IHSG Mati Suri, Rupiah Loyo
Memahami pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah/dolar dalam beberapa pekan terakhir cukup mengkhawatirkan beberapa pihak. Penurunan IHSG yang menyentuh posisi 1.296 dan rupiah yang menyentuh 12.050 pada penutupan Jumat (20 Februari 2009) mengindikasikan bahwa kondisi pasar keuangan domestik berada pada posisi rawan.
Pelemahan rupiah dan IHSG di tengah-tengah ambruknya bursa regional dan belum pastinya pemulihan ekonomi AS, secara mudah dan gamblang disebut-sebut sebagian pengamat sebagai penyebab utama masalah ini. Bahkan, pelemahan ini dianggap fenomena yang lazim di saat suatu negara sedang mengalami resesi.
Pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG seharusnya dapat dilihat dalam perspektif yang luas bahwa fenomena ini bukan sekadar fenomena moneter. Lebih dari itu, secara ekonomi politik banyak hal yang menyebabkan keterpurukan ini.
Makroekonomi v Ekonomi Politik
Dalam perspektif makroekonomi, pelemahan indikator IHSG dan kurs mudah dipahami. Bahwa pelemahan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang mendeterminasikannya dalam jangka panjang dan jangka pendek.
Dalam jangka panjang, penguatan kurs dan IHSG dipengaruhi oleh faktor seperti: produktivitas ekonomi, harga relatif, hambatan perdagangan, dan kinerja ekspor/impor.
Dalam konteks ini, jika salah satu atau beberapa faktor di atas memberikan efek positif pada kondisi neraca perdagangan (surplus), kurs dan IHSG akan meningkat secara bersamaan. Rasionalnya, jika barang produk Indonesia laku di pasar dunia, permintaan rupiah meningkat (kurs terapresiasi). Contoh lain, jika industri produk domestik semakin baik dalam kompetisi global, investor-investor akan memburu saham-saham domestik (IHSG terdongkrak).
Namun, penjelasan di atas tentu tidak dapat ditelan bulat-bulat bahwa dalam pandangan ekonomi politik (non mainstream), ada pertimbangan lain yang menyebabkan rasionalitas di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pertama, nilai perdagangan valas (mata uang) jauh lebih besar dibanding nilai perdagangan barang dan jasa. Hal ini membuktikkan bahwa neraca perdagangan yang positif belum tentu mendongkrak kurs dan IHSG. Dalam konteks ini tingginya pengaruh sentimen pelaku pasar dan transaksi spekulatif mendominasi ekspektasi investor.
Kedua, tingginya penggunaan US dolar dalam perdagangan internasional semakin menjelaskan bahwa surplus perdagangan (ekspor lebih besar dibanding impor) belum tentu meningkatkan permintaan rupiah. Sebab, partner dagang akan menyukai pembayaran dalam bentuk US dolar.
Lemahnya penjelasan makroekonomi tentang determinasi nilai tukar jangka panjang, mendorong pembenaran lain dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan volatilitas dan fluktuasi kurs dan IHSG cenderung tinggi dalam jangka pendek.
Secara sederhana, dalam konteks jangka pendek, dua faktor utama yang dipertimbangkan ialah perbedaan suku bunga (domestik dan asing) dan ekspektasi. Sebagai contoh, jika suku bunga riil (suku bunga domestik dikurangi suku bunga asing) adalah positif, kemungkinan capital inflow yang dapat memperkuat posisi mata uang domestik akan semakin meningkat.
Namun, tentu saja, rasionalitas tersebut dapat memberikkan efek yang mungkin berbeda dan membingungkan. Sebagai contoh, tren suku bunga yang meningkat bisa diartikan investor sebagai preseden buruk dalam suatu perekonomian karena suku bunga yang tinggi bisa berarti inflasi yang tinggi, dan kontraksi ekonomi. Akibatnya, ekspektasi investor akan semakin negatif, yang terefleksi dengan semakin enggannya investor asing/domestik memegang aset domestik.
Dalam konteks jangka pendek, kedua faktor di atas (perbedaan suku bunga dan ekspektasi) memang memainkan peran penting dalam menjelaskan pergerakan bursa dan kurs yang cenderung fluktuatif dan liar. Namun, lebih dari itu, pemahaman yang menyeluruh tentang perilaku pasar dan pemain-pemain di dalamnya juga harus menjadi perhatian serius.
Pertama, kondisi anomali di pasar keuangan yang cenderung liar membutuhkan strategi ekonomi politik yang tepat dan komprehensif. Volatilitas pasar keuangan yang berlebihan harus dapat diregulasi dengan ketat dan kuat, dengan mengontrol modal yang ketat. Krisis keuangan yang terjadi pada 1997 seharusnya dapat menjadi pelajaran penting bahwa krisis ekonomi meluas, berawal dari indikator pasar saham dan pasar keuangan yang semakin drop. Selanjutnya, keikutsertaan asing dalam pasar keuangan domestik harus dapat diregulasi dengan ketat, namun tidak berpaling dari prinsip fairness dan keterbukaan.
Kedua, intervensi Bank Indonesia (BI) jelas tidak akan efektif dengan hanya melakukan intervensi yang bersifat unsterilized dan sterilized di pasar uang. Hal itu disebabkan kemampuan dan kapasitas cadangan devisa BI sangat-sangatlah terbatas. Di sisi lain, intervensi pasar valas yang berlebihan akan berdampak cukup berat dalam pengelolaan uang beredar dan pencapaian target inflasi. Bahwa intervensi valas mungkin akan berkonflik dengan pencapaian target inflasi.
Membangun Kerja Sama Regional
Penguatan bursa saham domestik dan mata uang lokal tidak akan efektif jika dilakukan dengan kemampuan sendiri. Nasib serupa yang dialami bursa regional setidaknya harus dapat mendorong kerja sama regional dalam konteks penguatan sistem keuangan. Hal ini disebabkan tiga rasional penting. Pertama, kekuatan dolar dalam sistem pembayaran dalam perdagangan internasional tentu bukanlah hal mudah untuk ditaklukkan.
Kedua, tingginya aksi spekulatif para Hedge Funds (spekulator besar) tidak akan dapat ditandingi bank sentral mana pun di dunia. Ketiga, penyelamatan pasar keuangan juga berarti penyelamatan ekonomi secara luas. Dalam hal ini jika pasar keuangan dibiarkan bankrupt, efek penularan krisis lambat laun akan menyebar bak penyakit epidemi.
*. Dias Satria SE MAppEc, dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Unibraw, Malang