Rabu, 29 Oktober 2008

Rupiah VS US Dollar: Kejayaan Amerika Belum Berakhir ?

Rupiah VS US Dollar: Kejayaan Amerika Belum Berakhir ?

Oleh: Dias Satria SE.,M.App.Ec.

(Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya)

Memahami apresiasi US Dollar ditengah-tengah resesi yang melanda Amerika tentu menimbulkan pertanyaan besar di kepala kita. How Come??!!@#$%%. Bagi negara biasa, penurunan fundamental ekonomi sudah pasti diikuti dengan penurunan nilai mata uang domestik. Namun bagi Amerika, yang memiliki kondisi “nilai tukar” yang istimewa atau “extra ordinary”, keadaan resesi belum tentu dapat mendepresiasikan nilai tukarnya.

Seperti halnya menganalisis harga barang, suatu harga “nilai tukar” (sebut saja US Dollar) tentu dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Jika permintaan masyarakat meningkat, dan sisi lain penawarannya relatif tetap, maka yang terjadi adalah kenaikkan harga. Dalam konteks ini, apresiasi dolar dalam beberapa mata uang dunia sudah pasti disebabkan oleh permintaan US Dollar yang meningkat.

Pertanyaan mendasar pertama mungkin adalah “Mengapa US Dollar terapresiasi di saat fundamental ekonomi US memburuk”. Sederhana saja, Pertama, 80% perdagangan internasional menggunakan US dollar sebagai standar pembayaran yang diterima dan diakui secara luas. Hal ini populer dengan istilah “US Dollar Standard”. Dengan kata lain, permintaan US dollar yang dilakukkan oleh Rest of the world (selain AS) selalu pada posisi yang tinggi.

Kedua, ditengah-tengah lesunya pasar-pasar keuangan di seluruh dunia, maka preferensi Investor untuk mengamankan investasinya dalam bentuk US Dollar semakin meningkat. Hal ini selain memang karena berkaitan dengan “US Dollar Standard” atau dunia yang dikuasi oleh penggunaan US dollar, juga dipicu karena semakin meningkatnya nilai US dollar. Dalam konteks ini, maka pemegangan investasi dalam bentuk US Dollar dipicu oleh 2 motif, yaitu: berjaga-jaga dan spekulasi.

Dalam konteks perdagangan internasional, digunakannya US dollar sebagai standar pembayaran dan harga produk tentu menimbulkan permasalahan tersendiri dalam perekonomian global.

Pertama, di era penurunan nilai mata uang domestik terhadap US dollar tentu akan menurunkan impor barang-barang luar negri di negara manapun, kecuali di Amerika Serikat. Hipotesis ini diperkuat dengan adanya “stickyness” atau kekakuan harga dalam jangka pendek, sehingga produsen atau eksportir dunia dalam jangka pendek akan kesulitan untuk melakukkan adjustment atau penyesuaian harga.

Hal ini tentu akan berefek pada semakin mandeknya transaksi perdagangan internasional di seluruh dunia. Dalam konteks ini sebenarnya apresiasi US Dollar akan sangat merugikan proses recovery ekonomi dunia atau memperlama resesi dunia.

Di sisi lain, bagi Amerika Serikat kenaikkan nilai US Dollar (Apresiasi) harus juga diananalisis secara hati-hati karena apresiasi US Dollar belum tentu akan menguntungkan bagi perekonomian AS secara umum.

Pertama, dari perspektif konsumen, apresiasi mata uang US Dollar tentu akan mengurangi harga barang-barang impor. Hal ini tentu saja akan meningkatkan daya beli masyarakat amerika, khususnya terhadap barang-barang impor.

Kedua, bagi perusahaan Amerika (MNC-Multi Natinal Corporation), kenaikkan US Dollar disatu sisi mungkin akan meningkatkan profit dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang tentu akan merugikan perusahaan-perusahaan tersebut karena semakin berkurangnya daya beli masyarakat dunia.

Ketiga, dalam perspektif makroekonomi, apresiasi US dollar akan semakin memperlebar defisit neraca perdagangan karena meningkatnya impor dibandingkan ekspor. Hal ini tentu saja akan merugikan AS dalam jangka panjang, karena resesi ekonomi AS akan semakin parah.

Dalam melihat fenomena Anomali “US Dollar” dibutuhkan keberanian negara-negara Asia dan sekitarnya untuk menghentikkan resesi, dan mengambil kebijakan yang strategis dalam konteks “nilai tukar”. Hal utama yang harus diupayakan adalah bagaimana mempromosikan penggunaan mata uang masing-masing, dalam kebutuhan perdagangan internasional. Sebagai contoh, jika Indonesia mengimpor produk dari China, seharusnya Indonesia membayarnya dalam bentuk Yuan. Hal ini secara langsung, pasti akan mengapresiasi Mata uang Yuan karena permintaan mata uang untuk kebutuhan pembayaran.

Jika hal ini terealisasi, maka penurunan mata uang dunia (selain US) tidak akan terjadi secara berlebihan. Sehingga proses “mekanisme pasar” dalam arti yang sesungguhnya dapat mengefisienkan tingkat harga di dua negara, dan seterusnya.

Jelas sekali, bahwa krisis semakin parah tatkala mata uang “rest of the world” (selain US) terdepresiasi terhadap US Dollar, di sisi lain kebijakan moneter Bank sentral negara-negara tersebut memperparah keadaan dengan menurunkan suku bunga domestik yang pada akhirnya membuat “interest rate differential” semakin negatif, dan mengurangi insentif masuknya modal asing yang pada akhirnya mengurangi minat asing untuk memegang mata uang atau aset domestik.

Bagi Indonesia, pengamanan nilai tukar dengan intervensi valas atau kenaikkan suku bunga domestik ternyata masih belum mampu memberikkan akselerasi yang kuat untuk membalikkan keadaan (membuat rupiah terapresiasi ke keadaan yang fundamental atau equilibrium). Sehingga diperlukan tindakan-tindakan yang lebih teknis untuk mengamankan rupiah dari spekulasi dan penurunan nilai yang berlebihan. Hal-hal yang harus dilakukkan, antara lain: Pertama, membatasi pembelian US Dollar yang berlebihan atau menindak pelaku pasar yang melakukkan pembelian US Dollar tanpa disertai underlying assets. dan Kedua, membatasi keluar masuknya modal asing khususnya modal asing jangka pendek “hot money”.

Dengan upaya-upaya diatas, tentu diharapkan rupiah akan semakin eksis dalam mendorong fundamental ekonomi yang lebih kuat. Sehingga ketakutan atas tingginya pinjaman berdenominasi dollar (liability dollarizarization), akibat depresiasi rupiah yang terlalu dalam tidak akan terjadi. Semoga saja!

Tidak ada komentar: