BERSAING DI ASEAN 2015 : INDONESIA MATI KUTU ?
Dias Satria SE., M.App.Ec.
Perdagangan multilateral saat ini yang dikomandoi oleh WTO (World Trade Organization) sedang mengalami tantangan dan ancaman, sejak bermunculannya bentuk-bentuk kerjasama regional di beberapa kawasan. Sebut saja NAFTA (North American Free Trade Area) atau European Community (EC), yang secara konseptual bertolak belakang atau berlawanan dengan nafas perdagangan multilateral. Secara sederhana, adanya bentuk kawasan perdagangan bebas regional sudah pasti meningkatkan hambatan bagi peserta diluar kawasan untuk ikut serta. Atau dengan kata lain, aktivitas ini tentu akan mengancam keberlangsungan sistem perdagangan multilateral yang sedang dibangun oleh WTO. Keadaan ini yang populer dengan istilah frezing in multilateral trade atau kebekuan dalam perdagangan multilateral.
Di negara-negara Asia tenggara, pengembangan konsep perdagangan ekonomi bebas regional sudah bukan sebatas wacana lagi. Konsep pengembangan perdagangan kawasan yang dibungkus dengan judul Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Kerangka besar dari integrasi ekonomi regional ini telah dirumuskan pada ASEAN Summit tahun 1997 di Kuala Lumpur yang menghasilkan Visi ASEAN 2020, yaitu: “Tercapainya suatu kawasan yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi”. Selanjutnya, dalam ASEAN Summit di Bali tahun 2003, ditetapkan 3 (tiga) pilar guna merealisasikan visi ASEAN tersebut yaitu: ASEAN Economic Community (AEC)-MEA, ASEAN Security Community, ASEAN Socio-Cultural Community.
MEA sebagai format awal integrasi ekonomi ASEAN pada dasarnya diharapkan dapat lebih membuka pasar-pasar intra ASEAN itu sendiri. Baik berupa kesepakatan untuk menurunkan maupun menghilangkan hambatan dalam perdagangan. Namun disisi lain, format ini masih membebaskan penetapan tarif perdagangannya sendiri terhadap negara bukan peserta MEA, berbeda dengan format Customs Union (CU) yang selain mengharuskan penetapan tarif Preferential bagi sesama peserta, semua peserta juga diharuskan menetapkan tarif impor yang sama terhadap negara nonanggotanya. Selanjutnya, integrasi ekonomi yang lebih tinggi dicontohkan oleh negara-negara di Amerika latin (NAFTA) dengan penerapan Common Markets (CM) atau pasar bersama. Dalam CM, negara peserta bersepakat mencabut semua penghalang dalam mobilitas kapital dan tenaga kerja serta melakukan harmonisasi dalam peraturan dan hukum.
Tentu saja perjalanan MEA menjadi CU (Custom Union) ataupun CM (Common Market) masihlah panjang, namun realisasi penguatan perdagangan kawasan yang tercetus dalam MEA harus segera diantisipasi dan dipersiapkan dengan matang oleh Indonesia.
Dalam hitung-hitungan kasar dengan membandingkan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dan tingkat daya saing yang disajikan oleh WEF (World Economic Forum) seharusnya dapat membakar semangat kita dan tidak membuat kita rendah diri, bahwa kita sebenarnya masih tertinggal beberapa langkah dengan negara-negara tetangga ASEAN dan masih tertinggal dalam merecovery kembali puing-puing sisa krisis dan mengembalikkan performa gemilang ekonomi domestik seperti sebelum krisis 1997.
Sekilas jika dilihat peringkat daya saing Indonesia yang disajikan oleh WEF (World Economic Forum), terlihat bahwa posisi daya saing Indonesia masih dibawah jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara tetangganya, seperti : Malaysia, Thailand dan Singapur. Bahkan peningkatan daya saing Indonesia belum membaik dan cenderung stagnan dalam 3 tahun terakhir. Dalam konteks yang sederhana ini, apakah berlebihan jika dikatakan indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya?.
Peringkat Daya Saing Oleh WEF
Negara | | Peringkat | ||
2005 | 2006 | 2007 | ||
Indonesia | 4 | 69 | 54 | 54 |
Singapura | 1 | 5 | 8 | 7 |
Malaysia | 2 | 25 | 19 | 21 |
Thailand | 3 | 33 | 28 | 28 |
Filipina | 5 | 73 | 75 | 71 |
Vietnam | 6 | 74 | 64 | 68 |
Kamboja | 7 | 111 | 106 | 110 |
WEF, global Competitive Report 2006&2007
Secara teoritis memang konsep integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya, melalui pembukaan akses pasar lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi lebih tinggi, termasuk terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Singkat kata, konsep tersebut tentu terkesan manis dibibir saja, karena belum tentu kesemuanya manfaatnya dapat dinikmati oleh bangsa ini nantinya.
Dalam konteks menghadapi persaingan perdagangan intra kawasan ASEAN, Indonesia harus mampu melihat permasalahan MEA dengan lebih jeli karena “perdagangan bebas kawasan” sendiri tanpa support pemerintah yang kuat, tidak akan mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi bangsa. Sehingga perlu ada upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penjagaan market access, penguatan industri-industri infant dan unggulan serta pembangunan infrastruktur yang makin baik.
Lebih spesifik, untuk dapat mengambil kesempatan dalam MEA, ada beberapa strategi yang penting untuk dapat mensupport perekonomian domestik agar dapat bersaing di pasar ASEAN.
Pertama, Indonesia membutuhkan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang mapan. Kedua, Indonesia membutuhkan modern custom facility. Ketiga, Indonesia membutuhkan suatu infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor, sehingga standar dan kualitas produk dalam negri dapat terjaga dengan sempurna. Keempat, Indonesia membutuhkan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kelima, Indonesia membutuhkan tenaga ahli yang concern dalam masalah perdagangan internasional. Tenaga ahli ini juga menyangkut ahli yang berkaitan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional.
Dengan upaya-upaya tersebutlah, maka sambutan yang hangat terhadap MEA dapat kita dengungkan dengan percaya diri. Ingatlah bahwa MEA hanyalah format baru dalam globalisasi perdagangan, kita tidak akan mampu menutup diri sehingga yang bisa kita lakukan adalah terus memperbaiki diri, meningkatkan inovasi dan terus memperkuat stabilitas ekonomi domestik dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang konsisten, efektif dan kredibel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar