KEJAHATAN DALAM PERBANKAN :
PELAJARAN DARI PEMBOBOLAN BANK PRANCIS
Oleh : Dias Satria SE., M.App.Ec[1]
Media dunia baru saja dikejutkan berita pembobolan bank terbesar di Dunia, yang terjadi di Paris. Akibat ulah pembobol, Bank tersebut harus rela mengalami kerugian hingga 67 Milyar rupiah. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi di negara yang notabene maju, dengan sistem pengawasan dan perangkatnya?
Pembobolan Bank
Pembobolan Bank tidak hanya terjadi di prancis, 10 tahun silam Barings Bank (Bank tertua di Inggris) juga mengalami nasib yang sama. Akibat salah satu stafnya, Nick Leesson, Bank Barings harus rela menutup usahanya. Secara umum kata ”pembobolan” dalam konteks perbankan bisa dimaknai menjadi dua arti. Pertama, pembobolan yang berarti pencurian secara fisik pada bank dengan membongkar brangkas. Kedua, pembobolan yang dilakukan dengan teknik penipuan yang lihai yang populer dengan istilah ”white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Tentu yang kedua ini dilakukan dengan teknik yang cantik, dengan berbagai macam penyalahgunaan dan penipuan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan internal. Dalam konteks ini, pembobolan yang dimaksud pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah jenis yang kedua.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh Bank Barings dan Bank Prancis secara umum sama, kedua bank tersebut merugi akibat tingginya kerugian yang dialami dari transaksi di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas).
Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki kemampuan untuk mendistribusikan deposito dari masyarakat ke berbagai jenis aset (teori diversifikasi untuk menyebar resiko), seperti kredit dan investasi pada aset-aset keuangan di pasar keuangan (saham, komoditas dan valas). Secara ideal, seharusnya bank memiliki proporsi investasi kredit lebih besar dibandingkan dengan investasi pada pasar keuangan. Namun fenomena yang terjadi saat ini, bank lebih agresif melakukan penetrasi di pasar keuangan dibandingkan dengan investasi di sektor riil. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan iming-iming keuntungan yang cepat dan tinggi di pasar keuangan, tentu dengan kompensasi resiko yang tinggi.
Kelemahan yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah kedua Bank tersebut tidak waspada dengan pengawasan internal mereka untuk membatasi transaksi-transaksi spekulatif di pasar keuangan. Akibatnya adalah, bank-bank tersebut tidak menyadari bahwa bank mereka dihadapkan pada tingkat resiko yang tinggi akibat ulah oknum stafnya di pasar keuangan. Mereka baru menyadarinya ketika kerugian riil sudah terlanjur terjadi, yang menguras uang nasabah mereka. Implikasi yang lain adalah ”kerugian negara”, negara atau dalam konteks ini Bank Sentral harus bersiap siaga sebagai Lender of Last Resort untuk membayar kerugian para nasabah. Jika tidak maka ancaman Bank Run dan penularan krisis perbankan akan terjadi, yang malah mengancam sistem perbankan dan sistem pembayaran negara tersebut.
Pelajaran bagi perbankan tanah air
Hal ini tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi perbankan tanah air.
Pertama, Bank Indonesia harus lebih waspada pada transaksi-transaksi off balance sheet yang dilakukan oleh perbankan tanah air. Transaksi-transaksi off balance sheet yang sebagian besar adalah spekulasi di pasar keuangan tentu akan menciptakan keterbukaan resiko yang tinggi bagi bank, dan nasabah tentunya. Jika transaksi-transaksi ini tidak diatur secara baik maka akan berdampak pada krisis pada sistem pembayaran dan sistem keuangan.
Kedua, bagi perbankan, pengawasan internal harus dilakukan baik secara formal maupun informal (intelejen) karena sebagian permasalahan pembobolan perbankan disebabkan akibat fraud risk yaitu kejahatan penipuan yang melibatkan staf internal.
Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Dan uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Oleh karena itu perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal ini mudah sekali dipelajari dari beberapa episode krisis yang terjadi di Eropa, Amerika Latin dan seluruh negara di Asia, bahwa krisis terjadi disebabkan oleh ulah para spekulan di pasar valas, yang pada akhirnya mentrigger terjadinya krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis ekonomi.
Jika indonesia ingin mengembalikan perekonomiannya pada keadaan yang lebih baik, tentu negara ini harus concern pada perbaikan sektor keuangan atau sektor perbankan. BI harus dapat mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi di sektor riil, dan mengurangi setinggi mungkin transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif di pasar keuangan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi resiko seperti yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis, dan antisipasi resiko ”kerugian negara”.
[1] Dosen jurusan Ekonomika Pembangunan (Universitas Brawijaya), Ekonom INSEF (Institute of Strategic of Economic and Finance) Surabaya dan Peneliti PPKE (Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi).
Email : dias.satria@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar