau belum!. Selanjutnya nasabah juga harus memahami bahwa biaya bunga dan fee yang dikenakan pada kartu kredit biasanya lebih tinggi dari suku bunga modal kerja atau investasi. Sehingga sebelum meminjam mereka sudah mengetahui beban bunga dan fee yang harus ditanggung.

Ketiga, Nasabah sebaiknya mengenal karakter pribadinya dalam mengatur keuangan. Jika mereka merasa bahwa manajemen keuangan pribadinya sangat buruk, maka penggunaan kartu kredit yang berlebihan akan membahayakan masa depan keuangan mereka. Hal ini semakin parah, jika penggunaan kartu kredit lebih dipentingkan karena alas an gaya hidup atau life style dibandingkan penggunaan yang rasional untuk berjaga-jaga (safety net).

Terakhir, Nasabah harus memahami bahwa penggunaan kartu kredit yang berlebihan dan tidak berhati-hati dapat menimbulkan permasalahan resiko penipuan (fraud risk). Hal ini mungkin terjadi pada kasus penggunaan internet, atau penggunaan di merchant-merchant kecil yang diragukan kredibilitasnya.

Tentu saja kewaspadaan dalam penggunaan kredit bukan berarti menghindarkan diri anda dari penggunaan sistem pembayaran yang modern, seperti: kartu kredit, karena sistem pembayaran yang maju ini tentu juga memiliki kemanfaatan yang juga luar biasa dalam aktivitas bisnis.

Namun penggunaan yang membabi buta, tanpa didasari dengan pemahaman, kemampuan dan karakter yang baik, tidak hanya akan merugikan diri anda sebagai nasabah. Namun juga akan membahayakan bagi issuer atau bank pengeluar kartu kredit. Dan, sistem perbakan dan keuangan secara umum.

Selanjutnya, kewaspadaan juga harus ditingkatkan oleh para issuer kartu kredit (Kredit konsumen) atau manajemen bank, yang saat ini mulai meraup keuntungan yang menjanjikan pada kredit konsumen (kartu kredit). Semakin tingginya penetrasi pasar pada kartu kredit (kredit konsumen) didorong oleh kemajuan teknologi informasi, yang memungkinkan penilaian nasabah dalam waktu yang singkat menggunakan model credit scoring yang canggih. Teknologi ini secara umum mampu menangkap motivasi, keadaan keuangan dan ekonomi seseorang, yang mencerminkan kelayakannya dalam mendapatkan kartu kredit (kredit konsumen).

Namun perlu difahami meski suku bunga kredit konsumen (kartu kredit) lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga modal kerja dan investasi, namun bukan berarti kredit ini tidak memiliki resiko kerugian yang besar pula.

Hal yang harus difahami oleh para issuer (manajemen bank) untuk menghindari resiko atau default tidak terbayarnya tagihan kartu kredit, adalah bahwa NPL (Non performing loans) atau macetnya pembayaran kredit konsumen (ex:kartu kredit) secara umum sangat terkait dengan siklus bisnis suatu perekonomian. Dimana jika perekonomian sedang mengalami pertumbuhan dan pembangunan, maka kemungkinan terjadinya default akan semakin kecil. Sebaliknya, jika perekonomian sedang mengalami resesi atau penurunan kinerja ekonomi maka sudah bisa dipastikan kemungkinan terjadinya default atau NPL akan semakin tinggi.

Di sisi lain, kredit konsumen memiliki tingkat resiko dan biaya yang tinggi. Pertama tingginya resiko kredit konsumen sangat berhubungan dengan kondisi keuangan, ekonomi seseorang atau keluarga. Sehingga jika nasabah terkena penyakit yang parah, kehilangan pekerjaan atau mengalami tragedi atau kecelakaan, maka akan mempengaruhi pembayaran kredit mereka. Kedua, biaya yang tinggi dari kredit konsumen terkait dengan nominal yang kecil dan jumlah yang banyak, sehingga meningkatkan biaya transaksi yang tinggi bagi bank.

Dalam konteks ini, maka manajemen asset yang tepat perlu untuk dilakukkan oleh manajemen bank, dengan tidak mendominasi peneterasi kredit di sisi kredit konsumsi. Diferensiasi dan antisipasi resiko tetap harus diperhitungkan untuk dapat meningkatkan keuntungan dan mengendalikan resiko yang tidak membahayakan bagi bank.

Bagi Nasabah, penggunaan kartu kredit dan pengajuan kredit konsumen tetap harus dipertimbangkan secara matang kemanfaatan dan biayanya. Sehingga keputusan tersebut tidak merugikan posisi keuangannya dimasa depan. (http://www.diassatria.web.id)

Lehman Brothers: Warning bagi perbankan tanah air

Lehman Brothers: Warning bagi perbankan tanah air

Published by Dias Satria at 6:28 am under i am the economist Edit This

Koran Kontan, 22 September 2008 (Kolom Opini Hal.23)

Lehman Brothers: Warning bagi perbankan tanah air

Kekacauan keuangan global yang diperpanas dengan bankrutnya “Lehman Brother”, salah satu lembaga keuangan terkenal di AS, telah banyak mempengaruhi gejolak dalam pasar keuangan domestik. Gejolak bagi pasar keuangan domestik tentu bukan sekedar permasalahan hubungan keuangan (ex: connected lending) dengan Lehman Brothers, namun lebih banyak dipicu oleh “asymmetri information” yang menyebabkan kepanikkan pasar dan ketidakpercayaan pelaku pasar asing dan domestik.

Permasalahan inti Lehman Brothers terletak pada tingginya posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat.

Bagi perkembangan keuangan domestik, Lehman Brothers tentu akan mempengaruhi kinerja pasar keuangan (saham dan uang) karena perubahan ekspektasi investor dan tentu, perubahan perilakunya. Selain itu, pengaruh bagi pasar domestik akan terjangkit melalui perubahan fundamental indikator makro internasional yang terangkum dalam neraca pembayaran, khususnya bagaimana pengaruhnya terhadap perbedaan suku bunga domestik dan luar negri serta instabilitas nilai tukar terhadap aliran modal masuk ke negara-negara berkembang.

Dalam konteks ini, bank harus waspada dengan semakin menurunnya nilai pasar atau market value dari aset-aset mereka. Dengan kata lain, menurunnya indeks gabungan IHSG dan securities secara umum akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi profitabilitas aset yang mereka pegang. Dalam konteks ini, kecukupan modal akan menjadi sumber kekuatan bank untuk bertahan dalam ancaman resiko likuiditas dan insolvency.

Namun, disisi lain antisipasi yang serius perlu untuk dilakukkan guna mengamankan stabilitas keuangan domestik khususnya dari perspektif keuangan internal industri perbankan tanah air. Beberapa indikator seperti tingginya kredit konsumsi dan lemahnya intermediasi perbankan, harus segera direvitalisasi untuk menghindari industri perbankan dari keterpurukan.

Secara umum ada beberapa pelajaran penting dari kekacauan keuangan global ini.

Pertama, terlalu tingginya pinjaman konsumsi (kredit properti, kartu kredit dll) ditengah-tengah lesunya fundamental ekonomi akan menciptakaan ancaman instabilitas keuangan.

Kedua, implementasi manajemen resiko yang hanya sebatas tangan atau “arm length” analysis, yang sangat digemari perbankan saat ini karena biayanya yang rendah, telah mengarahkan aktivitas investasi aset perbankan ke transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif dan “tidak produktif”. Bahwa saat ini, ada kecenderungan bahwa perbankan semakin enggan untuk melakukkan fungsi vitalnya “intermediasi”, yang seharusnya dapat memberikkan pinjaman ke sektor-sektor usaha yang produktif.

Hal ini jugalah yang meningkatkan ancaman bagi perbankan tanah air, ditengah-tengah tingginya kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan. Bahwa penurunan aktivitas tradisional perbankan yang sesungguhnya telah memudar, dan mengancam perkembangan perbankan itu sendiri.

Ketiga, masuknya lembaga keuangan asing (termasuk bank asing) harus dapat ditelaah lebih lanjut. Apakah dengan masuknya bank asing, “mudharat yang diberikan lebih besar dari manfaatnya?”. Beberapa indikator penting yang dapat digunakan antara lain, seberapa besar peran bank asing bagi kemajuan UMKM?seberapa besar pinjaman modal kerja bank asing?apakah bank asing lebih menyukai kredit konsumsi saja?

Hal ini juga menunjukkan bahwa meski secara positif masuknya lembaga keuangan asing membawa pelajaran penting berupa best pratices (implementasi manajemen resiko), namun disisi lain masuknya lembaga keuangan asing dapat juga membawa penyakit.

Di sisi lain, secara empiris, konsentrasi yang terlalu tinggi (tingginya jumlah pemain asing dalam pasar domestik) dalam dunia perbankan tentu memiliki ekses yang negatif bagi aktivitas perbankan tanah air. Bahwa dengan semakin tingginya kompetisi yang dapat mengurangi market share dan keuntungan mereka, maka hal ini akan mengarahkan perilaku perbankan yang cenderung spekulatif dengan mencari sumber keuntungan baru di pasar keuangan (saham dan uang). Hal inilah yang pada dasarnya membahayakan stabilitas sistem keuangan domestik, karena bergesernya fungsi vital perbankan bagi pembangunan

Tiga permasalahan ini tentu dapat menjadi warning bagi perbankan tanah air, bahwa goncangan eksternal dan kekuatan internal industri perbankan harus segera diperbaiki guna menghindari krisis keuangan yang berkepanjangan.

Kepanikan Keuangan Global

Kepanikan Keuangan Global

Published by Dias Satria at 6:25 am under i am the economist Edit This

Surabaya Post

KEPANIKKAN KEUANGAN GLOBAL DAN PERGESERAN FUNGSI VITAL PERBANKAN

Dias Satria SE.,M.App.Ec

Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan (Fak Ekonomi, Universitas Brawijaya)

Peneliti INSEF

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia, terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan dan nafsu yang berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair, jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut.

Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebankrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebankrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia.

Sebelumnya di tahun 1995, salah satu Bank Tertua Inggris “Barings Bank” mengalami nasib yang serupa, akibat kerakusan salah satu tradernya Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukkan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga US$1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank)

Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank “Societe Generale” prancis yang mencapai US$ 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu tradernya yang bernama Jérôme Kerviel.

Beberapa pengalaman penting diatas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang “jeorpadized”. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang didalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien.

Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut:

Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan.

Bahwa saat ini, sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual)

Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor resiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukkannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen resiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer.

Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen resiko, tak satupun yang mampu meramalkan pergerakan resiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikkan hanya sebatas keterbukaan resiko dan probabilitas default atau resiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini.

Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan.

Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi.

Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat.

Kejahatan dalam Perbankan

KEJAHATAN DALAM PERBANKAN : PELAJARAN DARI PEMBOBOLAN BANK PRANCIS

Oleh : Dias Satria SE., M.App.Ec[1]

Media dunia baru saja dikejutkan berita pembobolan bank terbesar di Dunia, yang terjadi di Paris. Akibat ulah pembobol, Bank tersebut harus rela mengalami kerugian hingga 67 Milyar rupiah. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi di negara yang notabene maju, dengan sistem pengawasan dan perangkatnya?

Pembobolan Bank

Pembobolan Bank tidak hanya terjadi di prancis, 10 tahun silam Barings Bank (Bank tertua di Inggris) juga mengalami nasib yang sama. Akibat salah satu stafnya, Nick Leesson, Bank Barings harus rela menutup usahanya. Secara umum kata ”pembobolan” dalam konteks perbankan bisa dimaknai menjadi dua arti. Pertama, pembobolan yang berarti pencurian secara fisik pada bank dengan membongkar brangkas. Kedua, pembobolan yang dilakukan dengan teknik penipuan yang lihai yang populer dengan istilah ”white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Tentu yang kedua ini dilakukan dengan teknik yang cantik, dengan berbagai macam penyalahgunaan dan penipuan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan internal. Dalam konteks ini, pembobolan yang dimaksud pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah jenis yang kedua.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh Bank Barings dan Bank Prancis secara umum sama, kedua bank tersebut merugi akibat tingginya kerugian yang dialami dari transaksi di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas).

Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki kemampuan untuk mendistribusikan deposito dari masyarakat ke berbagai jenis aset (teori diversifikasi untuk menyebar resiko), seperti kredit dan investasi pada aset-aset keuangan di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas). Secara ideal, seharusnya bank memiliki proporsi investasi kredit lebih besar dibandingkan dengan investasi pada pasar keuangan. Namun fenomena yang terjadi saat ini, bank lebih agresif melakukan penetrasi di pasar keuangan dibandingkan dengan investasi di sektor riil. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan iming-iming keuntungan yang cepat dan tinggi di pasar keuangan, tentu dengan kompensasi resiko yang tinggi.

Kelemahan yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah kedua Bank tersebut tidak waspada dengan pengawasan internal mereka untuk membatasi transaksi-transaksi spekulatif di pasar keuangan. Akibatnya adalah, bank-bank tersebut tidak menyadari bahwa bank mereka dihadapkan pada tingkat resiko yang tinggi akibat ulah oknum stafnya di pasar keuangan. Mereka baru menyadarinya ketika kerugian riil sudah terlanjur terjadi, yang menguras uang nasabah mereka. Implikasi yang lain adalah ”kerugian negara”, negara atau dalam konteks ini Bank Sentral harus bersiap siaga sebagai Lender of Last Resort untuk membayar kerugian para nasabah. Jika tidak maka ancaman Bank Run dan penularan krisis perbankan akan terjadi, yang malah mengancam sistem perbankan dan sistem pembayaran negara tersebut.

Pelajaran bagi perbankan tanah air

Hal ini tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi perbankan tanah air.

Pertama, Bank Indonesia harus lebih waspada pada transaksi-transaksi off balance sheet yang dilakukan oleh perbankan tanah air. Transaksi-transaksi off balance sheet yang sebagian besar adalah spekulasi di pasar keuangan tentu akan menciptakan keterbukaan resiko yang tinggi bagi bank, dan nasabah tentunya. Jika transaksi-transaksi ini tidak diatur secara baik maka akan berdampak pada krisis pada sistem pembayaran dan sistem keuangan.

Kedua, bagi perbankan, pengawasan internal harus dilakukan baik secara formal maupun informal (intelejen) karena sebagian permasalahan pembobolan perbankan disebabkan akibat fraud risk yaitu kejahatan penipuan yang melibatkan staf internal.

Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Dan uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Oleh karena itu perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal ini mudah sekali dipelajari dari beberapa episode krisis yang terjadi di Eropa, Amerika Latin dan seluruh negara di Asia, bahwa krisis terjadi disebabkan oleh ulah para spekulan di pasar valas, yang pada akhirnya mentrigger terjadinya krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis ekonomi.

Jika indonesia ingin mengembalikan perekonomiannya pada keadaan yang lebih baik, tentu negara ini harus concern pada perbaikan sektor keuangan atau sektor perbankan. BI harus dapat mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi di sektor riil, dan mengurangi setinggi mungkin transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif di pasar keuangan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi resiko seperti yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis, dan antisipasi resiko ”kerugian negara”.


[1] Dosen jurusan Ekonomika Pembangunan (Universitas Brawijaya), Ekonom INSEF (Institute of Strategic of Economic and Finance) Surabaya dan Peneliti PPKE (Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi).

Email : dias.satria@yahoo.com

Hujatan pada BI

HUJATAN PADA BANK INDONESIA

dias.satria@yahoo.com

Penilaian sebagian besar ekonom Indonesia menyikapi kebijakan naiknya suku bunga SBI titik 9.50%, tentu menimbulkan pertanyaan sederhana apakah sebodoh itu Bank Indonesia melakukkan kebijakan yang salah. Atau dengan kata lain, Apakah gubernur Bank Indonesia baru “Pak Boediono” seorang ekonom senior Indonesia, sesederhana itu melihat permasalahan dan melawan arus pasar, yang sebagian besar melakukkan penurunan suku bunga.

Dibalik rasional kenaikkan suku bunga, ada beberapa pertimbangan dan perspektif dasar untuk melihatnya.

Kenaikkan suku bunga dari sisi neraca modal, tentu akan menciptakan perbedaan suku bunga domestik dan luar negri (interest rate differential). Dengan semakin positifnya perbedaan suku bunga domestik dengan internasional, tentu akan mendorong masuknya modal asing (capital inflow) atau mencegah capital outflow pada pasar keuangan domestik karena peluang return yang semakin tinggi. Jika ini yang terjadi, maka ketakutan akan semakin keringnya likuiditas domestik tentu tidak akan terjadi karena masuknya aliran modal tersebut. Selanjutnya dengan semakin meningkatnya aliran modal asing, tentu akan semakin memperbaiki nilai tukar domestik (apresiasi). Atau rupiah akan menguat.

Disisi lain, jika perekonomian sudah dalam batas lebih dari full employment (keseimbangan maksimal) maka penurunan suku bunga tidak akan memberikkan impact pada equilibrium, dan hanya menciptakan efek terhadap harga (atau inflasi). Hal ini tentu saja akan mengancam target inflasi Bank Sentral, ditengah-tengah tingginya harga-harga secara umum.

Kenaikkan suku bunga disisi lain juga akan semakin mendorong pihak bank untuk semakin berhati-hati dalam memberikkan pinjaman, karena kenaikkan suku bunga memberikkan constraint bagi mereka untuk melakukkan ekspansi kredit. Secara makro, pembatasan kredit ditengah-tengah kelesuan ekonomi tentu akan memperbaiki kualitas aset produktif, dan mengurangi kredit macet (NPL Non Performing Loans) bank. Amerika merupakan contoh sederhana, bahwa penurunan suku bunga membawa malapetaka yang besar bagi perekonomian domestiknya. Rasional/logika sederhananya adalah, disaat resesi ekonomi, masyarakat mana yang mampu membayar hutang-hutangnya. Sehingga jika respon penurunan suku bunga Amerika, direspon lembaga keuangan dengan melakukkan ekspansi kredit dengan membabi buta, maka dampaknya bisa kita lihat sekarang di US dengan krisis kredit macet yang terjadi dalam subprime mortgages dan kredit macet penggunaan kartu kredit.

Namun jika pandangan kontra berpendapat bahwa kebijakan kenaikkan suku bunga akan semakin merugikan perekonomian, karena terhambatnya ekspansi di sektor riil. Maka sesungguhnya kondisi ekonomi yang sedang tidak pasti ini diharapkan dapat menahan ekspansi ekonomi yang berlebihan dari para pengusaha. Karena pada akhirnya, sektor keuanganlah yang nantinya akan dirugikan jika terjadi default kredit karena ekonomi yang memburuk.

Tentu kebijakan kenaikkan suku bunga, bukan syarat utama suatu kebijakan untuk menanggulangi pelik dan rumitnya dampak krisis keuangan global yang terjadi di Indonesia. Masih banyak kebijakan lain yang menunjang yang intinya diharapkan dapat meningkatkan konfiden para pelaku usaha. Namun, minimal kebijakan suku bunga ini mampu meredam pengaruh negatif jangka panjang (resiko kredit, nilai tukar dan inflasi) yang ditimbulkan dari kebijakan yang salah (penurunan suku bunga-red). Meski kedepan, Bank Indonesia juga harus mempersiapkan kebijakan-kebijakan pendukung untuk membuat pasar semakin konfiden dengan pasar, atau minimal konfiden dengan apa yang dilakukkan oleh Pemerintah dan Bank Sentral sehingga respon yang dilakukkan pasar benar-benar merefleksikan kondisi atau performa ekonomi sesungguhnya, dan bukan tindakan irasional yang asimetris, yang menjatuhkan performa pasar keuangan domestik.

Dan, semakin membaiknya Bursa Ekonomi Indonesia dan meredamnya kepanikkan pasar di Indonesia beberapa hari ini tentu membuktikkan bahwa pasar telah konfiden dengan apa yang dilakukkan pemerintah. Dan kedepan, stabilitas keuangan Indonesia akan semakin baik dengan pengelolaan kebijakan yang brilian oleh seorang “Boediono”, “Sri Mulyani” dan “Miranda Gultom”.

Peningkatan GWM: Jangan Beri Ruang untuk Ekspansi Kredit “Konsumsi”

Peningkatan GWM: Jangan Beri Ruang untuk Ekspansi Kredit “Konsumsi”

dias.satria@yahoo.com

Saat ini Bank Indonesia tengah memikirkan untuk melakukan revisi terhadap kebijakan GWM (Giro Wajib Minimum) yang dinilai kurang relevan dengan perekonomian domestik.

Secara teoritis, GWM atau yang populer dengan istilah “reserve requirement” merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan moneter yang dapat digunakan untuk mengontrol jumlah uang beredar (JUB), yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi target inflasi yang diharapkan oleh Bank Sentral. Dalam konteks ini, peningkatan GWM memiliki pengaruh yang negatif terhadap peningkatan jumlah uang beredar. Atau dengan kata lain, untuk mengurangi inflasi dengan mengurangi laju JUB, Bank Sentral dapat meningkatkan GWM.

Namun patut disadari bahwa efektifitas kebijakan ini sulit sekali dikendalikan dalam mempengaruhi jumlah uang beredar, karena dalam money multiplier selain GWM masih ada currency ratio dan excess ratio yang perilakunya masing-masing ditentukkan oleh preferensi masyarakat dalam memegang uang kas (currency ratio), dan preferensi bank dalam memegang cadangan lebih (excess ratio). Dan tentu tidak mudah mengetahui bagaimana preferensi keduanya (masyarakat dan bank).

(Dalam model moneter yang sederhana, jumlah uang beredar = money multiplier x uang inti; dan dalam money multiplier, GWM hanyalah salah satu variabel saja yang mempengaruhi money multiplier, karena masih ada currency ratio dan excess ratio.)

Secara empiris, terjadi bipolar pandangan terhadap kebijakan GWM. Beberapa bank sentral dunia yang tidak menerapkan kebijakan GWM dan menitikberatkan pada kebijakan Operasi Pasar terbuka, antara lain: Kanada, Australia, Meksiko, New Zealand, Swedia dan Inggris. Sedangkan beberapa negara yang menerapkan GWM, diantaranya: U.S, India, China, Srilangka, Estonia, Zambia, dll. China, merupakan salah satu negara yang secara aktif melakukkan peningkatan GWM hingga 9 kali di tahun 2007 untuk mengatasi tingginya inflasi yang terjadi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Reserve_requirement)

Namun dalam konteks Indonesia, kebijakan GWM harus secara hati-hati diimplementasikan. Karena kebijakan GWM akan meningkatkan resiko likuiditas pada bank-bank yang memiliki excess reserve (cadangan lebih) yang sangat minim. Hal ini tentu saja dapat membahayakan operasional perbankan, dan membahayakan industri perbankan. Pertama, risiko likuiditas dapat meningkatkan biaya yang tinggi pada bank, karena keharusan untuk menjual aset jangka pendek dengan fire sale atau harga yang murah. Hal ini dilakukkan untuk mendapatkan likuiditas segar. Kedua, jika bank tidak mampu menyiapkan likuiditas yang cukup bagi nasabah, maka ancaman rush atau bank run akan meningkat.

Oleh karena itu, Bank Indonesia harus secara clear harus menjelaskan tujuan untuk merevisi GWM?

Secara sederhana, ekspansi kredit yang sudah terlalu tinggi tentu dapat dijadikan sebagai alasan mengapa Bank Indonesia harus merevisi GWM. Hal ini disebabkan karena tingginya ekspansi kredit dan tentu saja JUB, dapat membahayakan bagi capaian “target” inflasi Bank Indonesia. Dalam konteks ini, Bank Indonesia menganggap pengaitan GWM dan LDR menjadi kurang relevan lagi.

Namun jika ini alasanya (menekan ekspansi kredit), maka kebijakan GWM sebenarnya belum tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena komposisi dalam kredit ada 3 jenis, yaitu: kredit konsumsi, investasi dan modal kerja. Dengan peningkatan GWM ditakutkan akan semakin mendesak atau mengurangi ekspansi kredit dari jenis modal kerja dan investasi. Hal ini disebabkan karena kredit konsumsi dianggap sebaga mainan baru yang menyenangkan bagi perbankan tanah air, karena keuntungan yang menggiurkan.

Dalam konteks ini, Bank Indonesia harus dapat secar jeli melihat permasalahan ekspansi kredit yang mengancam inflasi, khususnya dari sumber ekspansi yang berasal dari tingkat konsumsi yang tinggi. Jangan sampai kebijakan GWM dapat membahayakan output nasional dan pembangunan ekonomi nasional, karena berkurangnya ekspansi kredit investasi dan modal kerja.

Jika mungkin, Bank Indonesia dapat menghambat kredit konsumsi dengan melakukkan peningkatan GWM untuk commercial loans. Hal ini tentu saja dapat meningkat oppurtunity cost bank untuk melakukkan penetrasi kredit konsumsi yang berlebihan. Jika ini yang dilakukkan, maka struktur LDR akan semakin sehat, dengan semakin baiknya proporsi kredit investasi dan modal kerja. (dias.satria@yahoo.com)