MENYIKAPI KONFLIK DALAM WTO
Dias Satria SE., M.App.Ec.
Kebekuan perundingan WTO menjadikan ancaman eksistensi institusi ini dalam memayungi perdagangan multilateral. Perundingan yang beranggotakan lebih dari 150 perwakilan dari seluruh negara-negara, dan tentu lebih dari satu kepentingan satu negara, tentu mengakibatkan perundingan menjadi berlarut-larut tanpa memberikkan hasil yang jelas dan memuaskan. Bahkan, satu suarapun mampu secara sepihak menyatakan keberatan untuk meninjau kembali kesepakatan yang hampir jadi. Keadaan inilah yang seharusnya disikapi dengan hati-hati oleh Indonesia sehingga tidak larut dalam perundingan yang berkepanjangan.
Geliat melemahnya peran WTO yang seharusnya dapat berperan memperkuat kesepakatan hukum perdagangan internasional dan mencegah ancaman retaliation atau kebijakan yang destruktif antar negara, sudah mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya bentuk kerjasama regional seperti NAFTA (North American Free Trade Area), European Community (EC) dan ASEAN dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)nya, yang secara konseptual bertolak belakang dengan nafas perdagangan multilateral. Di sisi lain, perundingan berbagai masalah sensitif juga mewarnai kebekuan perundingan-perundingan dalam WTO.
Secara teoritis, konsep perdagangan bebas menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya, melalui pembukaan akses pasar lebih besar maka dorongan mencapai efisiensi akan lebih tinggi, termasuk terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Namun, rasional tersebut seakan sulit untuk diraih khususnya bagi negara berkembang yang hanya larut sebagai penikmat euforia Free Trade, dan belum mampu menjadi pemain didalamnya.
Dalam perundingan WTO, ada agenda strategis yang sedang diemban bersama-sama antara negara berkembang, berkaitan dengan “perlakuan khusus” bagi mereka dalam perdagangan bebas. Di sisi lain, isu-isu sensitif tentang pertanian juga menjadi bahan yang “panas” diperdebatkan, selain posisi China dan India dalam perdagangan internasional. Namun, secara umum permasalahan dalam perdagangan multilateral hanya mentok pada tiga “ego” atau tripolarisasi, yaitu: 1) Amerika yang tidak mau mengurangi subsidi pertaniannya, 2) Eropa yang tidak mau membuka akses pasar di sektor pertanian dan 3) negara-negara berkembang yang tidak mau membuka akses pasar di sektor non-pertanian. Tentu saja ada berbagai macam faktor yang dapat menjelaskan kebekuan dalam perdagangan multilateral menyangkut sisi sosial, ekonomi dan politik.
Bagi Indonesia, menunggu perundingan yang alot dan lama tanpa disertai lompatan-lompatan yang strategis akan mengakibatkan keterpurukan dan ketertinggalan daya saing ekonomi Indonesia. Yang perlu difahami dalam perundingan WTO, bahwa sesuatu yang masih abu-abu tidaklah tabu untuk dilakukkan sepanjang menguntungkan bagi perekonomian domestik. Selama kesepakatan belum bulat disahkan, tidak salah untuk dilakukkan. Sehingga kebijakan strategis yang masih mungkin dilakukkan demi perbaikkan daya saing berpeluang untuk dikembangkan secara konsisten.
Selanjutnya, Indonesia harus mampu melihat isu “perdagangan internasional” dengan jeli karena “perdagangan bebas” tanpa support pemerintah yang kuat, jelas tidaklah mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan. Sehingga perlu upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penjagaan market access, penguatan industri-industri infant dan unggulan serta pembangunan infrastruktur yang makin baik.
Lebih spesifik, Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty, mengambil beberapa langkah strategis dan taktis bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk bisa menikmati kue-kue perdagangan internasional, antara lain: perbaikan transportasi dan telekomunikasi yang maju, perbaikkan akan kebutuhan modern custom facility. Perbaikkan infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor. Penguatan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) serta kebutuhan akan Tenaga ahli (technical expert) yang berhubungan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional.
Akhir kata, konflik yang berlarut-larut dalam perdagangan internasional WTO harus diimbangi dengan keberanian untuk memperkuat internal strategi perdagangan domestik yang bertujuan untuk semakin meningkatkan daya saing produk lokal, serta sarana-saran penunjang didalamnya. Hal inilah yang pada akhirnya dapat membawa bangsa ini lepas dari ketergantugan dan posisi menjadi penonton dalam ramainya era perdagangan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar