Rabu, 13 Agustus 2008

Inflasi tinggi di Jatim tak terbendung

Senin, 28/07/2008

Inflasi tinggi di Jatim tak terbendung
'Oligopoli masih kuasai rantai pasok'

MALANG: Inflasi dari sektor bahan pangan (volatile foods) di Jatim dipicu praktik oligopoli dalam rantai pasok komoditas tersebut. Hal tersebut diungkapkan Dias Satria, Dosen FE Universitas Brawijaya, mengutip riset dari Institute for strategic and Finance (Incef) Surabaya tentang fenomena bahan pangan dengan harga mudah melonjak.

"Praktik oligopoli dalam rantai pasok bahan-bahan pokok masih terjadi karena kekuatan dan peran uang pedagang besar," kata Dias Satria, pada suatu lokakarya bidang ekonomi bagi wartawan, akhir pekan lalu.

Setiap komoditas, lanjut dia, dalam bahan pangan memiliki karakteristik yang berbedabeda baik dari sisi produksi, waktu panen, teknik produksi, dan lainnya, mekanisme tata niaga, maupun dalam volat i l itas harganya dari waktu ke waktu.

Jika dilihat dari struktur pasar empat komoditas di Jawa Timur, menurut dia, di tingkat hulu (pengumpul atau agen) sebagian besar struktur pasarnya sangat terkonsentrasi pada segelintir pedagang besar.

"Sudah menjadi rahasia umum, petani cabe yang menawarkan hasil panennya kepada satu pengumpul, tak bisa menjual produknya ke pedagang lain, meski harga tidak sepakat,karena adanya praktik oligopoli itu, para pengumpul dikuasai lagi oleh pedagang besar." Mekanisme tata niaga memiliki keterkaitan yang kuat terhadap fluktuasi maupun volatilitas harga bahan makanan di daerah.

Tingginya f luktuasi pada volatile foods utamanya disebabkan pula karena ekspektasi masyarakat.

Faktor lain, karena biaya pemasaran, kondisi jalan, retribusi, dan praktik pungli serta faktor eksternal, kenaikan BBM.

"Di negara maju, harga bahan pokok relatif stabil karena tidak ada faktor-faktor yang menjadi pemicu kenaikan harga tersebut." Dinas bertanggung-jawab Melihat permasalahan yang menyebabkan inefisiensi dalam dalam tata niaga volatile foods maka diperlukan identifikasi peran dinas-dinas yang strategis agar dapat memecahkan permasalahan tingginya angka inflasi volatile foods di daerah.

Terkait minimnya dukungan infrastruktur untuk kelancaran distribusi tata niaga, maka diperlukan dukungan pemda untuk memperbaiki dan membangun fasilitas jalan raya yang sesuai standar.

Minimnya fasilitas infrastruktur, khususnya jalan raya, serta rendahnya pengaturan lalu-lintas akan mempengaruhi out put dan biaya yang dikeluarkan.

Pengenaan retribusi pemerintah sebagai salah satu sumber PAD, dia ni lai , masih dalam taraf wajar, tidak mendistorsi pasar. Namun rendahnya retribusi ternyata masih belum diikuti dengan kesadaran aparat untuk tidak melakukan pungli.

Pada Juni 2008, Jatim mengalami inflasi 2,24%, hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional 2,46%, berdasarkan Indek Harga Konsumen (IHK) yang diamati di 10 kabupaten/kota di Jatim selama Juni 2008.

Di antara kelompok barang dan jasa yang mengalami kenaikan, bahan makanan naik 0,81%, kelompok makanan jadi, minuman dan tembakau 1,32%, kelompok perumahan, air, listrik dan tembakau 1,66%.

Kenaikan harga juga terjadi di kelompok sandang 0,52%, kelompok jasa kesehatan 0,65%, jasa pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,25%, kelompok jasa transportasi, komunikasi, dan keuangan 7,50%. (k24/ k14) (surabaya@bisnis.co.id)

BISNIS INDONESIA

“UJIAN KREDIBILITAS NASIONAL : MATA PELAJARAN KEBIJAKAN EKONOMI“

“UJIAN KREDIBILITAS NASIONAL : MATA PELAJARAN KEBIJAKAN EKONOMI“

Dias Satria SE.,M.App.Ec

Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana kebijakan harga pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang menuai kritik karena ketidaktegasan pemerintah. Dalam konteks ekonomi, ketidaktegasan pemerintah dalam memberikan solusi atau exit policy akan berakibat fatal yang dapat menyuburkan tindakan-tindakan moral hazard atau penyalahgunaan. Contoh sederhana, dalam kasus ketidaktegasan kenaikkan harga BBM telah mendorong terjadinya penimbunan dimana-mana serta mendorong instabilitas sosial politik yang pada akhirnya meningkatkan ekspektasi masyarakat yang berlebihan.

Contoh lain yang cukup ekstrem terjadi saat krismon (krisis moneter) 1997, dimana kebijakan pemerintah menutup bank-bank yang bermasalah telah menyebabkan terjadinya kepanikkan masyarakat yang menimbulkan instabilitas berupa perilaku Bank Run atau Rush (Penarikkan uang di bank secara besar-besaran). Jika saja pemerinta pada saat itu menyadari bahwa kebijakan yang sembrono, yang tidak diimbangi dengan kemampuan meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan kebijakan yang kredibel akan berakibat fatal terhadap perekonomian.

Oleh karena itu sebagai bagian dalam strategi dan formulasi kebijakan ekonomi, jangan pernah atau jika boleh dibilang “haram” untuk meninggalkan sebuah penciptaan “kredibilitas” pemerintah yang baik.

Dalam konteks inipulalah, maka artikel ini menganggap penciptaan “kredibilitas” yang baik dalam kebijakan ekonomi, dengan memperhatikan suatu langkah-langkah yang komprehensif, dapat dipercaya dan jauh dari tindakan instabilitas harus segera dapat diejawantahkan oleh para policy maker di negeri ini.

Secara teoritis penciptaan kredibilitas dalam kebijakan ekonomi telah diteliti oleh dua ekonom terkenal dunia “Kydland and Prescott” di tahun 1977. Dalam tulisan yang berjudul “Rules Rather than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans” (Kydland and Prescott, 1977), dijelaskan bahwa dalam banyak kasus kinerja ekonomi yang bagus sangat ditentukkan oleh bagaimana perilaku policy maker dalam membuat pernyataan kebijakan yang kredibel, atau janji, tentang aspek-aspek tertentu dari kebijakan yang dilakukan di masa depan.

“Kredibel” dalam konteks ini berarti publik percaya bahwa pembuat para policy maker akan menepati janjinya, walaupun tantangan untuk melenceng atau membiaskan tujuan tersebut juga tinggi. Lebih spesifik, Kydland dan Prescott mencotohkan bagaimana Bank Sentral akan lebih mudah mencapai target inflasinya jika masyarakat yakin dan percaya akan komitmen Bank Sentral tersebut. Pertanyaannya adalah, bagaiamana ini bisa terjadi? Mudah saja, dengan adanya komitmen Bank Sentral yang dipercaya oleh masyarakat, kredibilitas bank sentral untuk mencapai inflasi yang rendah akan semakin mudah untuk direalisasikan dengan dukungan perilaku dan ekspektasi yang stabil dan terkontrol. Sehingga pada akhirnya, realisasi untuk mencapai target tersebut akan semakin mudah untuk dicapai. Dalam konteks ini gangguan akibat ekspektasi dan perilaku masyarakat yang berlebihan dapat berwujud : penimbunan oleh supplier karena simpang siur informasi harga akan naik atau gagal panen (moral hazard), pembelian barang besar-besaran karena simpang siur informasi harga akan naik atau pasokan terhambat dimasa depan serta perilaku-perilaku masyarakat yang tidak normal lainnya yang merespon keadaan/kebijakan secara berlebihan.

Pencapaian “kredibilitas” pemerintah yang baik tentu bukanlah sulap atau sihir yang sekejap mata bisa tercipta, karena hal tersebut membutuhkan waktu yang panjang bagaimana masyarakat dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya mempelajari konsistensi dan komitmen pemerintah dalam mengemban amanatnya. Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menilai kelulusan pemerintah dalam koridor “Ujian Kredibilitas Nasional”, hal inilah yang pada akhirnya sangat menentukkan bagaimana ekspektasi masyarakat kedepan. Tentu saja jika masyarakat menganggap pemerintah gagal dalam “Ujian Kredibilitas Nasional” tersebut, maka sudah bisa dipastikan kebijakan pemerintah tidak akan memiliki kemampuan yang kuat dalam menyelesaikan peliknya permasalahan ekonomi saat ini.

Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah sebagai “otak” dalam bekerjanya perekonomian suatu negara. Fungsinya yang strategis dalam mengarahkan perekonomian suatu negara sangat ditentukkan oleh bagaimana “kredibilitas” yang bisa dibangun oleh pemerintah. Di sisi lain, penciptaan “kredibilitas” yang baik juga harus didukung oleh kebijakan lain terutama penegakkan hukum (Law enforcement) untuk dapat melakukan eksekusi sengketa dalam permasalahan-permasalahan hukum ekonomi.

Terakhir, kredibilitas kebijakan ekonomi yang baik didukung penegakkan hukum ekonomi yang konsisten dan adil merupakan agenda terbesar bangsa ini ditengah-tengah lambannya terobosan-terobosan kebijakan ekonomi indonesia yang akurat. Sehingga jelas sekarang, mengapa tingkat kemiskinan masih tinggi, sengketa hukum ekonomi masih banyak yang menggantung dan perekonomian domestik belum mampu bersaing minimal dengan performa ekonominya sendiri sebelum krisis (bagaimana bisa bersaing, jika dengan masa lalunya saja masih belum baik?) sudah bisa dipastikkan sekarang bagaimana hasil “Ujian Kredibilitas Nasional” pemerintah dalam mata pelajaran “Kebijakan Ekonomi”. Mohon dijawab sendiri ya dengan objektif.

MENYIKAPI KONFLIK DALAM WTO

MENYIKAPI KONFLIK DALAM WTO

Dias Satria SE., M.App.Ec.

Kebekuan perundingan WTO menjadikan ancaman eksistensi institusi ini dalam memayungi perdagangan multilateral. Perundingan yang beranggotakan lebih dari 150 perwakilan dari seluruh negara-negara, dan tentu lebih dari satu kepentingan satu negara, tentu mengakibatkan perundingan menjadi berlarut-larut tanpa memberikkan hasil yang jelas dan memuaskan. Bahkan, satu suarapun mampu secara sepihak menyatakan keberatan untuk meninjau kembali kesepakatan yang hampir jadi. Keadaan inilah yang seharusnya disikapi dengan hati-hati oleh Indonesia sehingga tidak larut dalam perundingan yang berkepanjangan.

Geliat melemahnya peran WTO yang seharusnya dapat berperan memperkuat kesepakatan hukum perdagangan internasional dan mencegah ancaman retaliation atau kebijakan yang destruktif antar negara, sudah mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya bentuk kerjasama regional seperti NAFTA (North American Free Trade Area), European Community (EC) dan ASEAN dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)nya, yang secara konseptual bertolak belakang dengan nafas perdagangan multilateral. Di sisi lain, perundingan berbagai masalah sensitif juga mewarnai kebekuan perundingan-perundingan dalam WTO.

Secara teoritis, konsep perdagangan bebas menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya, melalui pembukaan akses pasar lebih besar maka dorongan mencapai efisiensi akan lebih tinggi, termasuk terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Namun, rasional tersebut seakan sulit untuk diraih khususnya bagi negara berkembang yang hanya larut sebagai penikmat euforia Free Trade, dan belum mampu menjadi pemain didalamnya.

Dalam perundingan WTO, ada agenda strategis yang sedang diemban bersama-sama antara negara berkembang, berkaitan dengan “perlakuan khusus” bagi mereka dalam perdagangan bebas. Di sisi lain, isu-isu sensitif tentang pertanian juga menjadi bahan yang “panas” diperdebatkan, selain posisi China dan India dalam perdagangan internasional. Namun, secara umum permasalahan dalam perdagangan multilateral hanya mentok pada tiga “ego” atau tripolarisasi, yaitu: 1) Amerika yang tidak mau mengurangi subsidi pertaniannya, 2) Eropa yang tidak mau membuka akses pasar di sektor pertanian dan 3) negara-negara berkembang yang tidak mau membuka akses pasar di sektor non-pertanian. Tentu saja ada berbagai macam faktor yang dapat menjelaskan kebekuan dalam perdagangan multilateral menyangkut sisi sosial, ekonomi dan politik.

Bagi Indonesia, menunggu perundingan yang alot dan lama tanpa disertai lompatan-lompatan yang strategis akan mengakibatkan keterpurukan dan ketertinggalan daya saing ekonomi Indonesia. Yang perlu difahami dalam perundingan WTO, bahwa sesuatu yang masih abu-abu tidaklah tabu untuk dilakukkan sepanjang menguntungkan bagi perekonomian domestik. Selama kesepakatan belum bulat disahkan, tidak salah untuk dilakukkan. Sehingga kebijakan strategis yang masih mungkin dilakukkan demi perbaikkan daya saing berpeluang untuk dikembangkan secara konsisten.

Selanjutnya, Indonesia harus mampu melihat isu “perdagangan internasional” dengan jeli karena perdagangan bebas” tanpa support pemerintah yang kuat, jelas tidaklah mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan. Sehingga perlu upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penjagaan market access, penguatan industri-industri infant dan unggulan serta pembangunan infrastruktur yang makin baik.

Lebih spesifik, Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty, mengambil beberapa langkah strategis dan taktis bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk bisa menikmati kue-kue perdagangan internasional, antara lain: perbaikan transportasi dan telekomunikasi yang maju, perbaikkan akan kebutuhan modern custom facility. Perbaikkan infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor. Penguatan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) serta kebutuhan akan Tenaga ahli (technical expert) yang berhubungan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional.

Akhir kata, konflik yang berlarut-larut dalam perdagangan internasional WTO harus diimbangi dengan keberanian untuk memperkuat internal strategi perdagangan domestik yang bertujuan untuk semakin meningkatkan daya saing produk lokal, serta sarana-saran penunjang didalamnya. Hal inilah yang pada akhirnya dapat membawa bangsa ini lepas dari ketergantugan dan posisi menjadi penonton dalam ramainya era perdagangan bebas.

KEJAHATAN DALAM PERBANKAN

KEJAHATAN DALAM PERBANKAN :

PELAJARAN DARI PEMBOBOLAN BANK PRANCIS

Oleh : Dias Satria SE., M.App.Ec[1]

Media dunia baru saja dikejutkan berita pembobolan bank terbesar di Dunia, yang terjadi di Paris. Akibat ulah pembobol, Bank tersebut harus rela mengalami kerugian hingga 67 Milyar rupiah. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi di negara yang notabene maju, dengan sistem pengawasan dan perangkatnya?

Pembobolan Bank

Pembobolan Bank tidak hanya terjadi di prancis, 10 tahun silam Barings Bank (Bank tertua di Inggris) juga mengalami nasib yang sama. Akibat salah satu stafnya, Nick Leesson, Bank Barings harus rela menutup usahanya. Secara umum kata ”pembobolan” dalam konteks perbankan bisa dimaknai menjadi dua arti. Pertama, pembobolan yang berarti pencurian secara fisik pada bank dengan membongkar brangkas. Kedua, pembobolan yang dilakukan dengan teknik penipuan yang lihai yang populer dengan istilah ”white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Tentu yang kedua ini dilakukan dengan teknik yang cantik, dengan berbagai macam penyalahgunaan dan penipuan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan internal. Dalam konteks ini, pembobolan yang dimaksud pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah jenis yang kedua.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh Bank Barings dan Bank Prancis secara umum sama, kedua bank tersebut merugi akibat tingginya kerugian yang dialami dari transaksi di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas).

Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki kemampuan untuk mendistribusikan deposito dari masyarakat ke berbagai jenis aset (teori diversifikasi untuk menyebar resiko), seperti kredit dan investasi pada aset-aset keuangan di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas). Secara ideal, seharusnya bank memiliki proporsi investasi kredit lebih besar dibandingkan dengan investasi pada pasar keuangan. Namun fenomena yang terjadi saat ini, bank lebih agresif melakukan penetrasi di pasar keuangan dibandingkan dengan investasi di sektor riil. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan iming-iming keuntungan yang cepat dan tinggi di pasar keuangan, tentu dengan kompensasi resiko yang tinggi.

Kelemahan yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah kedua Bank tersebut tidak waspada dengan pengawasan internal mereka untuk membatasi transaksi-transaksi spekulatif di pasar keuangan. Akibatnya adalah, bank-bank tersebut tidak menyadari bahwa bank mereka dihadapkan pada tingkat resiko yang tinggi akibat ulah oknum stafnya di pasar keuangan. Mereka baru menyadarinya ketika kerugian riil sudah terlanjur terjadi, yang menguras uang nasabah mereka. Implikasi yang lain adalah ”kerugian negara”, negara atau dalam konteks ini Bank Sentral harus bersiap siaga sebagai Lender of Last Resort untuk membayar kerugian para nasabah. Jika tidak maka ancaman Bank Run dan penularan krisis perbankan akan terjadi, yang malah mengancam sistem perbankan dan sistem pembayaran negara tersebut.

Pelajaran bagi perbankan tanah air

Hal ini tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi perbankan tanah air.

Pertama, Bank Indonesia harus lebih waspada pada transaksi-transaksi off balance sheet yang dilakukan oleh perbankan tanah air. Transaksi-transaksi off balance sheet yang sebagian besar adalah spekulasi di pasar keuangan tentu akan menciptakan keterbukaan resiko yang tinggi bagi bank, dan nasabah tentunya. Jika transaksi-transaksi ini tidak diatur secara baik maka akan berdampak pada krisis pada sistem pembayaran dan sistem keuangan.

Kedua, bagi perbankan, pengawasan internal harus dilakukan baik secara formal maupun informal (intelejen) karena sebagian permasalahan pembobolan perbankan disebabkan akibat fraud risk yaitu kejahatan penipuan yang melibatkan staf internal.

Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Dan uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Oleh karena itu perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal ini mudah sekali dipelajari dari beberapa episode krisis yang terjadi di Eropa, Amerika Latin dan seluruh negara di Asia, bahwa krisis terjadi disebabkan oleh ulah para spekulan di pasar valas, yang pada akhirnya mentrigger terjadinya krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis ekonomi.

Jika indonesia ingin mengembalikan perekonomiannya pada keadaan yang lebih baik, tentu negara ini harus concern pada perbaikan sektor keuangan atau sektor perbankan. BI harus dapat mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi di sektor riil, dan mengurangi setinggi mungkin transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif di pasar keuangan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi resiko seperti yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis, dan antisipasi resiko ”kerugian negara”.



[1] Dosen jurusan Ekonomika Pembangunan (Universitas Brawijaya), Ekonom INSEF (Institute of Strategic of Economic and Finance) Surabaya dan Peneliti PPKE (Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi).

Email : dias.satria@yahoo.com

DEPRESIASI DOLLAR DAN ANCAMAN RESESI DUNIA

DEPRESIASI DOLLAR DAN ANCAMAN RESESI DUNIA

Oleh : Dias Satria SE., M.App.Ec[1]

Ekonomi global seakan tidak pernah berhenti menghadapi ancaman dan tantangan baru. Sejak dihadapkan pada semakin menurunnya performa pasar-pasar keuangan dunia dan penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika, ekonomi global saat ini dihadapkan pada ancaman depresiasi Dollar yang dapat mengakibatkan ancaman krisis dan resesi global.

Ada Apa Dengan Amerika ?

Amerika Serikat, sebagai negara yang terkuat ekonominya sedang mengalami defisit yang besar sejak tahun 1991. Pada 2006, defisit AS mencapai 6.2% dari total GDP (Gross Domestic Product). Defisit di AS populer dengan istilah Twin Deficit atau defisit ganda, yaitu defisit pada anggaran dan transaksi berjalan.

Dalam perspektif makro, keadaan defisit AS dapat dijelaskan dari rendahnya tingkat tabungan dan tingginya pengeluaran pemerintah AS dibandingkan pajak yang diterima. Keadaan defisit tentu menimbulkan perdebatan 2 pihak, pertama pihak yang menganggap defisit AS bukanlah permasalahan yang perlu ditakutkan, karena yang dilakukan AS saat ini adalah sustained the unsustainable. Hal ini bisa dilakukan AS karena posisi kekuatannya dalam perekonomian global dan digunakannya US dollar sebagai mata uang yang luas diterima dalam perdagangan internasional (US Dollar Standard). Kedua, pihak yang menganggap defisit AS dapat mengancam resesi AS, dan resesi dunia. Hal ini didasari pada alasan jika terjadi “sudden stop” atau investor dunia menarik modalnya di pasar keuangan AS secara tiba-tiba untuk membiayai defisit AS, maka yang akan terjadi adalah resesi ekonomi.

Siapa yang membiayai defisit AS ?

Jika ada defisit, tentu ada yang surplus. Pertanyaannya adalah, siapakah yang surplus, yang selama ini membiayai defisit AS dan mengapa itu dilakukan? Sejak tahun 2000, pembiayaan defisit di AS tidak lagi didominasi oleh Private Inflow atau investor bisnis, namun bergeser dibiayai oleh Official Inflow atau investor Pemerintah (Bank Sentral). Dalam konteks ini, bank-bank sentral dari negara surplus membiayai defisit AS melalui investasi obligasi T-bills di pasar keuangan AS. Negara-negara surplus tersebut antara lain, China dan negara-negara Asia serta negara-negara Timur tengah.

Berdasarkan gambaran diatas dapat diambil benang merah apa yang terjadi saat ini dalam perekonomian global. Bahwa defisit terjadi di AS dan surplus terjadi di dunia bagian lain (rest of the world). Surplus pada rest of the world yang berasal dari surplus perdagangan internasional, yang diinvestasikan dalam bentuk obligasi Dollar memiliki alasan khusus berkaitan dengan kebijakan nilai tukarnya. Diterimanya Dollar secara luas dalam perdagangan internasional, telah meningkatkan insentif bank-bank sentral tersebut untuk mengupayakan strategi stabilisasi nilai tukarnya terhadap Dollar dengan menginvestasikan cadangan devisanya dalam Pasar keuangan AS. Hal ini selain dilakukan dalam upaya menjaga performa daya saing ekspornya, juga dilakukan untuk mengakumulasi cadangan devisanya untuk memperkuat stabilitas nilai tukarnya dari tekanan spekulasi mata uang.

Depresiasi dollar dan resesi dunia

Namun permasalahannya saat ini adalah, Dollar AS sedang mengalami tren yang semakin menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir. (The Economist, Desember 2007)

Ada beberapa faktor fundamental yang menyebabkan terjadinya tren depresiasi Dollar AS, antara lain : 1)Tingginya defisit AS, 2)Keadaan siklis rendahnya pertumbuhan ekonomi AS dan tingginya pertumbuhan negara lain, 3)Lebarnya perbedaan suku bunga AS dan negara lain, khususnya setelah pemotongan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). Tentu tren penurunan Dollar AS menimbulkan kekhawatiran dunia, apakah depresiasi Dollar AS ini sebagai bentuk ketidakpercayaan investor dunia pada kekuatan perekonomian AS? Jika ini yang terjadi maka krisis Dollar AS akan memicu terjadinya resesi ekonomi AS, dan Dunia tentunya.

Keselamatan ekonomi global saat ini bergantung pada kebijakan domestik AS dan negara-negara yang menginvestasikan cadangan devisanya di AS. Dalam konteks ini penyelematan ekonomi global sangat bergantung pada kebijakan domestik AS dalam mengurangi defisit yang terjadi. Di sisi lain, perilaku official investor yang secara tiba-tiba (sudden stop) menarik investasinya di pasar keuangan AS tentu akan menyebabkan resesi dan goncangan dalam ekonomi AS. Terjadinya resesi di AS pasti akan berdampak pada masyarakat dunia, yang menyebabkan terjadinya resesi di dunia. Hal ini disebabkan karena ekonomi AS memiliki kaitan yang kuat dengan perekonomian dunia.



[1] Dosen jurusan Ekonomika Pembangunan (Universitas Brawijaya), Ekonom INSEF (Institute of Strategic of Economic and Finance) Surabaya dan Peneliti PPKE (Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi).

Email : dias.satria@yahoo.com

BERSAING DI ASEAN 2015 : INDONESIA MATI KUTU ?

BERSAING DI ASEAN 2015 : INDONESIA MATI KUTU ?

Dias Satria SE., M.App.Ec.

Perdagangan multilateral saat ini yang dikomandoi oleh WTO (World Trade Organization) sedang mengalami tantangan dan ancaman, sejak bermunculannya bentuk-bentuk kerjasama regional di beberapa kawasan. Sebut saja NAFTA (North American Free Trade Area) atau European Community (EC), yang secara konseptual bertolak belakang atau berlawanan dengan nafas perdagangan multilateral. Secara sederhana, adanya bentuk kawasan perdagangan bebas regional sudah pasti meningkatkan hambatan bagi peserta diluar kawasan untuk ikut serta. Atau dengan kata lain, aktivitas ini tentu akan mengancam keberlangsungan sistem perdagangan multilateral yang sedang dibangun oleh WTO. Keadaan ini yang populer dengan istilah frezing in multilateral trade atau kebekuan dalam perdagangan multilateral.

Di negara-negara Asia tenggara, pengembangan konsep perdagangan ekonomi bebas regional sudah bukan sebatas wacana lagi. Konsep pengembangan perdagangan kawasan yang dibungkus dengan judul Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Kerangka besar dari integrasi ekonomi regional ini telah dirumuskan pada ASEAN Summit tahun 1997 di Kuala Lumpur yang menghasilkan Visi ASEAN 2020, yaitu: “Tercapainya suatu kawasan yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi”. Selanjutnya, dalam ASEAN Summit di Bali tahun 2003, ditetapkan 3 (tiga) pilar guna merealisasikan visi ASEAN tersebut yaitu: ASEAN Economic Community (AEC)-MEA, ASEAN Security Community, ASEAN Socio-Cultural Community.

MEA sebagai format awal integrasi ekonomi ASEAN pada dasarnya diharapkan dapat lebih membuka pasar-pasar intra ASEAN itu sendiri. Baik berupa kesepakatan untuk menurunkan maupun menghilangkan hambatan dalam perdagangan. Namun disisi lain, format ini masih membebaskan penetapan tarif perdagangannya sendiri terhadap negara bukan peserta MEA, berbeda dengan format Customs Union (CU) yang selain mengharuskan penetapan tarif Preferential bagi sesama peserta, semua peserta juga diharuskan menetapkan tarif impor yang sama terhadap negara nonanggotanya. Selanjutnya, integrasi ekonomi yang lebih tinggi dicontohkan oleh negara-negara di Amerika latin (NAFTA) dengan penerapan Common Markets (CM) atau pasar bersama. Dalam CM, negara peserta bersepakat mencabut semua penghalang dalam mobilitas kapital dan tenaga kerja serta melakukan harmonisasi dalam peraturan dan hukum.

Tentu saja perjalanan MEA menjadi CU (Custom Union) ataupun CM (Common Market) masihlah panjang, namun realisasi penguatan perdagangan kawasan yang tercetus dalam MEA harus segera diantisipasi dan dipersiapkan dengan matang oleh Indonesia.

Dalam hitung-hitungan kasar dengan membandingkan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dan tingkat daya saing yang disajikan oleh WEF (World Economic Forum) seharusnya dapat membakar semangat kita dan tidak membuat kita rendah diri, bahwa kita sebenarnya masih tertinggal beberapa langkah dengan negara-negara tetangga ASEAN dan masih tertinggal dalam merecovery kembali puing-puing sisa krisis dan mengembalikkan performa gemilang ekonomi domestik seperti sebelum krisis 1997.

Sekilas jika dilihat peringkat daya saing Indonesia yang disajikan oleh WEF (World Economic Forum), terlihat bahwa posisi daya saing Indonesia masih dibawah jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara tetangganya, seperti : Malaysia, Thailand dan Singapur. Bahkan peningkatan daya saing Indonesia belum membaik dan cenderung stagnan dalam 3 tahun terakhir. Dalam konteks yang sederhana ini, apakah berlebihan jika dikatakan indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya?.

Peringkat Daya Saing Oleh WEF

Negara

Peringkat

2005

2006

2007

Indonesia

4

69

54

54

Singapura

1

5

8

7

Malaysia

2

25

19

21

Thailand

3

33

28

28

Filipina

5

73

75

71

Vietnam

6

74

64

68

Kamboja

7

111

106

110

WEF, global Competitive Report 2006&2007

Secara teoritis memang konsep integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya, melalui pembukaan akses pasar lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi lebih tinggi, termasuk terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Singkat kata, konsep tersebut tentu terkesan manis dibibir saja, karena belum tentu kesemuanya manfaatnya dapat dinikmati oleh bangsa ini nantinya.

Dalam konteks menghadapi persaingan perdagangan intra kawasan ASEAN, Indonesia harus mampu melihat permasalahan MEA dengan lebih jeli karena perdagangan bebas kawasan” sendiri tanpa support pemerintah yang kuat, tidak akan mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi bangsa. Sehingga perlu ada upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penjagaan market access, penguatan industri-industri infant dan unggulan serta pembangunan infrastruktur yang makin baik.

Lebih spesifik, untuk dapat mengambil kesempatan dalam MEA, ada beberapa strategi yang penting untuk dapat mensupport perekonomian domestik agar dapat bersaing di pasar ASEAN.

Pertama, Indonesia membutuhkan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang mapan. Kedua, Indonesia membutuhkan modern custom facility. Ketiga, Indonesia membutuhkan suatu infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor, sehingga standar dan kualitas produk dalam negri dapat terjaga dengan sempurna. Keempat, Indonesia membutuhkan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kelima, Indonesia membutuhkan tenaga ahli yang concern dalam masalah perdagangan internasional. Tenaga ahli ini juga menyangkut ahli yang berkaitan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional.

Dengan upaya-upaya tersebutlah, maka sambutan yang hangat terhadap MEA dapat kita dengungkan dengan percaya diri. Ingatlah bahwa MEA hanyalah format baru dalam globalisasi perdagangan, kita tidak akan mampu menutup diri sehingga yang bisa kita lakukan adalah terus memperbaiki diri, meningkatkan inovasi dan terus memperkuat stabilitas ekonomi domestik dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang konsisten, efektif dan kredibel.

KONFLIK BANK INDONESIA DI DAERAH

KONFLIK BANK INDONESIA DI DAERAH

(TANTANGAN TPID KEDEPAN)

Dias Satria SE.,M.App.Ec

Dalam menghadapi tingginya tantangan yang saat ini diemban, Bank Indonesia telah menginisiasi untuk menciptakan suatu wadah koordinasi lintas dinas di daerah yang bernama “ Tim Pengendalian Inflasi Daerah” atau TPID. Secara umum, terbentuknya TPID ini merupakan respon atas perlunya suatu koordinasi yang efektif sebagai penyedia informasi yang penting bagi keperluan identifikasi sumber-sumber inflasi di suatu wilayah. Lebih spesifik lagi, TPID memiliki tugas melakukan pemantauan harga dan pemetaan masalah, melakukan pengendalian harga, dan memberikan informasi dan atau rekomendasi, termasuk alternatif solusinya.

Secara umum, upaya-upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mengefektifkan pengendalian inflasi di daerah melalui TPID, antara lain :

a. Memperkuat aspek kelembagaan antara Bank Indonesia di daerah dan Pemda

b. Mengidentifikasi sumber-sumber kelangkaan pasokan barang kebutuhan pokok di daerah.

c. Melakukan diseminasi untuk memberikan pemahaman masyarakat di daerah terkait kondisi dan prospek ekonomi serta risiko tekanan inflasi.

Penyesuaian kebijakan harga yang dilakukan oleh pemerintah pada beberapa bahan kebutuhan pokok masyarakat tentu akan berpengaruh pada pencapaian target inflasi yang diharapkan. Dalam konteks ini, pendirian “Tim Pengendali Inflasi Daerah” yang saat ini dikembangkan oleh BI dengan pemerintah dan institusi-instusi terkait, sangat berperan dalam upaya pencapaian target inflasi yang diinginkan. Rasional utamanya adalah karena faktor penyebab inflasi bukanlah semata-mata pengaruh dari kebijakan moneter, tapi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, permintaan dan penawaran pasar serta ekspektasi masyarakat.

Koordinasi kebijakan dan informasi antar institusi pemerintah memang sangat dibutuhkan BI dalam rangka mendukung strategi kebijakan moneter IT, karena Tim koordinasi ini diharapkan dapat mengidentifikasi secara lebih jeli apa penyebab inflasi yang terjadi dalam perekonomian, apakah itu inflasi yang timbul dari sisi penawaran atau supply (cost push inflation), ataukah inflasi timbul dari sisi permintaan (demand pull inflation)? dan ataukah inflasi timbul dari ekspektasi masyarakat? selain itu Tim Koordinasi pengendali inflasi ini juga diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan konflik kepentingan atau conflict of interest antar institusi pemerintah. Permasalahan conflict of interest sangat mungkin terjadi ditengah-tengah berseberangannya tujuan pokok instansi-instansi tersebut. Sebagai contoh, pencapaian inflasi yang rendah oleh Bank Sentral tidaklah mudah terealisasi jika strategi kebijakan pembangunan yang diemban pemerintah terlalu ekspansif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi (contoh: kebijakan yang mengakibatkan peningkatan government expenditure yang berlebihan dan defisit fiskal). Oleh karena itu, koordinasi menjadi sangat penting dalam pencapaian tujuan ekonomi bersama melalui sinkronisasi kebijakan-kebijakan dan pemberian informasi yang sempurna.

Di sisi lain, koordinasi tim pengendali inflasi juga sangat diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada inflasi. Sebagai contoh, inflasi yang berasal dari sisi penawaran (cost push inflation) penyebabnya bisa berasal dari depresiasi nilai tukar ataupun kebijakan harga dari pemerintah (administered price). Sehingga jika terjadi inflasi akibat depresiasi nilai tukar, maka kebijakan yang paling pas adalah intervensi di pasar valas oleh BI untuk mengurangi efek pass through nilai tukar terhadap harga barang impor. Namun sebaliknya jika inflasi timbul dari sisi penawaran (cost push inflation) akibat Kebijakan harga, maka tanggung jawabnya akan beralih pada pemerintah bukan bank sentral.

Selanjutnya, di tataran daerah, penyebab inflasi tentu akan sangat bervariasi penyebabnya. Sebagai contoh sumber instabilitas dalam mekanisme tata niaga yang menyebabkan tingginya transaction cost tentu akan berdampak pada semakin tingginya second round effect dari kebijakan harga pemerintah. Semisal kenaikkan harga bahan bakar minyak akan menyebabkan tingginya biaya transportasi dan meningkatnya biaya/pungutan liar di lapangan. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan inflasi karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya akan dibebankan pada harga produk akhir.

Selain itu sumber instabilitas yang berpengaruh pada fluktuasi harga komoditas pada volatile foods di daerah juga sarat dengan permasalahan di sisi penawaran, seperti : pola produksi dan distribusi, tata niaga, mekanisme harga dalam dan luar negri, serta struktur pasar. Oleh karena itu tantangan yang saat ini diemban oleh TPID juga akan semakin berat ditengah-tengah prioritas-prioritas kebijakan lain yang strategis yang harus diemban oleh masing-masing institusi atau dinas.

Melihat dari persoalan-persoalan tersebut, maka tantangan yang diemban oleh Bank Indonesia dan institusi dan institusi yang terkait untuk mengendalikan inflasi akan semakin berat. Selain itu juga, kinerja dan efektivitas proses yang berlangsung dilapangan belum tentu dapat sesuai seperti yang diharapkan. Ada berbagai faktor yang kompleks yang dapat mempengaruhi efektivitas forum atau wadah ini sebagai penyedia informasi dan pengendali inflasi daerah. Sebagai contoh, karena prioritas inflasi yang rendah bukanlah tujuan utama bagi Dinas Koperasi dan UKM selain meningkatkan UKM itu sendiri maka tujuan pencapaian inflasi yang rendah bisa jadi hanya sebatas formalitas semata. Lebih ekstrem, jika program kebijakan UKM diarahkan untuk meningkatkan akses finansial dan kerjasama dengan lembaga keuangan yang dapat meningkatkan jumlah kredit bagi UKM-UKM maka tentu akan berpengaruh pada tekanan inflasi akibat tekanan ekspansi moneter (core inflation). Konflik kepentingan ini tentu tidak akan dapat dihindari baik bagi Bank Indonesia dan dinas yang berkaitan, jika prioritas-prioritas kepentingan yang diemban oleh masing-masing tersebut berbeda.

Selanjutnya jika paradigma yang diemban pemerintah daerah saat ini masih dalam tataran penciptaan lapangan pekerjaan dan pengurangan tingkat kemiskinan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka prioritas yang diemban bersama untuk melakukan pengendalian inflasi akan sangat sulit untuk direalisasikan secara bersama. Hal ini disebabkan karena program-program ekonomi yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut akan cenderung bersifat ekspansif dan menimbulkan sumber instabilitas bagi pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.

Di sisi lain, ada perbedaan mendasar yang mungkin akan menghalangi efektivitas forum atau wadah ini sebagai tim pengendali inflasi daerah dalam konteks kompetensi dan sudut pandang dalam menilai tingkat inflasi. Keadaan ini akan mudah dimengerti dengan ilustrasi beberapa ilmuwan bidang ilmu berbeda berkumpul mendiskusikan tentang masalah yang sama, maka tentu saja akan sulit untuk dipertemukan jika tidak ada sebuah acuan, model atau fasilitator yang efektif untuk menterjemahkan gagasan dan opini tersebut menjadi masukan yang konstruktif.

Efektivitas tim pengendali inflasi daerah selain membutuhkan koordinasi yang kuat sebagai penyedia informasi bagi kebutuhan identifikasi, juga diperlukan sistem informasi yang memuat kerangka analisa dan model yang akurat mengenai gambaran inflasi di daerah. Sistem ini menjadi sangat penting bagi kebutuhan decision support system yang berguna bagi pengambilan keputusan yang strategis berkaitan dengan pengendalian inflasi daerah.