Jumat, 19 September 2008

LUMPUHNYA FUNGSI VITAL PERBANKAN

LUMPUHNYA FUNGSI VITAL PERBANKAN:
BUMERANG KEMAJUAN TEKNOLOGI DAN GLOBALISASI KEUANGAN

Oleh: Dias Satria

Abstraksi

Sektor perbankan saat ini sedang mengalami pergeseran fungsi vitalnya sebagai lembaga intermediasi, yang seharusnya mampu secara efektif dan efisien mengalokasikan sumber dananya pada masyarakat. Pergeseran fungsi vital perbankan, dari aktivitas yang “tradisional” ke aktivitas yang “non tradisional” (fee based income, transaksi derivatif-off balance sheet dll) disebabkan oleh berbagai permasalahan yang kompleks menyangkut sisi kelembagaan, regulasi, teknologi maupun eksternal (globalisasi). Dalam paper ini akan dibahas secara komprehensif ancaman globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi yang bersifat “Jeorpadized” terhadap peran vital perbankan, dan instabilitas keuangan. Analisis yang dilakukkan sebatas survey literature, yang diharapkan dapat menjadi jembatan bagi penelitian-penelitian yang spesifik bagi kebutuhan supervisi dan regulasi perbankan. Dalam tulisan ini akan dipaparkan implikasi kebijakan yang relevan dengan perbaikkan fungsi vital perbankan, yang pengaruhnya dapat diharapkan bagi stabilitas keuangan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kata kunci: Intermediasi, Transaksi derifatif, off balance sheet, teknologi, globalisasi dan regulasi perbankan (JEL G18)

I. Latar Belakang

Sektor perbankan merupakan sektor vital dalam perekonomian yang berfungsi melakukkan fungsi intermediasi keuangan, serta menjamin sistem pembayaran yang mendukung dalam proses pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, sektor perbankan memiliki peran yang strategis dalam mengurangi biaya transaksi (transaction cost), melakukkan pembagian resiko (risk sharing) dan mengurangi kemungkinan informasi yang asimetris (asymmetric information). Hal inilah yang diharapkan dari peran vital perbankan, yang mana fungsi intermediasi keuangan bank dalam ekonomi dapat secara optimal dimanfaatkan bagi kebutuhan masyarakat baik oleh surplus unit maupun deficit unit.

Seiring dengan perjalanan waktu, sektor perbankan mengalami transformasi dan perubahan yang mempengaruhi aktivitas bisnis intinya, yang seharusnya menjadi lembaga intermediasi yang berperan aktif mendukung kegiatas bisnis yang produktif dengan memberikkan pinjaman modal kerja ataupun investasi. Atau dengan kata lain, aktivitas perbankan telah mengalami pergeseran dari aktivitas bisnis yang “tradisional” (memberikkan pinjaman modal kerja dan investasi) ke arah aktivitas bisnis yang “non tradisional” (fee based income, dealer transaksi derivatif , dll). Tentu saja keadaan ini dipicu oleh beberapa hal yang kompleks, menyangkut keadaan kompetisi pasar keuangan domestik, regulasi, kelembagaan, globalisasi ekonomi dan keuangan maupun kemajuan teknologi.

Pergeseran fungsi vital perbankan ke arah aktivitas bisnis yang beresiko tinggi tentu akan memberikkan efek yang sangat negatif pada pembangunan ekonomi. Pertama, dengan tingginya aktivitas bisnis perbankan yang beresiko tinggi (transaksi non tradisional “derivatif”, maka ancaman terhadap instabilitas keuangan akan semakin tinggi. Belum lagi, bagaimana instabilitas keuangan mempengaruhi kinerja sektor riil dan makroekonomi suatu negara. Kedua, dengan adanya pergeseran aktivitas bisnis perbankan yang jauh dari fungsinya mensupport dana bagi dunia usaha, maka bisa dipastikkan ekspansi bisnis perusahaan domestik akan sangat terbatas. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa, dan berdampak luas bagi pengangguran dan tingkat kemiskinan. Ketiga, dengan pergeseran fungsi vital perbankan, maka jalur kredit sebagai bagian dari fokus mekanisme kebijakan moneter akan semakin hilang pengaruhnya. Sehingga pada akhirnya efektivitas kebijakan moneter tidak akan optimal mempengaruhi aktivitas ekonomi sektor riil.

Pergeseran fungsi vital perbankan atau lumpuhnya fungsi vital perbankan tentu disebabkan oleh berbagai alasan yang kompleks, salah satunya adalah isu kemajuan teknologi yang berperan “Jeopardized” atau membahayakan bagi pengembangan sektor perbankan. Dengan kata lain, kemajuan teknologi telah menjadi bumerang bagi kemajuan sektor perbankan itu sendiri. Dalam konteks ini, kemunduran pengembangan teknologi bagi perbankan berkaitan dengan implementasi manajemen resiko yang menitik beratkan pada analisis komputer berbasis teknologi informasi, serta kecenderungan untuk melakukkan transaksi keuangan (investasi dalam instrumen keuangan di pasar saham, uang atau transaksi derivatif) yang secara “biaya transaksi” sangat rendah dengan adanya kemajuan teknologi.

Tentu saja kemajuan teknologi juga harus dilihat secara proporsional. Sebagai individu, kita juga tidak akan menafikkan bagaimana kemajuan teknologi telah banyak menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran. Disisi lain, dengan adanya kemajuan teknologi, perbankan juga semakin dimudahkan dalam mendukung operasional kerjanya.

Permasalahan selanjutnya yang menjadi pemicu bergesernya fungsi vital perbankan adalah tingginya arus globalisasi keuangan, yang secara tidak langsung telah mempengaruhi aktivitas bisnis perbankan. Pertama, baik secara langsung maupun tidak langsung, tingginya liberalisasi pasar keuangan telah menciptakan instabilitas pada sistem keuangan yang mempengaruhi aktivitas bisnis perbankan. Kedua, liberalisasi keuangan telah mempengaruhi keputusan bisnis perbankan untuk ikut serta dalam investasi beresiko “derivatif” yang mengiming-imingi return yang tinggi. Keikut sertaan perbankan dalam konteks ini, dapat berfungsi sebagai dealer atau agen penjual dan dapat pula berfungsi sebagai player yang aktif. Hal ini tentu saja membahayakan, karena tingginya resiko aset yang dimiliki sektor perbankan akan meningkatkan keterbukaan resiko (Risk exposure) yang pada akhirnya dapat mengancam instabilitas keuangan karena ancaman kebankrutan atau insolvency.

Dalam melihat permasalahan perbankan yang sangat vital bagi hajat hidup orang banyak, maka diperlukkan antisipasi dini untuk mencegah resiko yang semakin buruk. Mungkin masih lekat diingatan kita, bahwa biaya sosial dan ekonomi akibat krisis perbankan 1997 telah menguras sumberdaya produktif bangsa ini. Dan hal ini tidak boleh berulang, bahwasanya, perbankan tanah air harus sehat dan harus dikembalikkan fungsinya sedemikian rupa untuk mendukung aktivitas bisnis dunia usaha dan sistem pembayaran yang makin efisien. Oleh karena itu, terapi untuk menyehatkan kelumpuhan fungsi vital “intermediasi” perbankan harus dapat dicarikkan solusinya dengan baik. Hal ini jugalah yang menjadi tantangan kedepan Bank Indonesia, dalam meredam eksternalitas negatif kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan bagi perbankan tanah air.

Dalam paper ini secara umum akan dibahas permasalahan disintermediasi perbankan, khususnya dari perspektif kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan. Sehingga rumusan masalah yang dikaji dalam paper ini adalah: “Bagaimana pengaruh kemajuan/inovasi teknologi dan globalisasi keuangan dalam mempengaruhi kinerja intermediasi perbankan?”

Sub-Sub bab yang dibahas dalam paper ini selanjutnya, antara lain: a) Landasan teoritis (literatur review) berkaitan dengan hubungan kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan terhadap proses intermediasi perbankan, b) Metode analisis, c) Analisis dan Pembahasan dan d) Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

II. Landasan Teoritis

Pergeseran fugsi vital perbankan atau “disintermediasi” secara umum dapat diartikan bahwa sektor perbankan telah mengalami pergeseran aktivitas, dari yang sifatnya tradisional (pemberikan kredit atau pinjaman) ke arah aktivitas yang sifatnya non tradisional (fee based income, dealer maupun player dalam transaksi keuangan-derivatif dan off balance sheet, serta transaksi beresiko tinggi lainnya). Hal ini tentu saja akan menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan domestik, dan perekonomian secara umum, karena dengan pergeseran peran sektor perbankan yang makin tidak terkendali akan meningkatkan keterbukaan resiko suatu negara terhadap terjadinya krisis keuangan yang berbiaya tinggi.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sektor perbankan merupakan sektor yang sangat vital dalam sistem keuangan. Sehingga dengan mandulnya peran sektor ini di sektor keuangan, maka pembangunan ekonomi secara umum akan makin terhambat (kemiskinan, pengangguran, serta disparitas pendapatan akan semakin tinggi)

Berdasarkan hasil empiris yang ditemukan oleh Mohanti, Schanabel, Garcia-Luna (BIS Paper No.28), bahwa perkembangan kredit di negara berkembang telah mengalami pergeseran kearah kredit konsumtif dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Selanjutnya dalam penelitianya juga ditemukkan bahwa pertumbuhan aset di negara berkembang juga meningkat dalam pembelian sekuritas pemerintah (obligasi), khususnya untuk membiayai defisit anggaran pemerintah yang cukup besar di negara tersebut.

Keadaan ini tentu saja menimbulkan resiko dan ancaman stabilitas yang semakin meningkat bagi perbankan negara-negara berkembang, khususnya jika negara tersebut mengalami resesi atau kemunduran ekonomi yang menyebabkan pendapatan masyarakatnya menurun. Keadaan tersebut tentu akan semakin meningkatkan tingginya default atau ketidakmampuan membayar para nasabah terhadap kredit konsumsi yang dilakukkannya. Hal ini merupakan pelajaran yang cukup penting, jika kita melihat permasalahan sub prime mortgage atau krisis kepemilikan rumah yang terjadi di US (United States) akhir-akhir ini.

Komposisi kredit bank


Sumber: Mohanti, Schanabel, Garcia-Luna (BIS Paper No.28 hal. 15)


Permasalahan disektor keuangan perbankan saat ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi keuangan, khususnya bagaimana liberalisasi pasar keuangan (pasar modal dan saham) dan inovasi teknologi telah banyak mempengaruhi perilaku dan aktivitas perbankan. Bahkan krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di hampir sebagian negara di dunia , termasuk Indonesia, menunjukkan lemahnya kelembagaan dan regulasi keuangan dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Perdebatan secara akademis tentang bagaimana peran globalisasi keuangan dalam pembangunan sektor keuangan terbagi menjadi dua pandangan yang saling bertentangan. Namun, salah satu scholar yang secara seimbang menjelaskan peran globalisasi keuangan adalah Schumekler (2004) dalam “Financial Globalization: Gain and Pain for Developing Countries.”

Secara ringkas, keuntungan globalisasi keuangan yang umumnya adalah “jangka panjang” bagi negara berkembang antara lain: a) adanya tambahan dana segar baru, b) perbaikkan dalam infrastruktur pasar keuangan dan c) pembangunan dalam sektor keuangan. Dalam konteks ini globalisasi keuangan dianggap dapat memecahkan permasalahan informasi yang asimetris (asymmetric information) dengan pembangunan infrastruktur yang lebih baik, karena globalisasi keuangan mendorong terjadinya transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi di sektor keuangan. Selain itu, dengan pembangunan di sektor keuangan menciptakan peluang diversifikasi aset bagi masyarakat sehingga diharapkan dapat memecahkan masalah pembagian resiko atau risk sharing. Terakhir, disiplin pasar akan semakin meningkat dengan adanya globalisasi keuangan. Pandangan ini merupakan hasil empiris yang dilakukkan oleh Torre and Schumekler (2003); Claesen, Klingebiel and Schumekler (2002); Stulz (1999); Crocket (2002) ; Stiglitz (2000); Kim and Singal (2000) dan Henry (2000)

Namun dalam Schumekler (2004) dijelaskan juga bagaimana globalisasi keuangan telah menciptakan resiko krisis keuangan dan biaya ekonomi yang sangat tinggi. Setidaknya ada empat (4) alasan mengapa hal ini bisa terjadi:

Pertama, dengan meliberalisasi pasar keuangan, maka negara tersebut akan menjadi subyek disiplin pasar yang akan dilakukkan oleh investor domestik maupun luar negri. Kedua, globalisasi keuangan akan menyebabkan krisis keuangan jika terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar keuangan global. Hal inilah yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya bubles economy, herding behaviour, perilaku yang irasional serta serangan spekulasi. Ketiga, krisis keuangan akibat globalisasi keuangan akan menyebabkan suatu negara tergantung pada faktor eksternal. Sebagai contoh, jika Indonesia tergantung pada modal luar negri “jangka pendek” maka keluarnya modal luar negri tersebut secara tiba-tiba akan menyebabkan krisis bagi Indonesia. Terakhir, krisis keuangan akibat globalisasi keuangan akan terjadi karena kemungkinan penularan krisis (contagion) karena semakin terintegrasinya keuangan antar negara. (Schumekler, 2004)

Tingginya ancaman resiko keuangan dan perbankan akibat mismanagement dalam liberalisasi keuangan juga diperkuat oleh pandangan Mishkin (2007) yang berpandangan bahwa liberalisasi keuangan telah mendorong aktivitas perbankan yang cenderung mengambil posisi resiko yang lebih tinggi. Bahkan pertumbuhan kredit mampu mencapai tingkat 15-30% pertahun, atau meningkat dua kali lipat dari pertumbuhan yang normal. Keadaan ini diperparah dengan kurangnya keahlian manajemen bank di negara berkembang dalam mengelola resiko, sehingga menyebabkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi di negara-negara berkembang.

Pandangan ini sejalan dengan hasil empiris Mc Kinnon and Pill (1997) yang secara umum menjelaskan kondisi overborrowing atau pinjaman luar negri yang berlebihan, yang menyebabkan mereka terperngkap dalam dua resiko sekaligus (resiko nilai tukar dan resiko kredit).

Permasalahan globalisasi keuangan yang menciptakan efek yang negatif bagi pengembangan sektor keuangan pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya regulasi dan supervisi di sektor keuangan. Hal ini secara umum telah menyebabkan pelaku perbankan untuk tidak membatasi resikonya dan terekspos dalam keterbukaan resiko yang tinggi. Sehingga pada akhirnya, resiko yang dialami oleh beberapa bank menyebabkan efek domino dan krisis yang berkepanjangan bagi pengembangan sektor perbankan itu sendiri, dan sektor-sektor lainnya.

Selanjutnya, permasalahan globalisasi keuangan, dengan hadirnya bank-bank asing di negara-negara berkembang, juga masih menimbulkan pro kontra yang belum menemui titik konsensus. Pandangan yang “pro” terhadap masuknya bank asing di pasar domestik memiliki ide dasar bahwa masuknya bank asing akan memberikkan warna kompetisi yang sehat sehingga dapat menurunkan biaya dana dan menciptakan efisiensi pada pasar keuangan domestik. Secara umum Levine (1996) dan Caprio and Honohan (1999) (dalam Agenor, 2003) menjelaskan keuntungan masuknya bank asing, antara lain:
a) Meningkatkan kualitas dan ketersediaan jasa keuangan dalam pasar domestik.
b) Menstimulasi pengembangan dalam supervisi dan regulasi bank.
c) Meningkatkan aksesibilitas pada pasar keuangan internasional.
d) Memberikkan kontribusi pada stabilitas keuangan.

Hal ini diperkuat oleh pandangan Mishkin (2003) dalam (Schumekler, 2004) yang menjelaskan keuntungan masuknya bank asing, antara lain:
a) Bank asing cenderung less risk karena kemampuannya dalam manajemen resiko, sehingga mendorong terjadinya stabilitas keuangan dalam pasar domestik.
b) Bank asing akan meningkatkan implementasi best practices dalam perbankan domestik.
c) Dengan banyaknya bank asing, maka pemerintah akan mengurangi fungsinya dalam membail out. Hal ini tentu akan menyehatkan sistem perbankan domestik.

Namun, pandangan yang kontra terhadap benefit masuknya bank asing ke pasar domestik diungkapkan oleh Agenor (2003), bahwa secara empiris masuknya bank asing kurang memberikkan akses terhadap kredit mikro dan menengah. Kedua, masuknya bank asing yang cenderung memiliki biaya operasional yang rendah mendesak perbankan tanah air untuk melakukkan merger agar bisa lebih kompetitif. Proses perubahan struktur inilah yang akan menyebabkan permasalahan baru berkaitan dengan “too big too fail” atau “too political too fail”, yang mana stabilitas keuangan akan semakin terancam dengan bankrutnya bank besar di tanah air. Terakhir, bank asing cenderung berperilaku “cut and run” jika terjadi krisis atau permasalahan dalam pasar domestik, sehingga menyebabkan instabilitas bagi sistem keuangan domestik.

Terakhir, seiring dengan tingginya kemajuan globalisasi dalam teknologi memberikkan efek yang kompleks terhadap aktivitas bisnis perbankan. Disatu sisi pengenalan teknologi telah banyak mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi dalam sistem pembayaran, namun disisi lain penggunaan teknologi informasi yang semakin tinggi telah membatasi implementasi manajemen resiko yang terpaku pada analisis komputer, dan mengurangi hubungan personal dengan nasabah. Keadaan inilah yang secara umum dipaparkan oleh Costas Lapavitsas dan Paulo Dos Santos (2007) dalam “Globalization and Contemporary banking: on the impact of new technology.”
III. Metode Analisis

Secara umum metode analisis yang dilakukan dalam penelitian kali ini adalah survey literatur. Survey literatur dilakukan dengan melakukkan dokumentasi dan review yang komprehensif atas publikasi-publikasi yang relevan dengan topik yang dibawakan. Selanjutnya, survey literatur dalam diartikan sebagai aktivitas melakukkan ekstraksi terhadap literatur-literatur serta data pendukung yang relevan untuk menjelaskan isu dalam rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti. Karena keterbatasan yang dilakukkan dalam survey literatur, maka penelitian ini hanya menjadi “penelitian antara” atau jembatan untuk pengembangan secara empiris yang lebih kuat (model ekonometri, statistika dll). Namun tentu saja, pengambilan kesimpulan dan analisis dalam survey literatur tetap mengacu secara akademis dan proporsional terhadap keluaran yang dihasilkan.

Dalam mendukung analisis terhadap pengaruh dua variabel utama, “globalisasi keuangan” dan “kemajuan teknologi”, terhadap instabilitas keuangan domestik seperti yang diilustrasikan pada art chart dibawah ini, penulis melakukkan investigasi terhadap literatur-literatur yang relevan yang berposisi “pro” maupun “kontra” terhadap hipotesis tersebut. Sumber-sumber/data-data penting yang disurvey dalam penelitian antara lain berasal dari: Bank Indonesia (www.bi.go.id), Bank of International Settlement (www.bis.org) dan Bank Dunia (www.worldbank.org). selanjutnya, dalam survey literatur yang dilakukkan, pencarian literatur dan publikasi yang relevan dilakukkan dengan search engine akademis terkemuka, yaitu: google scholar dan science direct.















Gambar 1. Ilustrasi pengaruh globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi terhadap ancaman instabilitas keuangan



IV. Analisis Dan Pembahasan

IV.1 Snap-Shot perbankan Indonesia: Kemajuan atau kemunduran ?

Jika dilihat performa industri perbankan tanah air berdasarkan indikator umum (LDR, NPL, ROA, NII dan DPK), perbankan tanah air telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sebagai contoh, peningkatan jumlah total aset yang terkumpul dari tahun 1999 hingga akhir 2007 mencapai dua kali lipatnya. Kondisi aset yang meningkat tentu tidak terlepas dari dukungan liabilities yang bersumber dari dana masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) serta sumber dana lain yang tersedia. Hal ini tentu merupakan gambaran bahwa sektor perbankan tengah melewati proses recovery dengan semakin meningkatnya trust masyarakat untuk menyimpan dananya pada sektor ini. Dibawah ini merupakan indikator kinerja perbankan tanah air yang secara umum telah menunjukkan perkembangan yang positif sejak 1999.

Tabel 1. Indikator Kinerja Bank Umum


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 128.

Namun perlu disadari bahwa ditengah-tengah semakin meningkatnya performa perbankan tanah air, ada beberapa hal yang perlu dikritisi lebih lanjut berkaitan dengan indikator-indikator perbankan yang umum dipublikasikan oleh Bank Indonesia.

Pertama, berkaitan dengan indikator ROA (Return on Assets). Berdasarkan data yang dihimpun, pergerakan ROA sejak 2005 belum menunjukkan perbaikkan yang signifikan. ROA sebagai representasi dari efisiensi kinerja bank menunjukkan bahwa kemampuan bank dalam mengolah sumber dananya masih sangat terbatas. Tentu pertanyaannya adalah, apakah inefisiensi ini disebabkan karena faktor internal perbankan ataukah faktor eksternal yang secara umum disebabkan oleh tingginya kompetisi dalam struktur pasar perbankan yang mendesak aktivitas bisnis bank, sehingga menyebabkan semakin rendahnya peluang keuntungan bank.

Kedua, berkaitan dengan indikator NII (Net Interest Income) yang erat kaitannya dengan core aktivitas perbankan tradisional yaitu memberikkan pinjaman kredit baik kepada masyarakat maupun dunia usaha. Perkembangan NII yang meningkat tentu harus dianalisis lebih dalam lagi, apakah peningkatan NII disebabkan oleh pinjaman kredit konsumsi oleh masyarakat. Jika ini yang terjadi, tentu fungsi vital intermediasi dapat dikatakan belum maksimal dijalankan. Berdasarkan grafik kredit konsumsi, pertumbuhan kredit disisi ini memiliki pertumbuhan yang sangat tinggi. Bahkan tingginya berada dalam range 15-35%. Hal ini menunjukkan sebagian besar keuntungan bank dinikmati dari bentuk aset ini.

Grafik 1. Pertumbuhan kredit konsumsi


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 129.

Ketiga, berkaitan dengan NPL (Non Performing Loans) yang rendah, tentu bisa menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. NPL yang rendah bisa jadi disebabkan karena pergerseran aktivitas “tradisonal”. Dalam konteks ini, jika bank enggan untuk memberikkan pinjaman (loans), khususnya bagi kebutuhan investasi maupun modal kerja, maka tentu saja akan mengurangi nilai NPL. Selain itu, jika memang hipotesis atau dugaan pergeseran aktivitas “tradisional” perbankan terjadi, maka tentu saja default dalam aktivitas “non tradisional” tidak akan terrecord dalam NPL karena jenisnya yang dikategorikan sebagai transaksi off balance sheet .

Gambaran lain dari kondisi NPL perbankan tanah air dapat dilihat dari grafik dibawah. Berdasarkan data kredit macet dalam kredit konsumsi, dapat dijelaskan bahwa kredit macet dalam penggunaan “credit card” mencapai posisi yang sangat tinggi, diatas 12%. Hal ini menunjukkan bahwa gencarnya sosialiasi penggunaan kartu kredit telah banyak mempengaruhi life style dan gaya hidup masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi masyarakat-masyarakat yang secara finansial kurang mampu. Sehingga pada akhirnya berdampak pada default atau ketidakmampuan membayar oleh nasabah.

Grafik 2. NPL Gross Kredit Konsumsi


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 130.

Terakhir, tingginya LDR (Loan to Deposit Ratio) yang merepresentasikan dinamisnya peran intermediasi perbankan perlu dikritisi lebih dalam. Bahwa kredit yang dipinjamkan itu dalam bentuk apa?kredit konsumsikah, kredit investasikah atau kredit modal kerjakah? Jika kecenderungan peningkatan kredit yang diberikkan dalam bentuk kredit konsumsi, maka peran “intermediasi” dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan perlu dipertanyakan.

Berdasarkan indikator umum yang ada, data indikator kredit cukup representatif untuk menjelaskan gambaran kredit perbankan tanah air. Stylized facts atas keadaan tersebut, antara lain:

a) Pertumbuhan kredit konsumsi meningkat “sangat” signifikan. Sejak 2003 hingga 2007, jumlah kredit konsumsi meningkat hingga 3 (tiga) kali lipat, dari sejumlah 109.4 triliun hingga menjadi 282.6 Triliun.
b) Peningkatan kredit konsumsi terjadi pada kredit KPR (Kredit Pemilikan Rumah), Kartu Kredit dan lainnya, yang meningkat dalam range 15-35% di tahun 2007.
c) Kredit macet (NPL) terbesar yang berasal dari kredit konsumsi, bersumber dari kartu kredit yang mencapai angka diatas 12% pada desember 2007. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007)

Tentu saja, analisis yang mendalam masih perlu dilakukkan untuk mengklarifikasi performa perbankan tanah air sesungguhnya. Namun indikator-indikator yang dipaparkan diatas secara umum telah menunjukkan ancaman bagi sektor perbankan, khususnya berkaitan dengan tingginya kredit konsumsi yang ada di Indonesia. Selanjutnya, aktivitas perbankan yang sifatnya off balance belum menjadi perhatian dalam publikasi Bank Indonesia. Hal ini sesungguhnya menjadi sangat penting sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas atas performa sesungguhnya dalam perbankan tanah air. Sehingga pada akhirnya, masyarakat dapat secara efektif mengontrol dan mengawasi aktivitas perbankan yang beresiko.

IV.2 Kemajuan Teknologi: Efisiensi atau resiko?

Suatu hal yang mungkin tidak disadari, bahwa kemajuan teknologi dalam dunia perbankan telah menciptakan perubahan yang signifikan dalam aktivitas bisnis perbankan maupun keputusan investasi manajer bank. Dalam konteks ini, tentu kita tidak memungkiri bahwa kemajuan dan inovasi teknologi telah banyak berperan penting dalam penciptaan biaya transaksi yang semakin murah dalam sistem pembayaran. Contoh sederhana, sebagaimana yang diungkap oleh Kimbal and Gregor (1995) dalam Lapavitsas dan Santos (2008), yang meneliti tentang biaya transaksi mesin ATM (Automated Teller Machine) yang mampu menciptakan biaya transaksi hanya sebesar $ 0.27, jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya transaksi dengan teller/kasir bank yang mencapai $ 1.07. Selain itu, sistem RTGS (Real Time Gross and Settlement) yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa perkembangan terkini dalam sistem pembayaran tidak lekang dari kemajuan dan inovasi teknologi.

Dalam menilai kemajuan teknologi dalam dunia perbankan, harus diawali dengan pertanyaan “sejauh mana investasi dalam teknologi memberikkan dampak efisiensi bagi operasional perbankan”? Secara empiris, adanya kemajuan teknologi memberikkan hasil yang mix bagi efisiensi operasional perbankan. Dalam konteks ini, jika investasi dalam teknologi tidak memberikkan return dan skala ekonomis yang diharapkan, maka bank tersebut terekspos pada resiko teknologi (Technological risk). Hal ini mungkin terjadi karena tingginya kebutuhan akan pekerja dengan skill yang tinggi (upah tinggi) dan pengeluaran modal tetap yang tinggi, untuk mendukung investasi teknologi.

Dalam perkembangannya, inovasi teknologi untuk mendukung aktivitas perbankan memiliki peran yang sangat kompleks, mulai dari pemanfaatan e-banking, risk management hingga evaluasi kredit (credit scoring).

Ancaman kemajuan teknologi dan pengaruhnya terhadap preferensi dan perilaku perbankan dapat dicontohkan sebagai berikut. Dengan adanya kemajuan teknologi maka analisis kelayakan dan transaksi “money-dealing” dilakukkan sebatas tangan “Arms-length” dengan penggunaan IT (Information Technology). Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada keputusan bisnis manajer bank.

a) Dengan adanya kemajuan teknologi yang mendorong biaya transaksi monitoring yang murah, maka bank akan memberanikkan diri melakukkan pinjaman kredit pada sisi konsumsi khususnya pada kredit konsumsi KPR maupun kartu kredit. Dalam konteks ini, penilaian kelayakan “credit scoring” dilakukkan dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dan dianalisis berdasarkan model statistika “probabilitas”. Selanjutnya, dengan kemajuan teknologi informasi yang canggih memungkinkan manajemen bank melakukkan monitoring dalam jumlah yang sangat besar, dengan biaya (cost) yang murah.
b) Dengan adanya kemajuan teknologi IT, maka transaksi-transaksi di pasar keuangan akan semakin mudah untuk dilakukkan dan dianalisis dengan lebih baik. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan return dari transaksi off balance sheet akan semakin meningkat. Dalam konteks ini, maka transaksi-transaksi off balance sheet akan semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi digunakan untuk mengembangkan model “manajemen resiko” atas aset-aset yang dimiliki bank.
c) Dengan adanya kemajuan teknologi, maka transaksi perbankan yang erat kaitannya dengan “relational transactions” akan semakin berkurang. Hal ini berarti keengganan bank untuk melakukkan penetrasi kredit pinjaman pada dunia usaha, akan semakin berkurang. Dalam konteks ini, perbankan menganggap pinjaman kredit usaha dinilai berbiaya tinggi dan resiko tinggi.

Kemajuan teknologi, seperti yang telah diuraikan diatas disatu sisi memang telah memberikkan efek yang positif berkaitan dengan biaya transaksi yang semakin murah. Selain itu, dengan adanya kemajuan teknologi maka ekspansi bisnis bank ke jenis-jenis aset “derivatif” yang baru akan lebih mudah. Hal ini juga memungkinkan peluang untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kecenderungan pergeseran perilaku perbankan kearah transaksi yang sifatnya “beresiko” tentu harus diantisipasi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan karena transaksi yang dilakukkan oleh perbankan mengarah pada transaksi yang sebatas “Arms-length”, yang sangat minim dengan pertimbangan kualitatif dan hubungan relasional yang baik (kepercayaan). Dalam hal ini, pengembangan manajemen resiko berbasis komputer atau “Arms-length” analisis, merupakan kemunduran dalam core aktivitas perbankan. Lemahnya implementasi manajemen resiko dalam arti yang “luas” ini pada akhirnya akan menjadi sumber instabilitas baru bagi industri perbankan tanah air dan sistem keuangan secara makro.


IV.3 Globalisasi Keuangan: Kompetisi, inefisiensi dan instability

Era globalisasi dalam beberapa dekade terakhir telah banyak membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan ekonomi, keuangan, sosial, budaya dan politik dunia. Sebagian negara yang mampu mengambil kesempatan globalisasi tentu dapat menikmati keuntungan, semakin tingginya standar dan kualitas hidup manusia di negaranya. Namun tidak sedikit negara-negara di dunia mengalami krisis yang memakan biaya yang tinggi, akibat proses globalisasi.

Dibidang keuangan, globalisasi telah memaksa perubahan dalam kebijakan pemerintah dan Bank Sentral yang semakin terbuka. Salah satunya dengan kebijakan yang berorientasi pasar dengan menanggalkan restriksi-restriksi yang menghambat mekanisme pasar.

Proses globalisasi keuangan telah terjadi di Indonesia sejak dikeluarkannya beberapa paket deregulasi keuangan yang dimulai pada tahun 1983. Kebijakan ini pada awalnya ditujukan untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam menstimulasi perekonomian, serta meningkatkan kapabilitas bank untuk memobilisasi dana tabungan dan deposito. Namun, reformasi kebijakan terbesar dalam sejarah perbankan tanah air terjadi ditahun 1988 (PAKTO) dengan ide dasar untuk memberikan kebebasan bagi bank untuk berkompetisi dan berkembang. Kebijakan ini telah mengawali tumbuhnya sektor perbankan dengan pesat.

Dalam kurun waktu 1 tahun, jumlah pendirian bank meningkat dari 124 bank di tahun 1988, menjadi 158 bank di tahun 1991. Peningkatan ini juga dibarengi dengan peningkatan jumlah kantor cabang yang meningkat hingga 1112 unit dalam kurun waktu satu tahun. Selanjutnya, dengan peningkatan bank dan kantor cabang, jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan tanah air juga meningkat pesat. Hal ini sejalan juga dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup signifikan.

Deregulasi keuangan pada masa itu telah mendorong peningkatan penggunaan uang (financial deepening) dalam perekonomian domestik. Pada tahun 1996, nisbah M2 terhadap PDB mencapai 0.55, meningkat pesat dari tahun 1988 yang hanya sebesar 0.28. Angka ini tentu menunjukkan tingkat penggunaan uang dalam perekonomian oleh masyarakat sebagai akibat deregulasi sektor keuangan tersebut semakin tinggi. Namun patut disayangkan bahwa pertumbuhan yang cepat di sektor perbankan tidak dibarengi dengan regulasi dan supervisi yang baik, sehingga menimbulkan kerentanan dan resiko yang tinggi dalam industri perbankan tanah air dalam kurun waktu 1988-1997. (Satria, 2008)

In general, deregulation created more fragile operation on banks because of the absence of proper banking supervision. Inability of banks to be immune from foreign exchange and interest rate volatility during crisis is the best example that banks in Indonesia were not equipped with prudential tools with respect to market risk. (Santoso, 2000)

Keterbukaan keuangan akibat paket deregulasi disatu sisi memang telah banyak mensupport keterbatasan dana yang sebelumnya dialami oleh dunia usaha. Sehingga moment deregulasi telah banyak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan domestik untuk melakukkan pinjaman luar negri dalam jumlah yang sangat besar. Namun, karena perbankan sebagai institusi keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi utama dalam proses tersebut, maka ketidakmampuan pembayaran perusahaan juga menjadi resiko bagi kebankrutan bank.

At its heart, the Asian crisis was a banking crisis brought on by banks and their customers taking on too much foreign currency risk. No doubt macroeconomic policies were not always perfect, but the real problems were in the financial structure more than the macroeconomic settings.(Stevens, 2007)

Krisis keuangan yang dialami oleh negara-negara di Asia secara apik dirangkum dalam Mc kinnon (1973,1993b), yang memaparkan model sindrom “Overborrowing” atau pinjaman yang berlebihan ditengah-tengah reformasi dan liberalisasi ekonomi. Ia menjelaskan bagaimana tingginya aliran modal masuk (High capital inflow) pada akhirnya membahayakan (jeopardized) pada proses reformasi itu sendiri. Dalam penelitiannya Mc Kinnon and Pill memfokuskan pada “Moral hazard” didalam sistem perbankan domestik akibat adanya jaminan deposito oleh pemerintah sehingga mendorong adanya “international overborrowing”.

Pengembangan model krisis keuangan dilanjutkan dengan menambahkan resiko “currency risk” dalam model “overborrowing” secara eksplisit. Dalam model “overborrowing syndrome” moral hazard mendorong bank domestik untuk meminjam ke luar negri dalam jumlah yang besar, hal ini disebabkan karena bank domestik mengganggap pemerintah melakukkan garansi penerapan nilai tukar yang tetap untuk mengurangi payment risk atau resiko pembayaran.

Potensial krisis dalam ekonomi yang mengalami “overborrowing syndrome” terjadi karena adanya Moral Hazard dalam sistem perbankan dan pasar keuangan serta kurangnya kontrol terhadap aliran modal yang masuk dan keluar. Dengan pinjaman yang tinggi butuh pengembalian yang tinggi, namun karena macroeconomic outcome dari program reformasi memberikan return yang lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan. Maka yang terjadi adalah credit risk. Sehingga “only a lucky draw” yang akan menghindari ekonomi dari krisis ekonomi.

Dengan adanya resiko nilai tukar, bank akan mengalami dua resiko utama. Pertama adalah resiko kredit dan kedua adalah resiko nilai tukar yang disebabkan oleh pinjaman luar negri yang tidak dilindungi atau unhedge borrowing. Permasalahan yang rumit ketika semua pinjaman bank jatuh tempo pada waktu yang bersamaan, dan tentunya pada saat itu kebutuhan akan mata uang asing akan lebih banyak. Keadaan ini tentunya akan mendorong rupiah terdepresiasi, karena sebagian besar bank akan menjual rupiahnya untuk mata uang asing. Devaluasi pada mata uang domestik akibat terbatasnya cadangan bank sentral inilah, yang pada akhirnya memperbesar pinjaman luar negri bank, dan menguras modal bank yang pada akhirnya bank terjebak dalam keadaan insolvent atau kebankrutan.

Paparan diatas tentu menyadarkan kita, bahwa deregulasi dan globalisasi keuangan tanpa dibarengi dengan regulasi dan supervisi yang kuat hanya akan membawa malapetaka bagi perekonomian domestik. Di Indonesia, biaya untuk melakukkan recovery di sektor keuangan tentu jumlahnya tidak sedikit. Secara umum, biaya krisis di Indonesia mencapai 50-60% dari total GDP secara umum. Suatu angka yang sangat fenomenal, bahwa krisis yang diawali dengan krisis nilai tukar yang dilanjutkan dengan krisis perbankan dan krisis ekonomi telah banyak menguras sumber-sumber yang produktif dari negri ini. (Stevens, 2007)

Perbankan, sebagai sektor yang dianakemaskan dalam setiap perekonomian, telah banyak menikmati proses globalisasi dengan memanfaatkan sumber-sumber dana murah dari luar negri. Hal ini tentu saja merupakan peluang keuntungan yang meningkatkan keuntungan mereka. Namun, kurangnya supervisi dan kesadaran pentingnya perlindungan terhadap resiko, menyebabkan sektor ini sangat rentan terhadap external shock.

Di sisi lain, globalisasi keuangan yang ditandai dengan semakin meningkatnya jenis-jenis aset keuangan di pasar keuangan domestik maupun luar negri, telah mendorong aktvitas perbankan dari yang sifatnya tradisional ke aktivitas yang sifatnya non-tradisional. Selanjutnya, dengan adanya proses globalisasi keuangan, perbankan domestik akan semakin terdesak dengan adanya kompetisi dari pemain asing. Hal ini selain akan mengurangi market share dan keuntungan bank, juga berindikasi mendorong aktivitas perbankan ke transaksi yang sifatnya spekulatif dengan niat mendapatkan keuntungan yang tinggi, meski resikonya juga tinggi.

Tentu saja, perlu dianalisis lebih dalam bagaimana logika globalisasi keuangan mempengaruhi aktivitas perbankan tanah air.

Pertama, dengan semakin tingginnya liberalisasi keuangan, maka sumber instabilitas keuangan akan semakin tinggi. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi market value dari sisi aset dan liabilitas bank. Sebagai contoh, bagaimana capital outflow aliran modal keluar yang meningkat semisal akibat sentimen negatif investor terhadap perekonomian domestik. Dalam hal ini, aliran modal keluar tentu akan menyebabkan nilai tukar domestik akan semakin terdepresiasi, dan tentu memaksa kebijakan moneter yang cenderung ketat dengan implikasi suku bunga yang tinggi. Dalam konteks ini, fenomena tersebut telah menyebabkan perbankan akan menghadapi dua resiko sekaligus dalam jangka pendek, yaitu: resiko suku bunga dan resiko nilai tukar.

Kedua, dengan semakin tingginya globalisasi keuangan, maka pengenalan terhadap jenis-jenis aset keuangan yang baru akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan pilihan-pilihan aset keuangan yang menggiurkan bagi sektor perbankan, baik yang sifatnya hanya sebagai dealer atau penjual aset keuangan kepada masyarakat hingga yang sifatnya sebagai player atau bank bertransaksi langsung. Tentu saja dengan semakin enjoynya sektor perbankan untuk mendistribusikan dananya pada aset-aset keuangan “derivatif” maka peluang untuk menginvestasikkannya dalam bentuk kredit produktif (modal kerja dan investasi) akan semakin berkurang.

Ketiga, dengan semakin tingginya globalisasi keuangan, yang juga berarti semakin banyaknya pemain-pemain asing yang masuk dalam industri perbankan sudah pasti akan menggeser market share perbankan, sehingga pada akhirnya akan mendorong bank untuk mencari sumber-sumber investasi baru. Salah satunya yang less cost, dan menjanjikan keuntungan yang tinggi meski resikonya tingginya adalah dengan bergantung pada transaksi derivatif.

Dalam konteks yang terakhir, ada fenomena baru meningkatnya jumlah asing di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tentu pertanyaannya adalah apakah tingginya jumlah pemain asing di industri perbankan dapat meningkatkan efisiensi dalam sistem keuangan akibat semakin kompetitifnya pasar perbankan tanah air?, ataukah pemain asing hanya sebagai sumber instabilitas baru bagi sistem keuangan domestik?

Mudah saja untuk berhipotesis untuk menjelaskan fenomena. Meski analisis ini masih terlalu dini untuk diambil sebagai kesimpulan, namun hasil empiris yang ditemukan oleh Lapavitsas dan Santos (2008) menjelaskan fenomena meningkatnya pemain asing dalam pasar domestik negara-negara berkembang telah mengancam instabilitas perekonomian domestik. Analoginya adalah, dengan keterbatasan informasi berkaitan dengan “hambatan budaya” atau cultural barrier, pemain asing masuk ke pasar perbankan dengan memanfaatkan analisis “arm-length” dengan memanfaatkan komputerisasi IT untuk menganalisis kelayakan seperti yang dipaparkan pada sub-bab sebelumhya. Hal ini berimplikasi pada jenis aset atau investasi yang ditawarkan pemain asing pada masyarakat domestik, yang cenderung mengarah pada pinjaman atau kredit yang sifatnya konsumtif dengan penggunaan kartu kredit. Dengan penggunaan IT yang maju, proses studi kelayakan dan monitoring klien dalam jumlah yang besar akan semakin mudah untuk dilakukkan dengan biaya yang rendah.

Untuk menjelaskan fenomena Bank Asing di tanah air, Bank Indonesia masih belum secara eksplisit merinci aktivitas kegiatannya di pasar keuangan domestik khususnya dalam membagi jenis kredit dan aset yang dimiliki oleh Bank Asing. Sehingga keterbatasan untuk menganalisis peran Bank asing tersebut didalam industri perbankan tanah air akan semakin sulit. Namun, sederhana saja, media massa (elektronik maupun yang paper based) telah gencar mensosialisasikan produk-produk keuangan bank asing yang sebagian besar adalah Kartu kredit.



IV.4 Implikasi “pergeseran fungsi vital perbankan” terhadap sektor riil dan stabilitas sistem keuangan

Berdasarkan dua ancaman besar yang dipaparkan sebelumnya, “globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi”, maka kekuatan sistem keuangan domestik akan semakin berkurang akibat lumpuhnya fungsi vital perbankan. Keadaan ini akan semakin parah, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menggantungkan sebagian besar sumber dananya dari intermediasi perbankan. Sehingga pada akhirnya ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan, dan dampaknya secara negatif terhadap perekonomian dan pembangunan ekonomi juga akan meluas. Bahwa perbankan sudah tidak lagi menjadi agent of development yang strategis. Jika fungsi vital intermediasi perbankan sudah lumpuh, institusi mana yang akan menggantikan perannya? Apakah institusi tersebut mampu menyediakan biaya transaksi dan resiko yang kecil? Apakah institusi ini mampu menyediakan fungsi intermediasi berkaitan dengan pembagian resiko “risk sharing” dan mengurangi asytemric information?

Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian policy maker untuk mencari solusi terhadap kelumpuhan yang mengancam industri perbankan tanah air. Meminjam kata yang digunakan Mc Kinon, mungkin hanya “lucky draw” saja yang dapat menyelematkan industri perbankan tanah air. Indikasi kesehatan perbankan secara mikro, yang ditandai dengan tingginya ekspansi kredit konsumtif, transaksi derivatif dan fee based income tentu menjelaskan pergeseran fungsi vital perbankan secara tradisional, yang seharus memfokuskan diri pada pembiayaan pinjaman bagi dunia usaha yang produktif untuk menyokong pembangunan ekonomi.

a “lucky draw” yang dimaksudkan pada paragraf sebelumnya memiliki pemahaman bahwa, jika perekonomian domestik masih memiliki ruang gerak untuk melakukkan ekspansi maka resiko tersebut akan minim sekali terjadi. Namun jika yang terjadi adalah keadaan yang sebaliknya (ex: Resesi Ekonomi), maka yang terjadi bisa mirip dengan apa yang dialami oleh U.S (United States) dalam kasus Sub Prime Mortgage, atau resiko kredit dalam jumlah yang sangat besar.

Bagi perusahaan besar, pencarian sumber dana-dana lain mungkin akan mudah untuk dilakukkan jika fungsi vital intermediai perbankan sudah lumpuh. Hal ini dilakukkan dengan mengeluarkan surat berharga obligasi ataupun saham. Namun bagi usaha kecil dan menengah, proses tersebut akan semakin sulit untuk dilakukkan. Sehingga, lumpuhnya fungsi vital intermediasi perbankan sedikit banyak akan menyulitkan tambahan modal kerja dan investasi bagi kebutuhan ekspansi bisnis mereka. Belum lagi, dominasi UMKM yang sangat tinggi di negara berkembang seperti Indonesia sudah pasti akan semakin melarat dengan lumpuhnya fungsi vital intermediasi perbankan.

Pengembalian fungsi vital perbankan tentu bukanlah misi yang mudah untuk direalisasikan oleh Bank Indonesia, ditengah-tengah beratnya beban mengemban amanat “Inflation Targeting” di era tingginya inflasi global akibat tingginya harga minyak dan harga-harga komoditas.

Dalam mendorong sistem keuangan yang sehat dan stabil, tentu saja regulasi dan supervisi perbankan harus dapat diperkuat untuk dapat meredakan “shock”, serta mengambil keuntungan dalam era globalisasi yang makin tidak terkendali. Dalam konteks ini, tentu pengawasan yang ketat (heavily regulated) dan bukan “financial repression” yang perlu untuk dilakukkan, sejalan dengan perbaikkan juga dalam fungsi vital perbankan “intermediasi”.

Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukkan untuk mengembalikkan fungsi vital intermediasi perbankan, atau menyelematkan perbankan dari kelumpuhan, antara lain: a) Kontrol Modal dan Regulasi ketat dalam aliran modal jangka pendek, b) Pengembangan penyedia informasi kredit (Credit Bureau), c) Pengembangan implementasi Manajemen Resiko yang terintegrasi, d) Penguatan modal sebagai buffer transaksi derivatif, e) Regulasi bagi masuknya bank asing di domestik dan f) Pengembangan perbankan syariah. Pilihan kebijakan diatas tentu memiliki nafas bahwa dengan semakin terintegrasinya pasar keuangan (perbankan) domestik dengan pasar keuangan internasional, maka kebutuhan untuk meregulasi dan melakukan supervisi yang baik menjadi kebutuhan yang sangat urgent. Jika merecall kembali apa yang dijelaskan oleh (Stevens, 2007) dihalaman 13, bahwa krisis keuangan yang terjadi di sebagian besar negara berkembang disebabkan karena permasalahan di sektor perbankan. Hal ini tentu saja disebabkan karena pengaruh dan peran perbankan masih sangat dominan di negara berkembang yang notabene masih belum maju pasar keuangan pendukungnya.

Pertama, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan restriksi terhadap aliran modal “jangka pendek” atau yang dikenal dengan “hot money”. Tentu saja, oppurtunity cost atau biaya pengorbanan secara ekonomis dari restriksi yang tinggi terhadap jenis modal ini adalah rendahnya ketersediaan modal bagi kebutuhan kredit domestik. Namun, pengalaman empiris menyebutkan bahwa aliran modal ini sangat rentan terhadap sentimen negatif yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas pada perekonomian secara makro. Khususnya dalam memberikkan shock yang cukup berat terhadap stabilitas nilai tukar domestik. Krisis nilai tukar, yang telah meluas menjadi krisis keuangan, perbankan dan ekonomi di Asia merupakan contoh konkrit bahaya laten jenis modal ini. Dalam kaitannya dengan penguatan fungsi vital perbankan “intermediasi”, pilihan kebijakan ini menjadi obat mujarab untuk membatasi pinjaman luar negri bank yang berlebihan atau “international overborrowing”, sehingga keterbukaan resiko keuangan (resiko kredit dan resiko nilai tukar) akan semakin terkendali. Sehingga pada akhirnya, stabilitas keuangan domestik juga akan semakin terjaga.

Kedua, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan penyedia informasi kredit (credit bureau). Peningkatan resiko kredit macet, yang didominasi oleh kredit rumah tangga atau konsumsi menunjukkan lemahnya sistem pengawasan, monitoring dan pengujian kelayakan nasabah. Hal ini tentu disebabkan karena keterbatasan bank dalam mengakses secara lebih detail riwayat keuangan calon nasabah. Disisi lain, analisis arm-length yang dipaparkan sebelumnya, juga berkontribusi dalam lemahnya sistem manajemen resiko kredit perbankan saat ini. Oleh karena itu, kebutuhan akan penyedia informasi kredit yang berfungsi sebagai data base penyedia informasi bagi bank, menjadi sangat penting untuk direalisasikan. Hal ini selain akan mendorong biaya yang semakin rendah karena skala ekonomis yang tinggi, juga akan mengurangi terjadinya default atau resiko yang meningkat. Disisi lain, pilihan kebijakan ini akan mengurangi constraint kredit karena sektor perbankan akan lebih percaya atas keabsahan informasi dari penyedia kredit. Hal inilah yang pada akhirnya dapat meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, karena semakin tingginya jumlah kredit yang berkualitas.

Ketiga, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan manajemen resiko. Pengaruh globalisasi keuangan yang semakin tinggi, dengan ancamannya yang menghadang, tentu saja membutuhkan perlindungan internal atau “manajemen resiko” yang kuat. Selain itu, semakin bervariasinya jenis investasi aset yang berkembang seiring dengan inovasi keuangan dan teknologi, mendorong penerapan manajemen resiko yang terintegratif. Dalam konteks ini, implementasi manajemen resiko perlu dilakukkan dalam berbagai aspek yang komplit, menyangkut sisi aset, liabilitas, manajemen dan lingkungan.

Keempat, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan penguatan modal (capital as a buffer). Dengan semakin tingginya transaksi beresiko yang dilakukkan oleh perbankan, maka biaya atau cost yang harus dibebankan pada bank seharusnya juga meningkat. Dalam konteks ini, pembatas aktivitas perbankan ke arah transaksi yang beresiko harus dilakukkan dengan regulasi modal yang makin kuat. Hal ini bisa dilakukkan dengan memberikkan bobot modal yang tinggi untuk transaksi-transaksi beresiko tinggi. Sehingga dengan upaya ini, keinginan bank untuk meningkatkan aktivitasnya pada transaksi beresiko tinggi akan semakin terhambat, dan insentif untuk melakukkan penetrasi kredit yang produktif akan semakin meningkat.

Kelima, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan masuknya bank asing di pasar keuangan domestik. Nafas untuk meningkatkan efisiensi yang dapat menurunkan biaya modal dengan hadirnya pemain asing yang masuk dalam industri perbankan, harus segera diklarifikasi dengan hati-hati. Meski terjadi dua polar pandangan seperti yang dipaparkan dalam landasan teoritis, berkaitan dengan masuknya bank asing dalam industri perbankan, maka diperlukkan analisis yang lebih country specific untuk menjawab “Apakah masuknya bank asing menjadi sumber instabilitas keuangan yang menganggu perekonomian domestik?”. Dalam konteks ini, penulis lebih berhati-hati untuk menilai masuknya bank asing dalam pasar domestik. Hal utama yang mendasarinya adalah, berdasarkan data BI yang telah dipublikasikan, ROA bank umum domestik tidak meningkat secara signifikan dalam waktu terakhir. Meski banyak faktor yang mendasarinya, namun jelas terungkap bahwa perbaikan efisiensi dalam industri perbankan tidak terpengaruh dengan masuknya bank asing di dalam indutri perbankan tanah air. Di sisi lain, aktivitas perbankan asing yang lebih menyukai penetrasi kredit di sektor konsumsi dan menghindari pembiayan dunia usaha yang produktif, sesungguhnya merupakan ancaman eksploitasi pasar keuangan saja. Dengan kata lain, fungsi intermediasi yang produktif dari institusi ini masih belum dapat dirasakan secara maksimal di pasar keuangan domestik.

Terakhir, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan bank syariah. Pengembangan bank syariah pada dasarnya memiliki visi kedepan dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena hubungan “relational” memiliki kekuatan secara kelembagaan dalam industri perbankan syariah. Selanjutnya beberapa skim pembiayaan yang produktif, yang dimiliki oleh perbankan syariah patut diakui bahwa institusi ini mampu memberikkan fungsi intermediasi yang optimal bagi pengembangan pasar keuangan domestik. Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Dan, uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Oleh karena itu perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya hanya mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal inilah yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem keuangan domestik, bahwa perbankan harus kembali dari kelumpuhan ”intermediasi” akibat kemajuan yang dialaminya sendiri. Dengan kata lain, perbankan akan terbebas dari kemajuan yang membawa kemunduran.


V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Pergeseran fungsi vital perbankan atau “disintermediasi” harus dilihat secara komprehensif, bahwa ancaman ini secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, yang pada akhirnya menjadi sumber penting dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua ancaman terbesar dalam penguatan industri perbankan, yaitu “kemajuan teknologi” dan “globalisasi keuangan” tentu harus dapat diredam sekuat mungkin agar efeknya tidak meluas dalam perekonomian. Hal ini tentu tidak terlepas dengan upaya memperbaiki supervisi dan regulasi perbankan yang proporsional, dan bukan kebijakan yang menekan atau “financial repression” yang anti pasar. Beberapa pilihan kebijakan yang dipaparkan sebelumnya, antara lain: a) Kontrol Modal dan Regulasi ketat dalam aliran modal jangka pendek, b) Pengembangan penyedia informasi kredit (Credit Bureau), c) Pengembangan implementasi Manajemen Resiko yang terintegrasi, d) Penguatan modal sebagai buffer transaksi derivatif, e) Regulasi bagi masuknya bank asing di domestik dan f) Pengembangan perbankan syariah, dapat menjadi pertimbangan yang tepat bagi bank sentral untuk mengembalikkan fungsi vital perbankan “intermediasi”.


DAFTAR PUSTAKA

Agénor, P.-R. (2001), "Benefits and Costs of International Financial Integration: Theory and Facts," This paper was prepared for the conference on Financial Globalization: Issues and Challenges for Small States (Saint Kitts, 27–28 March, 2001).

Alejandro, C. D. (1984), "Good-Bye Financial Repression, Hello Financial Crash," Journal of Development Economics 19 (1985) 1-24. North-Holland.

Costas Lapavitsas, P. L. D. S. (2007), "Globalization and Contemporary Banking: On the Impact of New Technology," Political Economy, Page 1 of 26.

Franklin Allen, A. M. S. (1998), "The Theory of Financial Intermediation," Journal of Banking & Finance 21 (1998) 1461±1485.

Franklin Allen, A. M. S. (2001), "What Do Financial Intermediaries Do?," Journal of Banking & Finance 25 (2001) 271±294.

Franklin R. Edward, F. S. M. (1995), "The Decline of Traditional Banking: Implications for Financial Stability and Regulatory Policy," FRBNY ECONOMIC POLICY REVIEW / JULY 1995.

Gerard Caprio Jr, D. K. (1996), "Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?," Annual World Bank Conference on Development Economics 1996.

Gormley, T. A. (2007), "Banking Competition in Developing Countries: Does Foreign Bank Entry Improve Credit Access?"

Heffernan, S. (2005), Modern Banking, England: Jhon Willey And Sons.

Kaminsky, G. L., and Reinhart, C. M. (1999), "Bank Lending and Contagion : Evidence from the Asian Crisis."

Kregel, J. A. (1998), "Derivatives and Global Capital Flows: Applications to Asia," Cambridge Journal of Economics 1998,22, 677-692.

Levine, R. (1996), "Financial Development and Economic Growth," Policy Research Working Paper 1678.

Marc Quintyn, M. W. T. (2003), "Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability," CESifo Economics Studies, Vol. 49, 2/2003, 259-294.

McKinnon, R., and Pill, H. (1999), "Exchange Rate Regimes for Emerging Markets: Moral Hazard and International Overborrowing," Oxford Review of Economic Policy, 15, pp. 423 -64.

McKinnon, R. I. (1999), "The East Asian Dollar Standard, Life after Death?"

McKinnon, R. I. (2000), "Mundell, the Euro, and Optimum Currency Areas."

McKinnon, R. I. (2005), Exchange Rate under the East Asian Dollar Standard: Living with Conflicted Virtue, London: The MIT Press.

McKinnon, R. I., and Pill, H. (1997), "Credible Economic Development and over-Borrowing," American Economic Review, 87 (2) 189-193.

McKinnon, R. I., and Schnabl, G. (2003), "Synchronized Business Cycles in East Asia: Fluctuations in the Yen/Dollar Exchange Rate and China's Stabilizing Role," The World Economy, 26, pp. 1067 -89.

McKinnon, R. I., and Schnabl, G. (2004), "The East Asian Dollar Standard, Fear of Floating and Original Sin," Review of Development Economics, 8, pp. 331 -60.

Mishkin, F. S. (2007), "Is Financial Globalization Beneficial?," Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 39, No. 2–3 (March–April 2007).

Mohanty, G. S., Pablo Garcia-Luna, "Banks and Aggregate Credit: What Is New?," BIS Paper No.28.

Ross Levine!, N. L., Thorsten Beck. (2000), "Financial Intermediation and Growth: Causality and Causes," Journal of Monetary Economics 46 (2000) 31}77.

Sachs, J. (2005), The End of Poverty, London: Penguin.

Satria, D. (2008), Keuangan Internasional: Explaining the Financial Crisis, Malang: Bayu Media.

Schmukler, S. L. (2004), "Financial Globalization: Gain and Pain for Developing Countries," Federal Reserve Bank of Atlanta E c o n o m i c R e v i e w Second Quarter.

Singh, K. (2005), Menjinakkan Arus Keuangan Global, Jakarta: Infid.

Stevens, G. (2007), "Central Bank Communication," RBA Bulletin, Desember 2007.
Stevens, G. 2007. “The Asian Crisis : a Restrospective” RBA Bulletin July 2007.
Stiglitz, J. (2006), Making Globalization Work, Australia: Penguin.

Stiglitz, J. E. (2000), "Capital Market Liberalization, Economic Growth, and Instability," World Development Vol. 28, No. 6, pp. 1075±1086.

Tidak ada komentar: