Minggu, 23 November 2008

Efek Domino Krisis

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=dfb84a11f431c62436cfb760e30a34fe

Efek Domino Krisis Global
Jumat, 21 Nopember 2008 | 14:27 WIB Dias Satria SE.,M.App.Ec
FE Universitas Brawijaya
Peneliti INDEF dan INSEF

Keadaan ekonomi Indonesia jika dibiarkan dalam manajemen ekonomi yang seperti saat ini, lambat namun pasti menuju pada kondisi yang semakin terpuruk. Hal ini disebabkan karena di tengah-tengah krisis finansial global, yang sedikit demi sedikit juga merogoti fundamental ekonomi domestik, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi masih tambal sulam dan belum ada suatu kebijakan besar out of the box, yang memikirkan bagaimana perubahan-perubahan struktur ekonomi Indonesia harus direvitalisasi dan membuat perubahan besar bagi peningkatan investasi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Keadaan ini bisa diilustrasikan sebagai efek kartu domino yang terus bergulir, dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya, dan terus berputar hingga seluruh sektor mengalami nasib yang buruk.

Secara ringkas efek domino bisa dimulai dari ricuhnya pasar saham yang ditandai dengan penutupan bursa saham domestik. Keadaan ini diperparah dengan penarikan beberapa aset domestik (SUN, Saham domestik dll) oleh asing karena krisis likuiditas global atau kebutuhan dana segar dollar, serta paniknya investor domestik sehingga menyebabkan penurunan harga saham yang melewati batas psikologisnya.

Tentu saja hal ini belum berakhir, sejak Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI untuk meredam capital outflow yang semakin menggila dan menekan rupiah hingga terlempar di angka Rp 12.000 per dollar, mulailah efek baru domino dimulai di sektor perbankan domestik. Kenaikkan suku bunga tentu saja telah menampar aktivitas bisnis perbankan karena tingginya biaya dana atau cost of fund. Di sisi lain, tingginya suku bunga tentu akan menjadi preseden buruk bagi sistem keuangan domestik dan kondisi investasi domestik.

Bagi sistem keuangan domestik, tingginya suku bunga akan meningkatkan permasalahan adverse selection, atau seleksi yang salah. Atau dengan kata lain, hanya para peminjam yang berisiko tinggi sajalah yang akan berani melakukan pengajuan kredit. Hal ini tentu saja akan memberikkan efek yang sangat buruk bagi kesehatan perbankan, karena ancaman kredit macet (atau NPL yang tinggi).

Selanjutnya, bagi dunia usaha, tingginya suku bunga domestik tentu akan menyebabkan penundaan ekspansi bisnis baru. Namun bagi mereka yang sudah telanjur melakukan pengajuan kredit tentu akan memberikkan beban yang makin besar khususnya beban bunga.

Meski efek domino yang besar diprediksikan pasti akan terjadi jika suatu jantung perekonomian terjangkit penyakit (sektor perbankan diibaratkan sebagai jantung), namun hingga saat ini pemerintah dan Bank Indonesia terlihat masih sangat konservatif dan proaktif untuk menyelematkan kesehatan sektor ini. Hal ini juga disebabkan karena pandangan too big too fail. Berapa pun biayanya, pasti pemerintah akan menanggung.

Dalam satu minggu terakhir, efek domino krisis ternyata sudah mulai merambat luas khususnya terhadap dunia usaha dan buruh. Beberapa media nasional bahkan secara langsung mempertemukan kedua kubu yang berkonflik ini, terkait dengan upah buruh dan SKB 4 Menteri. Suatu hal yang tidak mudah, baik secara politis maupun ekonomi, karena pemihakan di salah satunya saja pasti akan berisiko bagi pemerintah.

Jelas, bahwa efek domino, lambat tapi pasti sudah mulai merambah dari satu kartu (sektor) ke kartu (sektor) yang lainnya. Dan dapat dilihat bahwa kebijakan pemerintah dalam menghadapi permasalahan ekonomi tersebut sangatlah bersifat tambal sulam dan jangka pendek. Pemerintah sangat, bahkan terlalu fokus terhadap keadaan krisis, hingga terkesan melupakan esensi pembangunan ekonomi yang besar, yang sebenarnya mampu mentsunamikan efek domino yang terjadi saat ini.

Beberapa kebijakan strategi pemerintah dalam menangani krisis, yang sifatnya masih jangka pendek, antara lain: buy back saham, pengawasan dan kebijakan di pasar saham, peningkatan suku bunga SBI, intervensi rupiah, jaminan deposito hingga Rp 2 miliar dan beberapa imbauan untuk tidak melakukan spekulasi valas. Jika dilihat dari kebijakan-kebijakan yang marak diberitakan di media tersebut, jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masih tambal sulam terhadap permasalahan-permasalahan bidang keuangan, untuk meredam krisis keuangan global.

Dalam konteks ini, penyelematan diri saja tidak cukup untuk menghindar dari badai. Bahwa bangsa ini harus mulai bergegas untuk memikirkan pembangunan ekonomi yang sifatnya megaproyek. Kembali negara ini harus belajar bagaimana melihat China yang mampu secara ulet membangun negerinya yang padat penduduk, dengan proyek-proyek megabesar infrastruktur dan industrilisasi. Atau India, yang secara diam-diam telah lama mengembangkan industri besar microchip dan software, serta memperkerjakan masyarakatnya untuk perusahaan-perusahaan besar Amerika dalam bidang jasa pelayanan (call center) dll.

Di luar permasalahan krisis, ada hal lain yang sangat krusial berkaitan dengan pembangunan ekonomi masyarakat di tengah era global perdagangan dunia. Bahwa setiap negara harus dapat mengambil peluang di era globalisasi. Bagi negara yang hanya menjadi penikmat, dalam jangka panjang akan hanya terpuruk dengan shock yang sifatnya eksternal. Mereka tidak akan pernah menikmati kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup yang baik. China sudah memulai perubahan besar sejak tahun 70an, dan India sejak 90an. Jika Indonesia belum memulainya, mungkin kita juga tidak mungkin bisa berangan-angan bahwa bangsa ini akan dikenal dengan kekuatan ekonominya di masa depan. *

Rabu, 29 Oktober 2008

Rupiah VS US Dollar: Kejayaan Amerika Belum Berakhir ?

Rupiah VS US Dollar: Kejayaan Amerika Belum Berakhir ?

Oleh: Dias Satria SE.,M.App.Ec.

(Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya)

Memahami apresiasi US Dollar ditengah-tengah resesi yang melanda Amerika tentu menimbulkan pertanyaan besar di kepala kita. How Come??!!@#$%%. Bagi negara biasa, penurunan fundamental ekonomi sudah pasti diikuti dengan penurunan nilai mata uang domestik. Namun bagi Amerika, yang memiliki kondisi “nilai tukar” yang istimewa atau “extra ordinary”, keadaan resesi belum tentu dapat mendepresiasikan nilai tukarnya.

Seperti halnya menganalisis harga barang, suatu harga “nilai tukar” (sebut saja US Dollar) tentu dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Jika permintaan masyarakat meningkat, dan sisi lain penawarannya relatif tetap, maka yang terjadi adalah kenaikkan harga. Dalam konteks ini, apresiasi dolar dalam beberapa mata uang dunia sudah pasti disebabkan oleh permintaan US Dollar yang meningkat.

Pertanyaan mendasar pertama mungkin adalah “Mengapa US Dollar terapresiasi di saat fundamental ekonomi US memburuk”. Sederhana saja, Pertama, 80% perdagangan internasional menggunakan US dollar sebagai standar pembayaran yang diterima dan diakui secara luas. Hal ini populer dengan istilah “US Dollar Standard”. Dengan kata lain, permintaan US dollar yang dilakukkan oleh Rest of the world (selain AS) selalu pada posisi yang tinggi.

Kedua, ditengah-tengah lesunya pasar-pasar keuangan di seluruh dunia, maka preferensi Investor untuk mengamankan investasinya dalam bentuk US Dollar semakin meningkat. Hal ini selain memang karena berkaitan dengan “US Dollar Standard” atau dunia yang dikuasi oleh penggunaan US dollar, juga dipicu karena semakin meningkatnya nilai US dollar. Dalam konteks ini, maka pemegangan investasi dalam bentuk US Dollar dipicu oleh 2 motif, yaitu: berjaga-jaga dan spekulasi.

Dalam konteks perdagangan internasional, digunakannya US dollar sebagai standar pembayaran dan harga produk tentu menimbulkan permasalahan tersendiri dalam perekonomian global.

Pertama, di era penurunan nilai mata uang domestik terhadap US dollar tentu akan menurunkan impor barang-barang luar negri di negara manapun, kecuali di Amerika Serikat. Hipotesis ini diperkuat dengan adanya “stickyness” atau kekakuan harga dalam jangka pendek, sehingga produsen atau eksportir dunia dalam jangka pendek akan kesulitan untuk melakukkan adjustment atau penyesuaian harga.

Hal ini tentu akan berefek pada semakin mandeknya transaksi perdagangan internasional di seluruh dunia. Dalam konteks ini sebenarnya apresiasi US Dollar akan sangat merugikan proses recovery ekonomi dunia atau memperlama resesi dunia.

Di sisi lain, bagi Amerika Serikat kenaikkan nilai US Dollar (Apresiasi) harus juga diananalisis secara hati-hati karena apresiasi US Dollar belum tentu akan menguntungkan bagi perekonomian AS secara umum.

Pertama, dari perspektif konsumen, apresiasi mata uang US Dollar tentu akan mengurangi harga barang-barang impor. Hal ini tentu saja akan meningkatkan daya beli masyarakat amerika, khususnya terhadap barang-barang impor.

Kedua, bagi perusahaan Amerika (MNC-Multi Natinal Corporation), kenaikkan US Dollar disatu sisi mungkin akan meningkatkan profit dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang tentu akan merugikan perusahaan-perusahaan tersebut karena semakin berkurangnya daya beli masyarakat dunia.

Ketiga, dalam perspektif makroekonomi, apresiasi US dollar akan semakin memperlebar defisit neraca perdagangan karena meningkatnya impor dibandingkan ekspor. Hal ini tentu saja akan merugikan AS dalam jangka panjang, karena resesi ekonomi AS akan semakin parah.

Dalam melihat fenomena Anomali “US Dollar” dibutuhkan keberanian negara-negara Asia dan sekitarnya untuk menghentikkan resesi, dan mengambil kebijakan yang strategis dalam konteks “nilai tukar”. Hal utama yang harus diupayakan adalah bagaimana mempromosikan penggunaan mata uang masing-masing, dalam kebutuhan perdagangan internasional. Sebagai contoh, jika Indonesia mengimpor produk dari China, seharusnya Indonesia membayarnya dalam bentuk Yuan. Hal ini secara langsung, pasti akan mengapresiasi Mata uang Yuan karena permintaan mata uang untuk kebutuhan pembayaran.

Jika hal ini terealisasi, maka penurunan mata uang dunia (selain US) tidak akan terjadi secara berlebihan. Sehingga proses “mekanisme pasar” dalam arti yang sesungguhnya dapat mengefisienkan tingkat harga di dua negara, dan seterusnya.

Jelas sekali, bahwa krisis semakin parah tatkala mata uang “rest of the world” (selain US) terdepresiasi terhadap US Dollar, di sisi lain kebijakan moneter Bank sentral negara-negara tersebut memperparah keadaan dengan menurunkan suku bunga domestik yang pada akhirnya membuat “interest rate differential” semakin negatif, dan mengurangi insentif masuknya modal asing yang pada akhirnya mengurangi minat asing untuk memegang mata uang atau aset domestik.

Bagi Indonesia, pengamanan nilai tukar dengan intervensi valas atau kenaikkan suku bunga domestik ternyata masih belum mampu memberikkan akselerasi yang kuat untuk membalikkan keadaan (membuat rupiah terapresiasi ke keadaan yang fundamental atau equilibrium). Sehingga diperlukan tindakan-tindakan yang lebih teknis untuk mengamankan rupiah dari spekulasi dan penurunan nilai yang berlebihan. Hal-hal yang harus dilakukkan, antara lain: Pertama, membatasi pembelian US Dollar yang berlebihan atau menindak pelaku pasar yang melakukkan pembelian US Dollar tanpa disertai underlying assets. dan Kedua, membatasi keluar masuknya modal asing khususnya modal asing jangka pendek “hot money”.

Dengan upaya-upaya diatas, tentu diharapkan rupiah akan semakin eksis dalam mendorong fundamental ekonomi yang lebih kuat. Sehingga ketakutan atas tingginya pinjaman berdenominasi dollar (liability dollarizarization), akibat depresiasi rupiah yang terlalu dalam tidak akan terjadi. Semoga saja!

Kamis, 16 Oktober 2008

Risk Drifts From Banks to Governments to You, Me

Risk Drifts From Banks to Governments to You, Me: Mark Gilbert

Commentary by Mark Gilbert


Oct. 16 (Bloomberg) -- Anyone who lost money in the collapse of Lehman Brothers Holdings Inc. should probably be reaching for their lawyers about now.

Our money -- yours and mine -- is now keeping the global financial system afloat. In a capitulation that beggars belief, governments all around the world have pledged our money -- yours and mine -- to fund a ``No Bank Left Behind'' program. And no matter what the politicians say, that means our money -- yours and mine -- is now at risk in the casino.

So the decision to let Lehman go to the wall last month looks increasingly like (a) an experiment in brinkmanship gone wrong (b) a worthless sacrifice to the angry gods of moral hazard (c) the biggest mistake that the authorities have made during the current crisis (d) all of the above.

The U.S. Treasury's theory that the demise of Bear Stearns Cos. was rapid and unforeseen, whereas traders and investors had sufficient time to brace themselves for the collapse of Lehman, is undone by the chaos and panic seen in recent weeks as trading desks rush to untangle the mess of unraveling deals. Listen to any of the recent comments from European Central Bank policy makers on the topic of Lehman, and you can hear the undercurrent of puzzled anger at the decision.

Hoarding Carrots

It's way, way too early to gauge the effectiveness of U.S. Treasury Secretary Henry Paulson's plan to cure the financial crisis by spending $250 billion making Uncle Sam a shareholder in thousands of financial companies, guaranteeing bank debt and buying commercial paper.

What is clear, though, is that however many carrots the U.S. gives to Wall Street, the government doesn't have much of a stick to flagellate the banks into replanting those vegetables on Main Street, where the real economy is facing starvation.

``Leaving businesses and consumers without access to financing is totally unacceptable,'' Paulson said this week when he revealed his latest bailout for the banks. ``When you give them a stronger capital position and you also provide a certain amount of government backstop to their funding sources, it's incumbent upon them to go out and continue to lend,'' said assistant U.S. Treasury Secretary David Nason.

I disagree. If the alternative is lending money to businesses that are about to go bust and consumers who are about to lose their jobs, then restricting credit seems not just acceptable, it is downright prudent.

No Credit

``Will banks turn on the lending taps and will corporates fall over themselves for the liquidity? We don't think so,'' Suki Mann, a credit strategist at Societe Generale SA in London, wrote in a research note this week. ``Deleveraging won't stop overnight. The cost of credit will remain high.''

The global effort by central banks to shore up the precarious capital position of the financial industry using our money -- yours and mine -- is a direct consequence of the earlier decision to let Lehman hang.

The failure to prevent Lehman's collapse -- sandwiched between the shotgun marriage of Bear Stearns to JPMorgan Chase & Co. and the gazillion-dollar loan to keep American International Group Inc. from going pop -- sapped whatever remaining confidence banks had in each other. It removed any yardstick to judge which institutions would be deemed too important to fail.

Far from being a panacea, the accelerated effort to funnel our money -- mine and yours -- to plug the yawning holes in bank balance sheets, hasn't alleviated any of the dangers. Risk has just been reallocated.

Goldman Default

So the cost of buying credit-default swaps to insure against Goldman Sachs Group Inc. defaulting on its bonds plummeted to about 234 basis points this week from as high as 543 basis points last week. The benchmark default-swap on U.S. government debt, meantime, has jumped to about 37 basis points from 19 basis points two months ago.

In the U.K., Royal Bank of Scotland Group Plc default swaps cost about 85 basis points, down from almost 300 basis points last week. U.K. government debt, though, is deemed twice as risky as it was two months ago in the credit-derivatives market.

``With country after country guaranteeing deposits and senior creditors, and also doing everything they can to protect the financial system as we know it, senior financial risks should migrate closer toward sovereign risk,'' Jim Reid, a credit strategist at Deutsche Bank AG in London, wrote in a report this week.

Pension Pain

It doesn't stop there. The crisis of confidence has destroyed about $27 trillion of value in the global stock market in the past year. That isn't a typographical error. The combined market capitalization of the world's publicly traded companies is down to about $36 trillion, from a high of $63 trillion reached a year ago, according to data compiled by Bloomberg.

So anyone who has diligently socked money away into a pension plan has seen the value of those contributions destroyed. Put another way, risk has been transferred down the food chain. It started in the banks, filtered through the governments, and now it is infecting our pensions -- yours and mine.

You can guess what is coming next in this crisis. Regulators will call for centralized oversight of financial markets. Some bright spark will suggest that what the world needs is a global central bank, within the environs of the Bank for International Settlements.

And an ex-partner of Goldman will humbly agree to run the show. Rearrange the words ``stable door,'' ``shutting the,'' and ``after the horse has bolted'' to form a well-known phrase.

(Mark Gilbert is a Bloomberg News columnist. The opinions expressed are his own.)

To contact the writer of this column: Mark Gilbert in London at magilbert@bloomberg.net

Dot.com Crisis

Some very valuable lessons were gleaned from the dot-com crisis

Houston Business Journal - by Scott Clark


Other Matching Articles for
"dot com crisis"

A scant 18 months ago, many of my students at the University of Iowa were still eager to create dot-com companies, having read about the millions of dollars raised in venture capital overnight and the soaring value of dot-com stocks.

Even some business academics became hypnotized by the opportunity.

One of these, Lyle Bowlin, from the University of Northern Iowa, was profiled last year in a Wall Street Journal article.

According to the paper, Bowlin raised $90,000 for a book-selling dot-com business operated out of his home (http://www.Positively-You.com) which competed with Amazon.com and barnesandnoble.com.

He received glowing write-ups in the New York Times and Time magazine, quickly followed by guest spots on the morning talk show circuit.

Predictably, orders shot up from $2,000 per month to $50,000 per month.

The company had not planned for such growth and was constantly behind the power curve, soliciting friends and their families to help pack and ship books rather than focus on profits and strategies.

Management apparently abandoned sound business principles and assumed its Web-based business was a bottomless well of increasing orders, even though it was still losing money.

It's not hard to imagine what happened next.

Because of a combination of several factors -- which may have included lack of a plan, lack of profits, lack of financial controls, lack of management oversight, inappropriately high salaries, high expenses without controls, inadequate software and or hardware to cope with growth and or competition -- the company ran out of both money and customers, subsequently fading into oblivion.

In all fairness, Bowlin was just one of many dot-com dreamers who started companies to ride the wave of prosperity rather than focusing on plans, profits, or fulfillment.

Large businesses succumbed to the lure of easy money as well.

Remember the disastrous Christmas of 1999 when Toys R' Us created toysrus.com without focusing on fulfillment, thus failing to deliver thousands of Web-ordered toys in time for Christmas?

The Internet bubble finally burst in the spring of 2000.

When the smoke finally cleared, the NASDAQ plunge -- and its accompanying dot-com bloodbath -- had erased 62 percent of the NASDAQ's value, which plummeted from a high of 4260 to a low of 1620 just 12 months later.

BURSTING BUBBLE

In retrospect, the dot-com bubble was fueled by greed, rather than by sound business practices.

Aspiring Internet entrepreneurs thought they could bypass the long haul to success and achieve instant wealth just by hanging out a dot-com shingle.

No need to focus on profits or management or order fulfillment or customer satisfaction -- just launch the business and watch the money flow in.

They learned too late this simple truth: If more money flows out of the company than flows in, eventually the coffers will be empty and the business will die.

As a result of the dot-com rubble, today's crop of aspiring entrepreneurs has a much more realistic picture of what it takes to start a business.

The few who are interested in dot-com businesses are focused on sound business principles rather than on pipe dreams and bandwagons as they assemble their plans.

So the good news from the dot-com crash is that fledgling entrepreneurs -- and their investors -- once again realize there is no quick path to easy street.

As a result, most of today's new crop of entrepreneurs are launching businesses based on sound business principles.


Scott Clark is a Cedar Rapids, Iowa-based columnist. He can be reached by e-mail at mail@saclark.com.

Rabu, 15 Oktober 2008

HUJATAN PADA BANK INDONESIA

HUJATAN PADA BANK INDONESIA

Dias Satria

Penilaian sebagian besar ekonom Indonesia menyikapi kebijakan naiknya suku bunga SBI titik 9.50%, tentu menimbulkan pertanyaan sederhana apakah sebodoh itu Bank Indonesia melakukkan kebijakan yang salah. Atau dengan kata lain, Apakah gubernur Bank Indonesia baru “Pak Boediono” seorang ekonom senior Indonesia, sesederhana itu melihat permasalahan dan melawan arus pasar, yang sebagian besar melakukkan penurunan suku bunga.

Dibalik rasional kenaikkan suku bunga, ada beberapa pertimbangan dan perspektif dasar untuk melihatnya.

Kenaikkan suku bunga dari sisi neraca modal, tentu akan menciptakan perbedaan suku bunga domestik dan luar negri (interest rate differential). Dengan semakin positifnya perbedaan suku bunga domestik dengan internasional, tentu akan mendorong masuknya modal asing (capital inflow) atau mencegah capital outflow pada pasar keuangan domestik karena peluang return yang semakin tinggi. Jika ini yang terjadi, maka ketakutan akan semakin keringnya likuiditas domestik tentu tidak akan terjadi karena masuknya aliran modal tersebut. Selanjutnya dengan semakin meningkatnya aliran modal asing, tentu akan semakin memperbaiki nilai tukar domestik (apresiasi). Atau rupiah akan menguat.

Disisi lain, jika perekonomian sudah dalam batas lebih dari full employment (keseimbangan maksimal) maka penurunan suku bunga tidak akan memberikkan impact pada equilibrium, dan hanya menciptakan efek terhadap harga (atau inflasi). Hal ini tentu saja akan mengancam target inflasi Bank Sentral, ditengah-tengah tingginya harga-harga secara umum.

Kenaikkan suku bunga disisi lain juga akan semakin mendorong pihak bank untuk semakin berhati-hati dalam memberikkan pinjaman, karena kenaikkan suku bunga memberikkan constraint bagi mereka untuk melakukkan ekspansi kredit. Secara makro, pembatasan kredit ditengah-tengah kelesuan ekonomi tentu akan memperbaiki kualitas aset produktif, dan mengurangi kredit macet (NPL Non Performing Loans) bank. Amerika merupakan contoh sederhana, bahwa penurunan suku bunga membawa malapetaka yang besar bagi perekonomian domestiknya. Rasional/logika sederhananya adalah, disaat resesi ekonomi, masyarakat mana yang mampu membayar hutang-hutangnya. Sehingga jika respon penurunan suku bunga Amerika, direspon lembaga keuangan dengan melakukkan ekspansi kredit dengan membabi buta, maka dampaknya bisa kita lihat sekarang di US dengan krisis kredit macet yang terjadi dalam subprime mortgages dan kredit macet penggunaan kartu kredit.

Namun jika pandangan kontra berpendapat bahwa kebijakan kenaikkan suku bunga akan semakin merugikan perekonomian, karena terhambatnya ekspansi di sektor riil. Maka sesungguhnya kondisi ekonomi yang sedang tidak pasti ini diharapkan dapat menahan ekspansi ekonomi yang berlebihan dari para pengusaha. Karena pada akhirnya, sektor keuanganlah yang nantinya akan dirugikan jika terjadi default kredit karena ekonomi yang memburuk.

Tentu kebijakan kenaikkan suku bunga, bukan syarat utama suatu kebijakan untuk menanggulangi pelik dan rumitnya dampak krisis keuangan global yang terjadi di Indonesia. Masih banyak kebijakan lain yang menunjang yang intinya diharapkan dapat meningkatkan konfiden para pelaku usaha. Namun, minimal kebijakan suku bunga ini mampu meredam pengaruh negatif jangka panjang (resiko kredit, nilai tukar dan inflasi) yang ditimbulkan dari kebijakan yang salah (penurunan suku bunga-red). Meski kedepan, Bank Indonesia juga harus mempersiapkan kebijakan-kebijakan pendukung untuk membuat pasar semakin konfiden dengan pasar, atau minimal konfiden dengan apa yang dilakukkan oleh Pemerintah dan Bank Sentral sehingga respon yang dilakukkan pasar benar-benar merefleksikan kondisi atau performa ekonomi sesungguhnya, dan bukan tindakan irasional yang asimetris, yang menjatuhkan performa pasar keuangan domestik.

Dan, semakin membaiknya Bursa Ekonomi Indonesia dan meredamnya kepanikkan pasar di Indonesia beberapa hari ini tentu membuktikkan bahwa pasar telah konfiden dengan apa yang dilakukkan pemerintah. Dan kedepan, stabilitas keuangan Indonesia akan semakin baik dengan pengelolaan kebijakan yang brilian oleh seorang “Boediono”, “Sri Mulyani” dan “Miranda Gultom”.

Professor and Columnist Wins Economics Nobel

Professor and Columnist Wins Economics Nobel

Jessica Kourkounis for The New York Times

Paul Krugman was recognized by the prize committee for his “analysis of trade patterns and location of economic activity.”


Back Story With Paul Krugman (mp3)
Jessica Kourkounis for The New York Times

Paul Krugman, after he knew.

Readers' Comments

Readers shared their thoughts on this article.

The prize committee cited Mr. Krugman for his “analysis of trade patterns and location of economic activity.”

Mr. Krugman, 55, is probably more widely known for his Op-Ed columns in which he has been a perpetual thorn in President Bush’s (and now John McCain’s) side. His columns have won him both strong supporters and ardent critics.

The prize, however, was awarded for the academic — and less political — research that he conducted primarily before he began writing regularly for The Times.

“To be absolutely, totally honest, I thought this day might come some day, but I was absolutely convinced it wasn’t going to be this day,” Mr. Krugman said in an interview on Monday. “I know people who live their lives waiting for this call, and it’s not good for the soul. So I put it out of my mind and stopped thinking about it.”

Mr. Krugman won the prize for his research, beginning in 1979, that explained patterns of trade among countries, as well as what goods are produced where and why.

Traditional trade theory assumes that countries are different and will exchange only the kinds of goods that they are comparatively better at producing — wine from France, for example, and rice from China.

This model, however, dating from David Ricardo’s writings of the early 19th century, was not reflected in the flow of goods and services that Mr. Krugman saw in the world around him. He set out to explain why worldwide trade was dominated by a few countries that were similar to one another, and why a country might import the same kinds of goods it exported.

In his model, many companies sell similar goods with slight variations. These companies become more efficient at producing their goods as they sell more, and so they grow. Consumers like variety, and pick and choose goods from among these producers in different countries, enabling countries to continue exchanging similar products. So some Americans buy Volkswagens and some Germans buy Fords.

He developed this work further to explain the effect of transportation costs on why people live where they live. His model explained under what conditions trade would lead people or companies to move to a particular region or to move away.

Mr. Krugman’s work has been praised for its simplicity and practicality — features economists are often criticized for ignoring.

“Some people think that something deep only comes out of great complexity,” said Maurice Obstfeld, an economics professor at the University of California, Berkeley, who wrote a textbook on international economics with Mr. Krugman. “Paul’s great strength is to take something very simple and make something new and very profound.”

Mr. Krugman applied his skill at translating complex ideas into clear, entertaining prose to his Times columns, which he began writing in 2000. In recent years, in his column and a related blog on nytimes.com, nearly everything about the Bush administration — from health care policy to Iraq to “general incompetence” — has been the object of his scorn.

Along the way, Mr. Krugman has come in for criticism himself from both economists and lay readers.

“Much of his popular work is disgraceful,” said Daniel Klein, a professor of economics at George Mason University, who this year wrote a comprehensive review of Mr. Krugman’s body of Times columns. “He totally omits all these major issues where the economics conclusion goes against the feel-good Democratic Party ethos, which I think he’s really tended to pander to especially since writing for The New York Times.”

But he has equally fervent fans of his popular work.

“I praise today’s prize as being deserving and even overdue, but more than that I reproach the Pulitzer committee, which owed him at least a couple of prizes in the past,” said Paul A. Samuelson, a previous winner of the Nobel in economic science. “Paul Krugman is the only columnist in the United States who has had it right on almost every count from the beginning.”

Mr. Krugman said he did not expect his award to have much effect on how colleagues and his popular readership — whether they be friends or foes — regard him.

“For economists, this is a validation but not news,” he said. “We know what each other has been up to.”

“For readers of the column,” he added, “maybe they will read a little more carefully when I’m being economistic, or maybe have a little more tolerance when I’m being boring.”

He said he did not expect the prize to silence his critics, given the treatment of another outspoken laureate, the 2001 winner Joseph E. Stiglitz. Mr. Stiglitz has been both praised and criticized for his writings on whether globalization in its current form has been beneficial.

“I haven’t noticed him getting an easy time,” Mr. Krugman said. “People just say, ‘Sure, he’s a great Nobel laureate and he’s very smart, but he still doesn’t know what he’s talking about in this situation.’ I’m sure I’ll get the same thing.”

Mr. Krugman first gained a popular following while writing about economics for Slate magazine and Fortune in the 1990s. He frequently weighed in on contemporary free trade debates related to his research.

“He was appalled by the monster he created,” said Michael Kinsley, the founding editor of Slate, who hired Mr. Krugman. “He’d come up with this theory about why sometimes free trade wasn’t the best policy, and suddenly everyone was citing it as an argument against free trade, while he thinks it applies once in a blue moon.”

While Mr. Krugman’s popular writing is now more focused on politics and his research more concentrated on international finance, he has occasionally returned to his interest in trade. In the last year he has written several times about the negative results of free trade, both in his column and in a paper he wrote for the Brookings Institution about whether trade with poor countries increases inequality in developed nations like the United States.

In 1991 Mr. Krugman received the John Bates Clark medal, a prize given every two years to an economist under 40 who has made a significant contribution to economic knowledge. He follows a long list of Clark medal recipients who have gone on to win Nobels in economic science, including Mr. Stiglitz and Mr. Samuelson.

Mr. Krugman, who grew up on Long Island and has a bachelor’s degree from Yale and a doctorate from M.I.T., has been teaching at Princeton since 2000. This semester, he is teaching a graduate-level course in international monetary theory and policy. He often teaches all-freshman seminars on issues related to economics.

Mr. Krugman joins another Princeton economist, albeit one of different ideological leanings, who has been in the news recently: Ben S. Bernanke, the chairman of the Federal Reserve who, coincidentally, offered Mr. Krugman his Princeton post. Mr. Bernanke and Mr. Krugman were fellow graduate students at M.I.T. in the 1970s.

Their era at M.I.T. produced several other economists who went on to prestigious careers in public policy, including Olivier Blanchard and Kenneth Rogoff, the current and former chief economist at the International Monetary Fund.

Monday’s award, the last of the six prizes, is not one of the original Nobels. It was created in 1968 by the Swedish central bank in Alfred Nobel’s memory. Mr. Krugman was the sole winner of the award this year, which includes a prize of about $1.4 million.

Still, his collaborators and mentors in his international trade research — some of whom were considered competing candidates for the prize — extended their praise.

“Lots of people are saying to me, ‘Why didn’t you get it?’” said Jagdish Bhagwati, an economics professor at Columbia who helped Mr. Krugman publish one of his seminal papers when other academics thought it was too simple to be true. “Given the fact that I didn’t get it, this is the next best thing.”

Correction

An earlier version of this article published online referred incorrectly to a publication in which the economist Paul Krugman gained a popular following in the 1990s. It was Fortune, not Forbes.

Paul Krugman wins Nobel

October 13, 2008, 7:50 am

Paul Krugman Wins Economics Nobel

Paul Krugman, a professor at Princeton University and an Op-Ed page columnist for The New York Times, was awarded the Nobel Memorial Prize in Economic Sciences on Monday.

“It’s been an extremely weird day, but weird in a positive way,” Mr. Krugman said in an interview on his way to a Washington meeting for the Group of 30, an international body from the public and private sectors that discusses international economics. He said he was mostly “preoccupied with the hassles” of trying to make all his scheduled meetings today and answer a constantly ringing cell phone.

Mr. Krugman received the award for his work on international trade and economic geography. In particular, the prize committee lauded his work for “having shown the effects of economies of scale on trade patterns and on the location of economic activity.” He has developed models that explain observed patterns of trade between countries, as well as what goods are produced where and why. Traditional trade theory assumes that countries are different and will exchange different kinds of goods with each other; Mr. Krugman’s theories have explained why worldwide trade is dominated by a few countries that are similar to each other, and why some countries might import the same kinds of goods that it exports.

INSERT DESCRIPTIONPaul Krugman

“There was something very beautiful about the old existing trade theory, and its ability to capture the world in a surprisingly simple conceptual framework,” Mr. Krugman said. “And then I realized that some of the new insights coming through in industrial organization could be applied to international trade.”

Mr. Krugman wrote his dissertation, however, on international finance, and credits the late MIT professor Rudiger Dornbusch for pushing him to study international trade.

“I went to visit him one snowy day in early 1978 and described to him what I’d been thinking about,” Mr. Krugman said. “He turned to me and said, ‘You’ve got to write about that.’”

Mr. Krugman has been an Op-Ed page columnist at the New York Times since 1999. A collection of his recent columns can be found here.

“For economists, this is a validation but not news. We know what each other have been up to,” Mr. Krugman said. “For readers of the column, maybe they will read a little more carefully when I’m being economistic, or maybe have a little more tolerance when I’m being boring.”

He said that he did not expect his critics to let him off any easier because of his new accolade, though.

“I think we’ve learned this when we see Joe Stiglitz writing,” Mr. Krugman said, referring to the winner of the economics Nobel in 2001. “I haven’t noticed him getting an easy time. People just say, ‘Sure, he’s a great Nobel laureate and he’s very smart, but he still doesn’t know what he’s talking about in this situation.’ I’m sure I’ll get the same thing.”

In 1991 Mr. Krugman received the John Bates Clark medal, a prize given every two years to “that economist under 40 who is adjudged to have made a significant contribution to economic knowledge.”

Mr. Krugman follows a number of Clark medal recipients who have gone on to win a Nobel, including Mr. Stiglitz.

“To be absolutely, totally honest I thought this day might come someday, but I was absolutely convinced it wasn’t going to be this day,” Mr. Krugman said. “I know people who live their lives waiting for this call, and it’s not good for the soul. So I put it out of my mind and stopped thinking about it.”

He said he didn’t know which day the winner’s name would be released until a colleague told him last week.

Mr. Krugman continues to teach at Princeton. This semester Mr. Krugman is teaching a small graduate-level course on international monetary policy and theory, covering such timely subjects as international liquidity crises. In recent years he has also taught courses on the welfare state and international trade, as well as all-freshman seminars on various economic topics.

Monday’s award, the last of the six prizes to be announced, is not one of the original Nobels. It was created in 1968 by the Swedish central bank in Alfred Nobel’s memory. Mr. Krugman was the sole winner of the award this year, which includes a prize of about $1.4 million.

video KRUGMAN

link

http://video.google.com/videosearch?q=KRUGMAN+NOBEL&emb=0#

The good KRUGMAN

The good Krugman
Posted: October 14, 2008, 7:17 PM by NP Editor

Despite his political views, free-market economists find it hard to quarrel with a Nobel for Paul Krugman

By William Watson
You don’t get the Nobel Prize in Economics for writing newspaper columns (as I’ve been trying to explain to my mother the last couple of days). So the prize awarded Monday to Paul Krugman, professor of economics at Princeton and well-known Bush-baiting op-ed columnist for The New York Times, should not be read as an endorsement of Krugman’s uber-Democratic newspapering (which the Nobel backgrounder coyly referred to as “spirited”).
This is not to say the Nobel Committee is immune to political trends. Milton Friedman got the prize in 1976, the bicentenary of Adam Smith’s Wealth of Nations, which was perfectly fitting. And the committee tilted distinctly rightward over the next 20 years, with prizes to no fewer than five of Friedman’s University of Chicago colleagues (Schultz, Stigler, Becker, Coase and Lucas).
In recent years, however, Prizes to Joseph Stiglitz and now Krugman indicate the pendulum has been swinging the other way.

Rabu, 08 Oktober 2008

good link

http://www.seoconsultants.com/search-engines/

Senin, 06 Oktober 2008

MENGURAI KUSUTNYA KRISIS FINANSIAL AMERIKA

MENGURAI KUSUTNYA KRISIS FINANSIAL AMERIKA
Oleh : Dias Satria SE.,M.App.Ec
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya
Peneliti INSEF

Amerika saat ini benar-benar terpukul akibat episode-episode krisis keuangan yang melanda negrinya, mulai dari dot.com crisis, subprime mortgage crisis, wall street crisis hingga bankrutnya Lehman Brothers. Krisis yang menghabiskan dana talangan hingga ratusan miliar dolar, dan masih belum banyak memberikkan titik cerah bagi perkembangan Ekonomi AS, bahkan telah menjangkit ke beberapa kawasan dari Atlantik hingga Eropa dengan cepat.
Sumber asap: Ulah siapa?
Episode-episode krisis AS bukanlah merupakan rekayasa atau bentuk konspirasi negara lain terhadap AS, namun lebih disebabkan karena kerapuhan ekonomi domestik AS itu sendiri. Permasalahan ekonomi AS sebenarnya telah dimulai sejak 1990an, dimana ekonomi AS mulai menunjukkan defisit dalam current account (defisit perdagangan dan defisit fiskal). Bahkan penyakit defisit ini mulai meningkat drastis hingga US $ 664 Milyar di tahun 2004. Di tahun 2006, defisit AS telah mencapai 6.2% dari GDP AS.
Strategi defisit merupakan sumber permasalahan krisis yang menimpa AS selama ini. Dengan semakin rendahnya kinerja sektor riil AS tentu telah banyak mempengaruhi kinerja sektor keuangan yang makin babak belur. Meski inovasi dan kemajuan telah terjadi di pasar keuangan AS, namun tetap saja performa pasar keuangan merupakan representasi dari sektor riil. Sehingga resesi di sektor riil sudah pasti akan menciptakan krisis di sektor keuangan.
Pertanyaannya adalah, mengapa AS sekian lama mampu mempertahankan strategi defisit?dan siapa yang membiayainya?dan mengapa mereka mau membiayai defisit AS?Jawabannya terletak pada kekuatan status US Dollar yang diminati dunia, sebagai standar yang diterima umum dalam perdagangan internasional. Hal inilah yang secara umum mendorong bank-bank sentral dunia untuk memegang aset berdenominasi Dollar, sebagai cadangan (reserves). Strategi ini bertujuan untuk menstabilkan nilai tukarnya terhadap US Dollar. (Reinhart (2000) menjelaskan keadaan ini sebagai kondisi fear of floating, atau takut nilai tukarnya berfluktuasi).
Penyakit Menular
Krisis Finansial Amerika bak penyakit menular yang secara cepar menjangkit perekonomian negara-negara lain. Bank Sentral Jerman bahkan tengah mempersiapkan pinjaman 35 miliar Euro (US $ 51 Miliar) untuk menyelematkan Hypo Real Estate (Peminjam terbesar kedua di sektor real estate). Hypo Real estate disebutkan sebagai salah satu dari 5 perusahaan yang mendapatkan penyelamatan pemerintah eropa dalam 3 hari terakhir. Beberapa perusahaan seperti: Fortis (Belgia, Belanda dan Luxemborg), Bradfod & Bingley (Inggris), Dexia (Belgia, Prancis dan Luxemburg) dan Glitnir (Iceland), juga ikut serta dalam daftar penyelematan .
Mengapa penyakit krisis finansial ini cepat menular?Jawabannya hampir sama seperti yang terjadi di Asia 1997, bahwa respon pelaku pasar yang asimetri, telah menyebabkan kepanikkan yang luar biasa sehingga menyebabkan perilaku-perilaku di pasar keuanan yang Irasionil. Hal ini tentu disebabkan oleh permasalahan yang kompleks, termasuk bagaimana respon pengambil kebijakan mempengaruhi ekspektasi masyarakat dan sebaliknya. Di sisi lain kemajuan teknologi informasi di pasar keuangan, telah banyak mempengaruhi aliran informasi dengan cepat. Dan mendorong perilaku yang cepat pula. Hal inilah yang secara umum menyebabkan krisis menyebar.
Biaya yang mahal
Tentu krisis finansial harus dibayar mahal bagi dunia. Pertama krisis finansial membutuhkan dana talangan (Bail out) yang tinggi, dan menguras keuangan negara. Kedua krisis finansial sebagai jantung perekonomian telah menyebabkan mandeknya sektor riil karena aliran darah (uang) ke seluruh tubuh (sektor ekonomi) terhambat. Ketiga krisis finansial cenderung meningkatkan efek domino yang tinggi (its like a spagheti bowl effect, anda mungkin sulit mencari ujung-ujuangnya mie spageti). Keempat bagi bank-bank, kesulitan likuiditas akibat tingginya biaya dana. Bahwa dengan adanya krisis, bank harus mencari dana tambahan dengan meningkatkan pinjaman overnight dengan biaya bunga yang tinggi. Kelima krisis finansial mudah sekali berubah wujud menjadi kehancuran ekonomi yang menyebabkan hilangnya perkerjaan dan mendorong terjadinya kemiskinan. (dias.satria@yahoo.com)

Selasa, 23 September 2008

Kepanikan Keuangan Global

Selasa 23/09/2008 10:53:46
Kepanikan Keuangan Global

Oleh: Satria SE., M.App.Ec Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unibraw, peneliti INSEF

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut. Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebangkrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebangkrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan risiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat. Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan” karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia. Sebelumnya pada 1995, salah satu Bank Tertua Inggris, Barings Bank, mengalami nasib serupa akibat kerakusan salah satu trader-nya, Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga USD 1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank) Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank Societe Generale Prancis yang mencapai USD 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu trader-nya yang bernama Jérôme Kerviel. Beberapa pengalaman penting di atas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang jeorpadized. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang di dalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien. Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut: Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan. Bahwa saat ini sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual) Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor risiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen risiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer. Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen risiko, tak satu pun yang mampu meramalkan pergerakan risiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikan hanya sebatas keterbukaan risiko dan probabilitas default atau risiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini. Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan. Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi. Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat. *

Sabtu, 20 September 2008

Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi

Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi

KEPANIKKAN KEUANGAN GLOBAL DAN PERGESERAN FUNGSI VITAL PERBANKAN

KEPANIKKAN KEUANGAN GLOBAL DAN PERGESERAN FUNGSI VITAL PERBANKAN
Dias Satria SE.,M.App.Ec
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan (Fak Ekonomi, Universitas Brawijaya)
Peneliti INSEF

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia, terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan dan nafsu yang berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair, jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut.

Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebankrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebankrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia.

Sebelumnya di tahun 1995, salah satu Bank Tertua Inggris “Barings Bank” mengalami nasib yang serupa, akibat kerakusan salah satu tradernya Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukkan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga US$1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank)

Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank “Societe Generale” prancis yang mencapai US$ 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu tradernya yang bernama Jérôme Kerviel.

Beberapa pengalaman penting diatas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang “jeorpadized”. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang didalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien.

Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut:

Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan.

Bahwa saat ini, sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual)

Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor resiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukkannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen resiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer.

Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen resiko, tak satupun yang mampu meramalkan pergerakan resiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikkan hanya sebatas keterbukaan resiko dan probabilitas default atau resiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini.

Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan.

Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi.

Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat.

Jumat, 19 September 2008

Lehman

Lehman Brothers: Warning bagi perbankan tanah air
Oleh: Dias satria
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya
Peneliti INSEF (Surabaya)

Kekacauan keuangan global yang diperpanas dengan bankrutnya “Lehman Brother”, salah satu lembaga keuangan terkenal di AS, telah banyak mempengaruhi gejolak dalam pasar keuangan domestik. Gejolak bagi pasar keuangan domestik tentu bukan sekedar permasalahan hubungan keuangan (ex: connected lending) dengan Lehman Brothers, namun lebih banyak dipicu oleh “asymmetri information” yang menyebabkan kepanikkan pasar dan ketidakpercayaan pelaku pasar asing dan domestik.

Permasalahan inti Lehman Brothers terletak pada tingginya posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat.

Bagi perkembangan keuangan domestik, Lehman Brothers tentu akan mempengaruhi kinerja pasar keuangan (saham dan uang) karena perubahan ekspektasi investor dan tentu, perubahan perilakunya. Selain itu, pengaruh bagi pasar domestik akan terjangkit melalui perubahan fundamental indikator makro internasional yang terangkum dalam neraca pembayaran, khususnya bagaimana pengaruhnya terhadap perbedaan suku bunga domestik dan luar negri serta instabilitas nilai tukar terhadap aliran modal masuk ke negara-negara berkembang.

Dalam konteks ini, bank harus waspada dengan semakin menurunnya nilai pasar atau market value dari aset-aset mereka. Dengan kata lain, menurunnya indeks gabungan IHSG dan securities secara umum akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi profitabilitas aset yang mereka pegang. Dalam konteks ini, kecukupan modal akan menjadi sumber kekuatan bank untuk bertahan dalam ancaman resiko likuiditas dan insolvency.

Namun, disisi lain antisipasi yang serius perlu untuk dilakukkan guna mengamankan stabilitas keuangan domestik khususnya dari perspektif keuangan internal industri perbankan tanah air. Beberapa indikator seperti tingginya kredit konsumsi dan lemahnya intermediasi perbankan, harus segera direvitalisasi untuk menghindari industri perbankan dari keterpurukan.

Secara umum ada beberapa pelajaran penting dari kekacauan keuangan global ini.
Pertama, terlalu tingginya pinjaman konsumsi (kredit properti, kartu kredit dll) ditengah-tengah lesunya fundamental ekonomi akan menciptakaan ancaman instabilitas keuangan.

Kedua, implementasi manajemen resiko yang hanya sebatas tangan atau “arm length” analysis, yang sangat digemari perbankan saat ini karena biayanya yang rendah, telah mengarahkan aktivitas investasi aset perbankan ke transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif dan “tidak produktif”. Bahwa saat ini, ada kecenderungan bahwa perbankan semakin enggan untuk melakukkan fungsi vitalnya “intermediasi”, yang seharusnya dapat memberikkan pinjaman ke sektor-sektor usaha yang produktif.

Hal ini jugalah yang meningkatkan ancaman bagi perbankan tanah air, ditengah-tengah tingginya kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan. Bahwa penurunan aktivitas tradisional perbankan yang sesungguhnya telah memudar, dan mengancam perkembangan perbankan itu sendiri.

Ketiga, masuknya lembaga keuangan asing (termasuk bank asing) harus dapat ditelaah lebih lanjut. Apakah dengan masuknya bank asing, “mudharat yang diberikan lebih besar dari manfaatnya?”. Beberapa indikator penting yang dapat digunakan antara lain, seberapa besar peran bank asing bagi kemajuan UMKM?seberapa besar pinjaman modal kerja bank asing?apakah bank asing lebih menyukai kredit konsumsi saja?

Hal ini juga menunjukkan bahwa meski secara positif masuknya lembaga keuangan asing membawa pelajaran penting berupa best pratices (implementasi manajemen resiko), namun disisi lain masuknya lembaga keuangan asing dapat juga membawa penyakit.

Di sisi lain, secara empiris, konsentrasi yang terlalu tinggi (tingginya jumlah pemain asing dalam pasar domestik) dalam dunia perbankan tentu memiliki ekses yang negatif bagi aktivitas perbankan tanah air. Bahwa dengan semakin tingginya kompetisi yang dapat mengurangi market share dan keuntungan mereka, maka hal ini akan mengarahkan perilaku perbankan yang cenderung spekulatif dengan mencari sumber keuntungan baru di pasar keuangan (saham dan uang). Hal inilah yang pada dasarnya membahayakan stabilitas sistem keuangan domestik, karena bergesernya fungsi vital perbankan bagi pembangunan

Tiga permasalahan ini tentu dapat menjadi warning bagi perbankan tanah air, bahwa goncangan eksternal dan kekuatan internal industri perbankan harus segera diperbaiki guna menghindari krisis keuangan yang berkepanjangan.

“PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL KINI DAN YANG AKAN DATANG”

“PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL KINI DAN YANG AKAN DATANG”

Dias Satria


1. PENDAHULUAN
Indonesia pada akhir tahun 1980-an sampai dengan pertengahan dekade 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Bahkan kinerja makro ekonomi tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia. Sejak 1987 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat rekor tertinggi hingga mencapai 7,1%. Performa pada saat itu selain diperkuat dengan kinerja ekspor dan industri pengolahan yang gemilang, juga dipicu oleh deregulasi sektor keuangan yang menyebabkan tingginya aliran modal masuk (Capital inflow) dan pertumbuhan kredit. Namun keadaan tersebut secara sekejap hilang seiring dengan kuatnya pengaruh external shock (depresiasi mata uang Bath Thailand) dan rentannya perekonomian domestik akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi (unhedged foreign debt).
Pada bulan Juli 1997, krisis nilai tukar mengawali krisis yang terjadi di Indonesia. Krisis nilai tukar pada saat itu telah berubah wujud menjadi krisis perbankan dan krisis keuangan yang berujung pada krisis ekonomi yang rumit. Namun pada dasarnya permasalahan krisis pada saat itu utamanya bukan disebabkan oleh lemahnya fundamental makroekonomi, tapi lebih disebabkan karena kurang sehatnya perkembangan sektor keuangan dan perbankan di tanah air (unsound banking system) akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi.
Keadaan ekonomi Indonesia pascakrisis sudah menunjukkan pemulihan di berbagai lini dan sektor. Hal ini ditunjukkan dengan kian membaiknya beberapa indikator internal dan eksternal ekonomi, serta perbaikkan dalam kesejahteraan ekonomi yang diukur dari pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto). Namun perlu disadari bahwa pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung belum banyak menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam pengurangan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia. Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN yang dulunya memiliki skala ekonomi yang sama dengan Indonesia, nampak proses recovery yang terjadi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat daya saing ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Selain itu, reformasi yang sifatnya struktural untuk memperbaiki kinerja ekonomi juga masih belum tampak di Indonesia dilihat dari lamanya Indonesia untuk keluar dari krisis (years to recover). Keadaan ini secara rinci dijelaskan dalam tabel di bawah.

Tabel 1: Rata-rata Pertumbuhan PDB di Beberapa Negara Asia Tenggara
(dalam persen)
1987-1996 1997-1999 2000-2006 Years to recover
Hong Kong 5.2 -0.8 4.7 3
Indonesia 7.1 -6.4 4.9 7
Korea 8.1 1.0 4.6 2
Malaysia 9.5 -0.8 4.7 6
Philippines 3.6 1.4 4.6 3
Singapore 9.2 2.8 4.6 2
Taiwan 7.2 5.1 3.3 5
Thailand 9.5 -3.3 5.1 3
East Asia* 7.6 0.0 4.5 -
Sumber: IMF, RBA, CEIC; dalam Satria, 2007
Dalam menangkap peluang ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat diperlukkan transformasi ekonomi yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam infrastruktur, penciptaan stabilitas makroekonomi yang kuat, pembangunan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata serta komitmen dalam pencapaian pemerintahan yang sehat bersih dan bertanggung jawab. Di sisi lain, strategi pembangunan nasional juga harus diarahkan secara serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada titik inilah diperlukkan strategi untuk meningkatkan kualitas standar produk yang setara dengan standar internasional sekaligus mematenkannya menjadi produk karya asli masyarakat domestik. Capaian di atas merupakan gambaran strategi jangka panjang bagi perekonomian Indonesia, yang secara umum diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan distribusinya serta mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Berpijak pada uraian di atas, paparan-paparan selanjutnnya akan membahas secara lebih detail performa makroekonomi Indonesia saat ini serta masalah-masalah mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Indonesia. Selain itu juga akan dibahas tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi perekonomian Indonesia didalamnya. Lebih lanjut, secara umum paparann selanjutnya akan menguraikan (i) fundamental ekonomi Indonesia; (ii) pemasalahan mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; dan (iii) tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi Indonesia.
2. FUNDAMENTAL EKONOMI INDONESIA
Secara umum kondisi fundamental ekonomi Indonesia sudah menunjukkan performa yang makin membaik dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan tren yang makin meningkat dari PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 6,30% di tahun 2007, meningkat 1,40% jika dibandingkan dengan pertumbuhan PDB di tahun 2000 (lihat Gambar 1). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini juga ditopang dengan pengendalian inflasi yang rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikkan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia.

Gambar 1: Pertumbuhan PDB Indonesia

Sumber: Bank Indonesia (2008)

Namun perlu disadari bahwa meskipun secara fundamental makroekonomi sudah menunjukkan pemulihan, namun kondisi tersebut belum banyak memberikkan kontribusi yang signifikan pada pengurangan kuantitas tingkat kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan kata lain pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini belum cukup berkualitas dan solutif bagi pemecahan permasalahan dasar ekonomi yaitu kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan Sektoral Ekonomi
Secara historis, selama tahun 1970-1997 perekomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur yang ditandai dengan meningkatnya performa industri pengolahan yang terefleksi dari semakin tingginya share investasi dan Ekspor terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Pertumbuhan yang tinggi dalam industri pengolahan pada saat itu secara tidak langsung telah menggeser peran sektor pertanian, sehingga banyak terjadi pergeseran fungsi modal, tenaga kerja dan lahan untuk sektor pertanian ke sektor industri pengolahan.

Tabel 2: Indikator Makroekonomi
KETERANGAN 2003 2004 2005 2006 2007
Inflasi IHK 5.10 6.40 17.11 6.60 6.59
Transaksi Berjalan/PDB 3.40 0.60 0.10 2.90 2.50
Tingkat Pengangguran Terbuka 9.50 9.40 10.80 10.30 9.10
Tingkat Kemiskinan 17.40 16.70 16.00 17.70 16.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Namun perkembangan sektor industri pengolahan pascakrisis tengah mengalami stagnasi performa. Stagnasi yang terjadi di sektor industri pengolahan tercermin dari sisi permintaan agregat, di mana sektor Investasi dan ekspor yang semula dominan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi sudah mengalami penurunan performa tergeser dengan meningkatnya peran konsumsi. Penurunan kinerja sektor industri pengolahan secara lebih detail dapat dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 3. Dari tabel tersebut nampak bahwa kinerja sektor Industri belum menunjukkan perbaikkan yang signifikan sejak tahun 2005, bahkan belum mampu menandingi pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2003-2004.

Tabel 3: Pertumbuahan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi
KETERANGAN 1998 2003 2004 2005 2006 2007
Pertanian -1.30 3.80 2.80 2.70 3.40 3.50
Pertambangan dan Penggalian -2.80 -1.40 -4.50 3.20 1.70 2.00
Industri Pengolahan -11.40 5.30 6.40 4.60 4.60 4.70
Listrik, Gas, dan Air Bersih 3.00 4.90 5.30 6.30 5.80 10.40
Bangunan -36.40 6.10 7.50 7.50 8.30 8.60
Perdagangan, Hotel, dan Restoran -18.20 5.40 5.70 8.30 6.40 6.50
Pengangkutan dan Komunikasi -15.10 12.20 13.40 12.80 14.10 14.40
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan -26.60 6.70 7.70 6.70 15.50 8.00
Jasa-jasa -3.80 4.40 5.40 5.20 6.20 6.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Rendahnya pertumbuhan investasi dalam industri pengolahan berimplikasi pada kian menurunnya akumulasi modal (kapital) tetap. Di sisi lain menurunnya akumulasi modal dalam kondisi tingginya tingkat tenaga kerja menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Capital shortage ini tentu saja juga akan berimplikasi pada semakin memburuknya TFP (Total Factor Productivity), di mana nilainya tidak mampu menembus angka 1% dalam kurun waktu 2000-2004 jauh di bawah TFP Sebelum krisis yang mampu mencapai 3%.

Gambar 2: PDB Sisi Pengeluaran

Sumber: Bank Indonesia, 2008

Berdasarkan kontribusi PDB sisi pengeluaran dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan konsumsi relatif stabil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pembentukkan modal yang relatif unstable (lihat Gambar 2). Bahkan pembantukkan modal menurun rendah hingga menyentuh 2,50% di tahun 2006, angka ini terus merangkak naik hingga tahun 2007 yang mampu mencatat pertumbuhan yang tinggi mencapai 9.20%. Di sisi lain, kontribusi PDB dari sisi pengeluaran khususnya ekspor mengalami penurunan kinerja sejak tahun 2005, tentu hal ini harus menjadi concern yang serius berkaitan dengan eksistensi Indonesia dalam memenangkan kompetisi dalam ekonomi global.
Selanjutnya perlambatan performa sektor ekonomi juga terjadi di sektor pertanian. Hal ini didasarkan pada data yang dipublikasikan oleh BPS. Data tersebut mewartakan bahwa sektor pertanian cenderung mengalami penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006. Keadaan ini secara umum disebabkan oleh pergeseran struktur ekonomi ke sektor industri yang telah banyak mengorbankan faktor produksi yang sebelumnya digunakan di sektor pertanian. Secara lebih spesifik, melambatnya kinerja sektor pertanian disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan berkurangnya luas lahan. Rendahnya produktivitas pertanian secara umum disebabkan oleh permasalahan infrastruktur, penggunaan teknologi yang terbatas dan pengadaan pupuk yang belum memadai. Perlambatan kinerja sektor pertanian ini tentu berimplikasi pada penyediaan bahan makanan dan penyerapan tenaga kerja yang semakin rendah.
Sektor penyumbang PDB yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara tahun 2006-2007, adalah sektor listrik, gas dan air bersih, yang meningkat dari 5,80% di tahun 2006 mencapai 10,40% di tahun 2007. Sedangkan sektor yang mengalami penurunan kinerja cukup signifikan di antara tahun tersebut, adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang menurun drastis dari 15,50% di tahun 2006 ke angka 8,00% di tahun 2007. Selanjutnya sektor ekonomi yang relatif memiliki pertumbuhan yang tinggi dan stabil, antara lain sektor bangunan dan sektor pengangkutan serta telekomunikasi yang relatif stabil di angka masing-masing 8% dan 14%. Di sektor telekomunikasi, terjadi peningkatan permintaan yang cukup tinggi, sehingga dapat berkontribusi signifikan terhadap PDB. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap jasa telekomunikasi dan penggunaan internet yang telah meningkat hingga 40-50% pertahun.

Kondisi ekternal Indonesia
Kondisi eksternal Indonesia jika dilihat dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan perbaikkan di beberapa sektor, seperti ditunjukkan dengan perbaikkan kinerja transaksi berlajan (ekspor dan impor) maupun kinerja transaksi keuangan dan modal (Tabel 4). Namun jika dilihat secara lebih spesifik struktur dalam transaksi berjalan dan transaksi keuangan dan modal, bahwa posisi eksternal Indonesia masih belum optimal. Pertama, di sisi ekspor secara umum telah terjadi penurunan kinerja, yang secara tidak langsung memengaruhi transaksi berjalan. Kedua, di sisi transaksi keuangan dan modal, perekonomian Indonesia mengalami penurunan kontribusi investasi langsung atau Foreign Direct Investment. Selanjutnya, investasi jangka pendek atau Portolio Investment menunjukkan kecenderungan meningkat, yang secara tidak langsung harus diantisipasi jika terjadi capital rehearsal atau penarikkan dana tiba-tiba yang dapat mengakibatkan instabilitas keuangan makro.


Tabel 4: Neraca Pembayaran Indonesia
(Dalam Juta US $)
Rincian 2005 2006 2007
I. Transaksi Berjalan 278 10,836 11,009
II. Transaksi Modal dan Finansial 345 2,944 2,753
III. Jumlah (I+II) 623 13,780 13,726
IV. Selisih Perhitungan Bersih -179 729 -1,220
V. Neraca Keseluruhan (III+IV) 444 14,510 12,543
VI. Cadangan Devisa dan yang Terkait -444 -14,510 -12,543
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Dalam transaksi berjalan, kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan dari 19% pada tahun 2006 menjadi 14% pada tahun 2007. Sebagai contoh, pertumbuhan ekspor pertanian yang sebelumnya mencapai pertumbuhan 25,54% menurun kinerjanya hingga 10% ke titik 14,7%. Hal ini juga terjadi dalam kinerja ekspor nonmigas yang menurun hingga 5% selama tahun 2006-2007 (Tabel 5). Secara umum kinerja ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas Sumber Daya Alam, khususnya pertambangan. Performa ini didukung oleh semakin meningkatnya harga komoditas tambang yang meningkat sejak tahun 2004.

Tabel 5: Perkembangan Ekspor
KETERANGAN 2006 2007 2007
Perubahan (%) Nilai fob Pangsa
(juta $) (%)
Ekspor Nonmigas 20.7 15.6 93.142 78.9
Pertanian 25.54 14.7 11.704 9.9
Pertambangan 13.01 17.2 21.609 18.3
Perindustrian -7 15.2 59.829 50.7
Ekspor Migas 13.4 8.4 24.872 21.1
Total 19 14 118.014 100
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Dalam transaksi keuangan dan modal, peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada aliran modal portofolio dibandingkan dengan Foreign Direct Investment atau investasi langsung. Tingginya aliran modal dalam bentuk portofolio investment dipicu oleh berbagai faktor seperti pemotongan suku bunga The Fed yang menyebabkan kurang menariknya berinvestasi di Amerika Serikat, serta kecenderungan aliran modal dari negara-negara yang mengalami surplus transaksi berjalan (seperti di China, India, dan negara-negara eksportir minyak). Namun tingginya aliran modal asing yang berbentuk portofolio investment perlu diawasi secara ketat karena mobilitasnya yang sangat tinggi, yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan domestik. Selain itu, tingginya likuiditas yang semakin tinggi dalam perekonomian akibat capital inflow akan dapat menyebabkan inflasi yang tinggi dan sindrom overborrowing (kredit yang berlebihan).
Di sisi lain, tren investasi langsung atau FDI yang makin menurun harus segera diantisipasi secara tepat. Tren yang menurun ini merupakan refleksi beberapa permasalahan yang kompleks berkaitan dengan kelembagaan atau micro risk yang menyebabkan kurang diminatinya Indonesia sebagai lahan berinvestasi. Sejak tahun 2005, penurunan nilai FDI menurun dari US$ 5,27 miliar ke angka US$ 1,16 juta di tahun 2007.

Gambar 3: Transaksi Finansial (dalam juta US$)

Sumber: Bank Indonesia, 2008

Selanjutnya dalam kaitannya posisi eksternal Indonesia khususnya posisi Utang Luar Negeri (ULN) menunjukkan perbaikkan dari tahun ke tahun (Tabel 6). Hal ini terlihat dari beberapa indikator penting seperti tren penurunan posisi ULN dan peningkatan posisi cadangan devisa domestik. Keadaan ini secara umum menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengatasi permasalahan utang yang sebelumnya menjadi hambatan atau barrier bagi penciptaan pembangunan ekonomi yang berkualitas.


Tabel 6: Posisi Utang Luar negeri
KETERANGAN 1996 1997 2005 2006 2007
Pembayaran Bunga ULN/PDB 2.7 3 1 1.3 1.2
Posisi ULN/PDB 48.5 60.3 45.3 34.9 31.2
Cadangan Devisa/ Pembayaran ULN 91.2 73.4 185.6 138.8 210.8
Cadangan Devisa/Posisi ULN 17.4 15.7 26.6 33.1 41.7
Posisi ULN (miliar $) 110.171 136.088 130.652 128.736 136.64
Posisi Cadangan Devisa (miliar $) 19.215 21.418 34.724 42.586 56.920
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Evaluasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Kebijakan ekonomi yang saat ini diemban pemerintah dihadapkan pada tantangan yang cukup berat di tengah tingginya harga minyak, inflasi harga komoditas serta penurunan kinerja ekonomi global. Di sisi fiskal, tantangan terberatnya adalah menjaga kekuatan posisi anggaran karena tingginya subsidi pemerintah atas harga minyak. Selanjutnya di sisi moneter, pemerintah akan menghadapi tantangan tingginya inflasi yang dapat meningkatkan tendensi implementasi kebijakan moneter yang kontraktif dengan peningkatan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Hal ini tentu saja akan banyak mendistorsi iklim investasi domestik yang diharapkan tumbuh untuk menciptakan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Secara umum implementasi kebijakan fiskal saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup berat akibat tingginya harga minyak dunia dan harga pangan. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengancam sustainability dari strategi defisit fiskal pemerintah karena tingginya subsidi yang harus ditanggung. Di sisi lain, tingginya subsidi yang harus ditanggung ini secara tidak langsung akan menggeser prioritas-prioritas pembangunan lain yang secara jangka panjang penting bagi proses pembangunan. Sebagai contoh program-program prioritas untuk pengentasan kemiskinan seperti program penguatan masyarakat (community empowerment program) dan program-program yang berkaitan, seperti: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, tentu akan semakin berkurang proporsinya jika pemerintah tetap mempertahankan harga minyak domestik di tengah-tengah tingginya harga minyak dunia. Secara statistik, defisit fiskal yang dialami oleh pemerintah telah meningkat dari 0,5% terhadap PDB di tahun 2005 menjadi 1,2% di tahun 2007. Defisit fiskal tentu akan semakin melebar ditengah tingginya subsidi akan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang diberikan pemerintah sebagai bentuk kompensasi atas administrated policy (kebijakan harga) atas harga Bahan Bakar Minyak.
Defisit fiskal saat ini ditutupi oleh pemerintah dengan melakukan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, efisiensi belanja negara, mengeluarkan obligasi pemerintah serta pinjaman dengan development partner. Namun pinjaman ini tidak meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia, karena didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa posisi ULN terhadap PDB (ULN/PDB) terus mengalami perbaikkan seperti yang digambarkan penurunannya dari tahun 2005-2007, dari 45,3 poin mencapai angka 31,2. Kemampuan membayar ULN juga didukung dengan akumulasi cadangan devisa yang makin meningkat. Hal ini ditandai dengan proporsi cadangan devisa terhadap posisi ULN yang terus meningkat trennya.
Berbagai upaya teleh disinergikan untuk menjaga stabilitas makro yang merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan yang berkesinambungan dan berkualitas. Selain itu pemerintah juga telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran serta kemiskinan melalui pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Program-program yang dilakukan antara lain, mencakup: (i) perbaikan iklim investasi; (ii) reformasi sektor keuangan; (iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan (iv) pemberdayaan UMKM.
Di sisi kebijakan fiskal, support pemerintah dipusatkan pada upaya stimulus dalam bidang perpajakan, pengeluaran rutin serta belanja modal yang didorong agar dapat meningkatkan infrastruktur dasar sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, terkait dengan program pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas, stimulus dilakukan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah.
Di sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) secara konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai stabilitas harga melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Meskipun perlu dipahami bahwa pencapaian tingkat inflasi yang rendah di era inflasi global yang tinggi (tren harga minyak dan harga komoditas yang tinggi) adalah tantangan yang besar bagi Bank Indonesia. Bahkan kebijakan moneter untuk meredam inflasi dapat berefek pada terjadinya output loss dalam perekonomian. Dalam konteks pencapaian target inflasi yang diharapkan, unsur ekspektasi masyarakat secara empiris memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk inflasi di masa depan, selain penciptaan kredibilitas Bank Indonesia yang transparan dan akuntabel. Dalam mencari solusi peningkatan akuntabilitas melalui optimalitas pencapaian target ITF, bank sentral diharuskan meningkatkan upaya komunikasi yang efektif pada masyarakat. Stevens (2007) dalam buletin RBA (Reserve Bank of Australia) menjelaskan bagaimana peran yang efektif dalam komunikasi akan dapat membantu bank sentral mencapai target IT yang diinginkan, atau paling tidak dapat membantu menjinakkan stabilitas ekonomi secara umum.
Secara umum ada dua alasan mengapa komunikasi pada publik ini menjadi sangat penting bagi Bank Sentral. Pertama, komunikasi yang rutin pada publik merupakan salah satu bentuk tanggung jawab publik sebuah otoritas moneter di era masyarakat yang semakin demokratis. Hal ini menjadi sangat penting karena tugas utama bank sentral sangat erat berkaitan dalam mendukung penciptaan kondisi makroekonomi yang kuat, mendorong penciptaan tingkat tenaga kerja penuh full employment dan menjamin stabilitas sistem keuangan dan pembayaran. Kembali pada konteks awal, tentu beberapa tujuan di atas bukanlah amanat yang mutlak harus diemban oleh Bank sentral karena sejatinya target stabilitas harga (atau IT) yang hanya dapat diemban bank sentral secara optimal.
Kedua, komunikasi yang efektif sangat bermanfaat dalam mendukung efektivitas kebijakan moneter dalam perekonomian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya instrumen moneter yang populer digunakan untuk memengaruhi inflasi, yaitu cash rate hanya memiliki efek yang kecil dan panjang dalam memengaruhi inflasi. Oleh karena itu, kebutuhan efektivitas komunikasi publik diharapkan dapat menciptakan kondisi ekspektasi masyarakat yang positif, yang secara nyata dapat memengaruhi kondisi ekonomi secara umum karena perubahan perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat itu sendiri.
Komunikasi yang efektif secara umum dapat meyakinkan persepsi masyarakat, khususnya terhadap upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh bank sentral dalam menghadapi shock dalam perekeonomian. Jika masyarakat percaya terhadap apa yang dilakukan bank sentral untuk memengaruhi ekonomi, maka stabilitas dalam perekonomian akan mudah untuk diciptakan. Hal ini tentu harus didukung oleh komunikasi yang efektif yang berisi tentang pengertian yang jelas atas tujuan-tujuan (objectives) serta framework kebijakan moneter bank sentral untuk dapat menyelesaikan tekanan-tekanan yang dapat mengancam stabilitas harga. Pendeknya, dua hal inilah (objectives dan framework yang jelas dari bank sentral) yang dapat membantu memberikan pengetahuan yang baik pada masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengarahkan persepsi dan ekspektasi masyarakat agar dapat membantu berkontribusi pada upaya stabilitas makroekonomi (Satria, 2007)
Selanjutnya untuk kebijakan yang lain, pemerintah saat ini telah merampungkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk memperbaiki iklim investasi domestik dan kualitas pelayanan publik. Pada Bulan juli 2008, ada empat area kebijakan yang diprioritaskan secara bersama-sama, antara lain investasi, infrastruktur, sektor keuangan, dan UKMK. Bahkan ditargetkan pada bulan tersebut sudah ada 165 kebijakan yang selesai. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan dapat mengisi pembangunan ekonomi Indonesia untuk dapat berkembang secara lebih sehat dan memiliki daya kompetisi yang tinggi.

3. MASALAH MIKROSTRUKTURAL PENGHAMBAT AKSELERASI EKONOMI INDONESIA
Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa performa ekonomi Indonesia, khususnya kontribusi sektor industri, investasi, dan ekspor yang seharusnya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Dalam konteks ini, kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengakumulasi modal dan meningkatkan produktivitasnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah. Selain itu, akselerasi ekonomi Indonesia juga belum menunjukkan tingkat daya saing yang membanggakan jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang secara signifikan meningkatkan peringkat daya saingnya beberapa tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa tingkat daya saing Indonesia di bidang Ekonomi meski menunjukkan tren yang membaik, yakni ditandai dengan tren peringkat daya saing yang membaik dari 69 di tahun 2005 menjadi peringkat 54 di tahun 2007, serta tren beberapa indikator investasi (Doing Business) yang membaik dari tahun 2006 ke 2007, namun secara umum peringkatnya masih jauh di bawah beberapa negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.
Tabel 7: Peringkat Daya Saing Oleh WEF
NEGARA PERINGKAT
2005 2006 2007
Indonesia 69 54 54
Singapura 5 8 7
Malaysia 25 19 21
Thailand 33 28 28
Filipina 73 75 71
Vietnam 74 64 68
Kamboja 111 106 110
Timor Leste 113 120 127
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007

Rendahnya peringkat daya saing Indonesia disebabkan oleh berbagai permasalahan yang kompleks menyangkut kondisi infrastruktur, institusi dan pendidikan dasar. Dalam survei World Economic Forum (WEF) tahun 2007 tersebut dijelaskan bahwa faktor utama yang menghambat bisnis di Indonesia adalah infrastruktur yang buruk dan inefisiensi dalam institusi publik atau birokrasi. Kualitas institusi di Indonesia juga dinilai rendah berdasarkan hasil survei Transparency International mengenai persepsi korupsi yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 134 terkorup di dunia (dari 163 negara). Sementara itu, menurut hasil survei Bank Dunia, ditemukan sejumlah hambatan dalam proses memulai usaha di Indonesia, yang mencakup jumlah prosedur serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha. Secara rinci, komponen-komponen dalam peringkat daya saing Indonesia dapat nampak dalam Tabel 8.

Tabel 8: Komponen Daya Saing Indonesia
KETERANGAN 2006 2007
Overall index 54 54
Basic Requirements 75 82
Institutions 60 63
Infrastructures 78 91
Macroeconomic Stability 73 89
Health and primary education 93 78
Efficiency enhancers 44 37
Higher education and trainning 70 65
Goods market and efficincy 33 23
Labour market efficiency 51 31
Financial market sophistication 58 50
Technologies readiness 75 75
Market size 15 15
Innovation and sophistication factors 41 34
Business sophistication 41 33
Innovation 39 41
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007

Selanjutnya berkaitan dengan indikator doing business atau kemudahan berinvestasi di Indonesia dijelaskan bahwa Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam dua indikator, yaitu memulai bisnis dan perlindungan investor. Selanjutnya indikator-indikator lain mengalami perbaikkan, meski peringkatnya masih di bawah beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Thailand dan Singapura (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa reformasi struktural terhadap kelembagaan yang mendukung investasi masih belum seoptimal perubahan yang terjadi di negara-negara tetangga.

Tabel 9: Indikator Doing Business 2008
NEGARA KEMUDAHAN MELAKUKAN BISNIS MEMULAI BISNIS PERIZINAN KETENAGA KERJAAN PERLINDUNGAN INVESTOR KEPATUHAN KONTRAK MENUTUP BISBIS

2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007
Indonesia 133 123 163 168 117 99 154 153 49 51 142 141 137 136
Malaysia 21 24 74 74 102 105 43 43 4 4 14 63 53 54
Vietnam 94 91 90 97 62 63 82 84 175 165 41 40 119 121
Thailand 17 15 27 36 11 12 49 49 32 33 26 26 41 44
Filipina 130 133 135 144 75 77 122 122 141 141 113 113 147 147
Singapura 1 1 11 9 5 5 1 1 2 2 5 4 0.8 2
Sumber: Doing Business, 2008

Rendahnya akumulasi modal dan rendahnya produktivitas dalam perekonomian secara umum juga telah menyebabkan kekakuan di sisi penawaran atau supply rigidities. Permasalahan dalam supply rigidities ini diperparah oleh permasalahan kelembagaan (micro risk) seperti permasalahan korupsi, birokrasi, perizinan, regulasi tenaga kerja, ekonomi biaya tinggi, dan distorsi pasar yang menjadi kendala utama bagi pertumbuhan investasi di Indonesia. Dalam konteks ini, maka reformasi struktural guna memperbaiki iklim investasi termasuk merancang atau merevisi undang-undang di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, kepabeanan, dan lain-lain menjadi penting untuk dilakukkan. Namun perlu diakui bahwa hasilnya masih belum sesuai harapan, bahkan beberapa agenda penting seperti revisi UU Ketenagakerjaan masih belum rampung. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa implementasi reformasi struktural sering dihadapkan pada faktor kerumitan administratif dan masalah politik yang tinggi.
Secara umum dalam upaya memperbaiki kondisi mikrostruktural untuk mendukung investasi, produktivitas, dan daya saing ekonomi diperlukan suatu kebijakan yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam kelembagaan maupun kebijakan yang kondusif. Hal ini menyangkut bagaimana kinerja birokrasi yang efisien mampu secara efektif melayani masyarakat dan bisnis. Selain itu, juga diperlukkan koordinasi, komitmen, serta kesatuan pandang antar departemen/institusi dalam pemerintah untuk mempercepat implementasi reformasi ekonomi.

4. PEREKONOMIAN GLOBAL DAN EKSISTENSI INDONESIA : TANTANGAN KE DEPAN
Secara umum ada tiga hal penting berkaitan dengan tantangan ke depan yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Pertama, berkaitan dengan kompleksnya tekanan eksternal. Kedua, berkaitan dengan tantangan untuk meningkatkan performa produktivitas investasi dan perdagangan. Ketiga, berkaitan dengan kebijakan strategis ekonomi.

Kompleksitas tekanan eksternal
Perekonomian Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup berat dari eksternal berkaitan dengan resesi ekonomi global, tingginya harga minyak dan harga komoditas serta financial turnmoil dari aliran modal jangka pendek. Penurunan kinerja global dapat dilihat dari menurunnya performa negara-negara industri besar dunia, seperti: Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Zona Eropa, yang mengalami penurunan PDB yang cukup signifikan. Sebagai contoh, AS yang mengalami penurunan PDB hingga 2,2 persen di tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ekonomi AS ini diprediksi oleh ADO (2008) menurun hingga 1,5 persen di tahun 2008. Berbagai upaya telah dilakukkan oleh The Fed, Bank Sentral AS, dengan menurun suku bunga The Fed, namun tekanan defisit dalam transaksi berjalan dan fiskal masih belum bisa di tingkatkan ke posisi yang lebih aman (Tabel 10).
Tabel 10: Asian Development Outlook (ADO) 2008
GDP Growth 2006 2007 2008 (ADO 2008 Projection) 2009 (ADO 2008 Projection)
Industrial economies (G3: Japan, US and Eurozone) 2.7 2.3 1.5 1.9
US 2.9 2.2 1.5 2.0
Eurozone 2.7 2.6 1.6 2.0
Japan 2.4 2.1 1.5 1.5
Memorandum items
US Federal funds rate (average %) 5.0 5.0 2.75 2.9
Non-fuel commodity prices 24.5 15.7 0.2 -5.7
CPI Inflation (OECD, Average) 2.6 2.5 2.7 2.4
World trade volume 10.1 7.5 7.0 7.7
Keterangan: *) Angka proyeksi ADO
Sumber: ADB, 2008

Perekonomian dunia saat ini sedang mengalami penurunan kinerja. Asian Development Outlook 2008 memproyeksikkan bahwa negara-negara G3 (Jepang, AS, dan Eropa) hanya akan mencapai pertumbuhan output tidak lebih dari 1,6% di tahun ini. Keadaan ini tentu saja akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap permintaan ekspor barang-barang domestik yang juga akan menurun. Jika ini yang terjadi, maka bisa diprediksikan surplus transaksi berjalan Indonesia akan menurun, sehingga berdampak pada pendapatan nasional yang juga akan menurun. Di tengah-tengah menurunnya kinerja perekonomian global dan tentunya permintaan global, anomali terjadi dalam harga-harga komoditas dan harga minyak, di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikkan harga yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Bahkan harga minyak dunia diprogoniskan pada akhir tahun 2008 menembus angka US$ 150 perbarel.
Bagi Indonesia kenaikkan harga minyak dunia tentu saja akan semakin menyulitkan posisi keuangan/anggaran pemerintah, karena saat ini indonesia bukanlah negara surplus minyak. Di sisi lain, kenaikkan harga minyak domestik dan juga bahan pangan secara umum, akan menyebabkan tingginya inflasi domestik. Keadaan ini dalam jangka panjang tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas domestik yang semakin menurun.
Di sisi lain, tingginya aliran modal asing jangka pendek (portofolio investment) yang sebagian besar masuk di pasar-pasar keuangan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jika tidak diregulasi dengan baik, dalam jangka panjang juga pasti akan menjadi sumber instabilitas atau ancaman terhadap perekonomian domestik. Tingginya aliran modal asing ini tentu didasarkan pada tren penurunan suku bunga The Fed, yang menyebabkan pelarian modal dari aset-aset keuangan AS ke aset-aset keuangan lainnya termasuk dalam aset-aset di pasar komoditas dan pasar keuangan negara-negara berkembang.
Dalam menghadapi tekanan eksternal yang sangat kompleks dan kuat, tentu Indonesia perlu berbenah diri untuk mengantisipasi tekanan tersebut. Hal ini bisa dilakukkan dengan melakukan kombinasi kebijakan ekonomi guna meredam dampaknya terhadap instabilitas perekonomian domestik. Tentu saja, perlu kebijakan jangka panjang yang terarah guna menyelesaikan permasalahan tersebut.



Peningkatan Daya Saing Ekonomi
Perekonomian Indonesia saat ini masih belum dapat bersaing secara maksimal dalam era perdagangan bebas, di sisi lain pertumbuhan investasi domestik juga masih belum maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perlunya penguatan investasi dan daya saing perdagangan internasional yang tinggi ditujukan untuk semakin memperkuat eksistensi perekonomian domestik bersaing di pasar global. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Indonesia hanya menjadi pusat eksploitasi keuntungan dari masuknya produk-produk asing ke pasar domestik.
Dalam mendorong pembangunan ekonomi yang lebih kuat dalam jangka panjang, pemerintah perlu mempersiapkan kelembagaan (aturan main) dan kondisi investasi yang kondusif bagi masuknya Penanaman Modal Langsung atau FDI (Foreign Direct Investment). Pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi secara umum telah diinventarisir dan diteliti oleh berbagai peneliti dunia. Harrod-Domar (1948), misalnya, menjelaskan bahwa investasi sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi karena investasi akan meningkatkan stok barang modal yang memungkinkan dapat mendorong output. Selanjutnya Borensztein dan kawan-kawan (1998), melakukan studi empiris dalam mengestimasi dampak FDI (Foreign Direct Investment) terhadap pertumbuhan ekonomi 69 negara berkembang selama periode 1970-1989. Hasil penelitian menunjukan bahwa FDI berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikutnya, Kojima (1978) melihat FDI dari sisi makroekonomi. Menurut Kojima, FDI bersifat komplemen dan mendukung pembangunan ekonomi dan negara penerima FDI. Investasi asing langsung dapat ditujukan untuk mempromosikan diversifikasi, memperbaiki struktur industri, dan mewujudkan kesejahteraan mutual antara negara investor dan negara penerima. Oleh karena itu, investasi sebagai kebutuhan bahan bakar dasar untuk percepatan pertumbuhan ekonomi harus segera dapat direalisasikan.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa Indonesia perlu untuk berusaha menarik FDI (Foreign Direct Investment) di wilayah ini, antara lain:
1. FDI diharapkan dapat menutup kekurangan modal domestik.
2. FDI diharapkan adanya technology transfer dan transfer of knowledge dari perusahaan asing ke domestik.
3. Adanya FDI diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi masalah pengangguran.
4. FDI diharapkan dapat meningkatkan devisa negara melalui peningkatan dalam ekspor.
Namun demikian banyak kritik dan kontra terhadap FDI, antara lain:
1. Dampak kegiatan perusahaan asing cenderung tidak merata dan mempertajam kesenjangan pendapatan.
2. Dalam jangka panjang FDI dapat mengurangi penerimaan devisa baik pada neraca berjalan maupun pada neraca lalu lintas modal. Memburuknya neraca berjalan dikarenakan impor barang modal dan barang setengah jadi yang dilakukan oleh perusahaan asing. Sedangkan memburuknya neraca lalu lintas modal dikarenakan adanya transfer keuntungan, pembayaran bunga dan royalti, pembayaran lisensi, serta management fee.
3. Alih teknologi dan manajemen dalam kenyataannya seringkali tidak terjadi
4. Perusahaan-perusahaan asing seringkali dapat mematikan perusahaan-perusahaan domestik
5. Perusahaan asing sering menarik keuntungan yang besar dan mereka sendiri sedikit menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya
6. Perusahaan-perusahaan asing seringkali menghasilkan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh rakyat banyak
7. Keringanan pajak dan kemudahan lain yang sering ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan asing sering berlebihan. Padahal fasilitas yang sama tidak diberikan kepada perusahaan domestik
8. Perusahaan asing seringkali mempertajam kesenjangan pembangunan desa dan kota karena perusahaan asing umumnya berlokasi di perkotaan. Hal ini menimbulkan efek terhadap arus urbanisasi.









Bagan 1: Domestic Absorptive Capacity Both Conditions And Attracts External Flows














Sumber: Worldbank, 2008

Oleh karena itu, untuk dapat mendapatkan manfaat yang besar dari masuknya investasi langsung dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pemerintah sebagai regulator harus dapat sebisa mungkin memberikan fasilitas dan dukungan pada proses-proses transfer knowledge dan transfer technology. Selain itu, pemerintah juga diharapkan secara konsisten untuk dapat mempayungi sisi kelembagaan dan pengaturan investasi yang masuk ke Indonesia agar dapat mendukung efisiensi performa bisnis FDI. Bagan 1 menunjukkan bahwa transfer of knowledge dari adanya Penanaman Modal Asing atau FDI terhadap kemampuan menyerap teknologi di domestik sangat memerlukan dukungan pemerintah dalam proses tersebut. Selain itu, tugas pemerintah juga menjadi penting dalam konteks menciptakan kondisi investasi yang kondusif, pengembangan infrastruktur serta penguatan kompetensi yang kuat. Hal ini dilakukkan sebagai bagian pengembangan human capital dan produktivitas ekonomi dalam penerapan teknologi tinggi dan tepat guna.
Selain pentingnya daya saing ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas investasi dalam perekonomian, peningkatan daya saing ekonomi juga harus ditunjukkan dengan semakin kompetitifnya produk-produk lokal dalam bersaing di pasar global. Hal ini tentu harus dilakukkan dengan berbagai upaya dengan semakin meningkatkan efisiensi ekonomi yang dapat menciptakan biaya ekonomi yang rendah (low cost economy), juga harus diupayakan peningkatan inovasi produk-produk lokal yang diminati di pasar global. Dalam konteks ini maka upaya-upaya untuk melakukkan perbaikkan dalam sisi produksi, penguatan industri, kebijakan perdagangan internasional, standarisasi produk (international standard) serta promosi produk-produk lokal di pasar global menjadi penting untuk dilakukkan secara konsisten.

Kebijakan strategis ekonomi ke depan
Pembangunan ekonomi Indonesia yang kuat dan berkelanjutan tentu membutuhkan kombinasi kebijakan ekonomi yang strategis. Hal ini diupayakan guna merealisasikan tujuan dasar pembangunan yaitu mencipatakan kesejahteraan masyarakat (welfare). Pertama, dibutuhkan kebijakan makro yang tepat menyangkut dukungan sisi fiskal dan moneter. Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu dukungan ekspansi fiskal bagi proyek-proyek pembangunan (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, keamanan) sangat dibutuhkan. Namun beban fiskal akibat tingginya subsidi energi (minyak) masih menjadi permasalahan yang pelik untuk diselesaikan.
Permasalahan energi dan tingginya harga pangan dunia saat ini setidaknya memberikkan dua permasalah bagi perekonomian, yaitu tekanan inflasi dan beban fiskal yang makin besar. Bagi pemerintah, pengorbanan alokasi subsidi untuk peningkatkan proyek pembangunan tentu juga bukanlah pilihan yang mudah karena kebijakan ini syarat dengan muatan politis yang tinggi dan dapat mengganggu instabilitas sosial ekonomi domestik. Di sisi lain, pilihan kebijakan moneter dengan tight monetery policy atau kebijakan uang ketat untuk menahan laju inflasi tentunya juga akan berdampak pada tingginya output loss. Hal ini disebabkan karena kebijakan moneter tersebut ditengarai dapat mendorong peningkatan suku bunga yang dapat mengurangi insentif investasi.
Oleh karena itu, koordinasi fiskal-moneter tentu wajib untuk dilakukan guna mencapai stabilitas makroekoomi yang mendukung aktivitas bisnis dan perekonomian. Dalam konteks ini, pencapaian inflasi yang terkendali dan suku bunga yang rendah dapat menjadi acuan bagi pencapaian tugas tersebut. Di sisi moneter, pencapaian stabilitas harga dapat dilakukkan dengan lebih efektif melalui pengawasan dan identifikasi inflasi yang tepat. Hal ini tentunya juga membutuhkan dukungan lintas departemen dan intansi, selain kebutuhan atas perangkat lunak yang canggih. Di sisi lain, penguatan kredibilitas Bank Indonesia juga sangat strategis dalam mencapai pengendalian inflasi melalui perbaikkan dalam komunikasi yang efektif, akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, diperlukkan dukungan sistem keuangan dan perbankan yang sehat. Sistem keuangan dan perbankan yang sehat merupakan prasyarat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, sistem keuangan memiliki peran yang strategis dalam mendistribusikan dana masyarakat secara efektf dan efisien. Namun tentunya pengembangan sistem keuangan dan perbankan yang sangat maju harus disikapi dengan hati-hati karena keadaan ini dapat berdampak pada tingginya resiko instabilitas keuangan yang dapat menganggu perekonomian secara luas. Sistem keuangan dan perbankan Indonesia telah banyak mengalami perjalanan panjang untuk mempelajari pentingnya kekuatan sistem keuangan dan perbankan. Dimulai dari deregulasi keuangan yang menciptakan kerentanan pada krisis hingga terjebaknya perekonomian domestik akibat tingginya utang luar negeri sektor bisnis dan pemerintah. Hal-hal tersebut tentu jangan sampai berulang dan menciptakan kerugian yang sama bagi perekonomian domestik, oleh karena itu pengawasan yang ketat (heavy regulated) atas aktivitas-aktivitas keuangan yang destruktif (spekulasi), peningkatan ekspansi kredit investasi yang tinggi serta pengaturan struktur pasar keuangan yang sehat menjadi penting untuk dilakukkan demi pencapainya stabilitas keuangan yang kuat.
Ketiga, institutional policy dalam konteks pengaturan investasi dan perdagangan internasional perlu untuk dikaji kembali guna meningkatkan daya saing domestik dalam era global. Seperti yang telah diungkapkan pada uraian sebelumnya bahwa permasalahan mikrostruktural yang menyangkut inefisiensi sektor birokrasi dan kontraproduktif kebijakan-kebijakan investasi dan perdagangan internasional harus dapat diselesaikan dengan serius. Hal ini menjadi sangat penting di tengah-tengah ketertinggalan ekonomi Indonesia dalam perdagangan internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga yang 20 tahun sebelumnya setara dengan Indonesia.
Di sektor investasi, baik penanaman modal domestik maupun asing harus dapat secara berkelanjutan meningkat nilainya dari tahun ke tahun. Dalam konteks ini, pemerintah harus secara jeli mengidentifikasi kebutuhan dasar investasi tersebut berdasarkan karakteristik bisnisnya. Sebagai contoh, jika karakteristik FDI atau investasi cenderung untuk melakukan eksplorasi dibidang Sumber Daya Alam (SDA) [contohnya, eksplorasi minyak dan tambang], maka support pemerintah harus ditujukkan untuk melakukkan promosi atau sosialisasi kondisi SDA di Indonesia. Selanjutnya dukungan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan infrastruktur yang baik dan faktor-faktor produksi yang penting (SDM) semaksimal mungkin harus dapat direalisasikan.

Tabel 11: Hubungan FDI dengan Prioritas Kebijakan

Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)

Namun, prioritas support pemerintah akan berbeda dengan FDI yang memiliki karakteristik mencari tempat investasi berdasarkan efisiensinya. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menyediakan faktor-faktor produksi yang berkualitas dengan biaya produksi yang kompetitif akan menjadi prioritas utama yang harus dilakukkan. Selanjutnya support pemerintah untuk meningkatkan investasi atau FDI jenis harus didukung dengan kebijakan perdagangan yang strategis, serta dukungan sektor-sektor lain yang berkaitan (misalnya sektor jasa dan telekomunikasi). Secara umum perbedaan karakteristik FDI atau investasi, berkaitan dengan prioritas kebijakan yang relevan dirangkum dalam Tabel 11.
Selanjutnya untuk kebijakan–kebijakan yang sifatnya umum, antara lain dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Overall policy framework dan Business facilitation. Dalam poin yang pertama kebutuhan akan penciptaan stabilitas ekonomi dan politik sangat penting untuk dilakukkan. Selanjutnya payung hukum dan penegakannya yang diperlukkan untuk mengatur lisensi usaha dan operasional bisnis juga harus diatur dengan baik. Yang terakhir, kebijakan dalam privatisasi dan kerjasama yang sifatnya multi-bilateral juga penting untuk dipromosikan oleh pemerintah.
Dalam konteks fasilitasi bisnis, beberapa kebijakan seperti efisiensi prosedur administrasi, promosi FDI (fasilitasi jasa), dan insentif FDI seperi subsidi; merupakan inovasi kebijakan yang dapat dike depankan oleh pemerintah untuk bisa meningkatkan investasi langsung di Indonesia.

Tabel 12. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment)

Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)

Dalam konteks menghadapi era perdagangan global yang ramai dengan persaingan, Indonesia harus mampu melihat permasalahan globalisasi dengan lebih jeli karena perdagangan internasional sendiri tanpa support pemerintah yang kuat, tidak akan mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan. Sehingga perlu ada upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penindakan korupsi, pengaturan kompetisi dalam dunia usaha, penjagaan market access serta pembangunan infrastruktur. Untuk dapat mengambil kesempatan dalam perdagangan internasional, ada beberapa strategi yang penting untuk dapat mendukung perekonomian domestik agar dapat bersaing di pasar internasional.
Pertama, negara berkembang membutuhkan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang mapan. Kedua, negara berkembang membutuhkan modern custom facility. Ketiga, negara berkembang membutuhkan suatu infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor, sehingga standar dan kualitas produk dalam negeri dapat terjaga dengan sempurna. Keempat, negara berkembang membutuhkan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kelima, negara berkembang membutuhkan tenaga ahli yang concern dalam masalah perdagangan internasional. Tenaga ahli ini juga menyangkut ahli yang berkaitan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional (Stiglitz, 2006)
Terakhir, diperlukkan penguatan kelembagaan (aturan main) pemerintah untuk menciptakan institusi ini lebih sehat dalam konteks efisiensi dan efektivitas perannya sebagai regulator. Dukungan pemerintah menjadi sangat strategis dalam mendukung penguatan ekonomi lokal dan daya saing bangsa, yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia.

CATATAN AKHIR
Dalam menghadapi ketatnya persaingan dalam perdagangan global, kompleksnya tekanan eksternal (seperti ancaman resesi global, tingginya harga minyak, dan harga pangan) serta masih minimnya capaian pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan (pengurangan tingkat kemiskinan, permasalahan lingkungan, dan masih tingginya kesenjangan distribusi pendapatan) maka diperlukan kombinasi kebijakan ekonomi yang integral menyangkut perbaikan dalam macro policy¸ kebijakan strategis dalam investasi dan perdagangan internasional, kebijakan perbankan bagi pengembangan sektor keuangan yang lebih kuat, kebijakan dibidang sosial (pendidikan dan kesehatan) serta perbaikan efisiensi kinerja pemerintah.
Tren penurunan kinerja Investasi dan daya saing domestik merupakan agenda utama yang harus diperbaiki guna mencapai pembangunan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, karena dari dua sektor inilah (Investasi dan Perdagangan Internasional) seharusnya perekonomian domestik disokong bukan dari tingginya sektor konsumsi masyarakat seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam konteks ini tentu pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat memiliki peran yang stretegis dalam mendukung tujuan-tujuan pembangunan.
Bagi pemerintah, penguatan sektor invetasi dan perdagangan internasional dapat dilakukkan dengan penguatan sisi kelembagaan menyangkut dalam penegakkan hukum (law enforcement), penciptaan kondisi investasi yang kondusif melalui birokrasi yang efisien dan bersih, pengenaan pajak yang tepat serta pengaturan kompetisi yang sehat. Di sisi lain, support dibidang infrastruktur juga menjadi kebutuhan yang mendasar bagi pengembangan investasi domestik dan investasi asing yang masuk untuk meningkatkan performa efisiensi bisnisnya. Dalam konteks ini, pentingnya investasi asing langsung atau FDI bagi perekonomian domestik selain untuk mengisi gap kurangnya modal domestik juga diharapkan dapat memberikkan kontribusi yang penting khususnya dalam transfer of knowledge maupun transfer of technology.
Selajutnya, era perdagangan global baik di tingkat multilateral maupun bilateral tentu juga membutuhkan support pemerintah untuk mengembangkan efisiensi serta market network produk-produk lokal di pasar global, hal ini dilakukkan agar daya saing ekonomi bangsa dapat meningkat secara signifikan. Dengan upaya-upaya strategis inilah diharapkan pembangunan ekonomi nasional dapat bersaing secara lebih baik guna menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, serta mampu secara kuat menahan tingginya tekanan eksternal yang dapat menganggu instabilitas makroekonomi domestik..
Stabilitas makroekonomi dan keuangan yang mantap tentu sangat dibutuhkan dalam penciptaan kondisi ekonomi yang kondusif bagi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun kedua hal tersebut akan semakin bermanfaat jika didukung dengan perbaikkan mikrostruktural indonesia yang mencakup efisiensi birokrasi pemerintah, daya saing ekonomi serta struktur pasar yang kuat. Hal ini menjadi penting dalam upaya menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA
Mishkin, F. S. 2000. "Inflation Targeting in Emerging Market Countries." NBER Working Paper Working Paper 7618(JEL No.E5).
Nunnenkamp, P. 2002, Foreign Direct Investment in Developing Countries: What Economists (Don’t) Know and What Policymakers Should (Not) Do!, CUTS Centre for International Trade, Economics & Environment, Jaipur, India
Sachs, J. 2005. The End of Poverty. London, Penguin.
Satria, D. 2008. Keuangan Internasional : Explaining the Financial Crisis. Bayu Media, Malang.
Stevens, G. 2007. "Central Bank Communication." RBA Bulletin December 2007.
Stevens, G. 2007. “The Asian Crisis : a Restrospective” RBA Bulletin July 2007.
Stiglitz, J. 2006. Making Globalization Work. Australia, Penguin.
Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and Its Discontents. London: W.W. Norton & Company, Inc.
----------, 2008, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, Bank Indonesia, Jakarta
----------, 2008, Asian Development Outlook 2008, Asian Development Bank, Metro Manila, Philipines.
----------, 2008, Doing business 2008, A Copublication of The World Bank and The International Finance Corporation, Washington D.C
----------, 2008, Global Economic Prospects: Technology Diffusion in the Developing World 2008. Worldbank, Washinton D.C