MODAL MANUSIA DAN GLOBALISASI: PERAN SUBSIDI PENDIDIKAN
Dias Satria
Abstract
Subsidy is one of the fiscal policies which is needed for the economy to achieve to the equilibrium or its potential. We can see a subsidy in different perspectives in economics, by seeing it from the short run perspective to a long run perspective by analyzing it from the intertemporal analysis. In the long run perspective, a subsidy can also seen as a powerfull tool in a development, especially if a subsidi is set in particular sectors, like education and health. Some empirical evidences show that a subsidy in education can be a strong buffer from preventing nation to the negative effect of globalization-inequality of income. Thus, it can be a solutive way to reduce a poverty in Indonesia.
Keywords: subsidy, fiscal policy, intertemporal analysis, education, income equality, globalization and poverty.
1. Latar Belakang
Modal manusia dalam mendorong pembangunan ekonomi sudah sangat dipahami oleh para ahli ekonomi dan pengambil kebijakan. Sehingga tidak jarang, strategi pembangunan disebagian besar negara memprioritaskan pada pembangunan kualitas modal manusia dengan melakukkan perbaikkan sistem pendidikan dan support anggaran (subsidi) yang besar. Selain itu pembangunan modal manusia diyakini tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan, namun juga berperan sentral mempengaruhi distribusi pendapatan di suatu perekonomian. (Becker, 1964; Schultz, 1981 dalam Heckman, 2005). Logika ini jugalah yang mendorong strategi pengentasan kemiskinan yang bersentral pada pentingnya pembangunan modal manusia (human capital).
Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat strategis khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi, seperti yang dilansir dalam World Commision on Environmental and Development, 1997 dalam McKeown (2002), bahwa sustainable development adalah: “Sustainable development is development that meets the needs of the present without comprimising the ability of future generations to meet their own needs.” Dalam konteks ini, pendidikan dianggap sebagai alat untuk mencapai target yang berkelanjutan, karena dengan pendidikan aktivitas pembangunan dapat tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan kualitas hidup di masa depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha pembangunan yang lebih hijau (greener development) dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan juga mudah tercapai.
Romer, 1986; Lucas, 1988 (dalam Cui et.,al. 2008) Menjelaskan bahwa modal manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai kontributor kunci dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, namun juga mendorong tujuan pembangunan untuk meningkatkan human freedom secara umum. Selain itu, fokus perkembangan global saat ini yang dicatat dalam millennium development goals juga telah memposisikan perbaikkan kualitas modal manusia dalam prioritas yang utama.
Dikebanyakan negara miskin dan berkembang, kurangnya sumberdaya dan modal (termasuk modal manusia) diidentifikasi sebagai penyebab utama lemahnya daya saing dan hambatan untuk maju. Keadaan ini secara umum disebabkan karena lingkaran setan kemiskinan yang menyebabkan negara tersebut sulit sekali untuk melakukkan investasi dan akumulasi modal yang penting bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Hal ini juga dipertegas oleh Jeffrey Sachs (2005) yang menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah lack of innovation, yang mana berkaitan dengan kurangnya investasi dalam knowledge ekonomi sehingga mengurangi insentif masyarakat untuk berkreativitas dan meningkatkan produktivitasnya.
Kondisi modal manusia di negara miskin dan berkembang semakin parah dengan adanya pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak terkendali. Hal ini disebabkan karena peluang (oppurtunity) Globalisasi ekonomi hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki kemampuan dan knowledge yang baik. Rendahnya kualitas modal manusia dihampir sebagian negara miskin dan berkembang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan globalisasi yang cepat, sehingga akhirnya larut dan dirugikan dalam proses didalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam teori perdagangan internasional “Heckscher-Ohlin” model, yang mana perdagangan internasional membawa dampak pada distribusi pendapatan khususnya terhadap para pemilik sumber daya maupun pekerja.
Dalam konteks ini, maka peran pemerintah dalam mengisi gap kurangnya modal harus dapat diisi oleh pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan anggaran sosial (social spending) untuk subsidi khususnya di sektor pendidikan. Dalam beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Shultz, 1999 dan Barro, 1996b (dalam Cui et.,al. 2008) menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam mengisi peran tersebut. Sebagai contoh, dengan tingginya social spending dalam pendidikan tinggi akan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi keluarga dan meningkatkan kapasitas kesehatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dalam pengembangan model ekonomi tersebut dijelaskan juga bagaimana interaksi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara umum. Namun, pengembangan model juga telah dikembangkan dengan baik oleh beberapa peneliti (Gupta et.al., 2002a dan Hausmann, Pritchett and Rodrik, 2005) bahwa secara lebih spesifik efektivitas social spending (pendidikan) bagi pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh aspek penting pemerintah, dimana pemerintahan yang buruk berkontribusi terhadap pelaksanaan aktivitas pendidikan yang dapat mendukung proses pembangunan.
Pendidikan dan kesehatan selain harus dianggap sebagai suatu hak asasi dan bentuk keadilan, juga harus difahami sebagai perbaikkan kebebasan masyarakat untuk berkembang dan memperbaiki dirinya, lepas dari lingkaran setan dan jeratan kemiskinan. Efektivitas pencapaian tujuan ini tentu sangat tergantung dari dukungan atau support pemerintah dalam konteks penganggaran investasi fasilitas dasar pendidikan dan pemberian subsidi (transfer of payment) khususnya bagi masyarakat miskin.
Dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan modal manusia khususnya di negara miskin dan berkembang, maka dalam tulisan ini akan dibagi menjadi dua pembahasan. Pertama, pembasahan ekonomi positif, yang erat kaitannya dengan perspektif makroekonomi. Dalam konteks ini selain akan membahas bagaimana peran anggaran (subsidi) dalam model pertumbuhan endogen. Selain itu juga akan didiskusikan analisis intertemporal (antar waktu) akibat implementasi kebijakan anggaran yang dilakukkan saat ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku individu dimasa depan. Kedua, Pembahasan ekonomi normatif, yang mana pendidikan berkontribusi dalam proses-proses pembangunan khususnya sebagai penguat modal manusia (human capital) menghadapi keterbukaan ekonomi. Dalam konteks ini, proposisi bahwa globalisasi dapat meningkatkan gap distribusi pendapatan yang semakin besar seperti yang dijelaskan dalam teori perdagangan internasional “Heckscher-Ohlin Model”, akan dapat diredam dengan adanya perbaikan pendidikan atau penguatan kualitas human capital.
2. Subsidi (Kebijakan Fiskal) dalam perspektif Makroekonomi
Sebelum memulai analisa terhadap subsidi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, ada baiknya kita memahami definisi dari subsidi itu sendiri. Berdasarkan kamus wikipedia, subsidy dapat dijelaskan sebagai berikut:
In economics, a subsidy (also known as a subvention) is a form of financial assistance paid to a business or economic sector. A subsidy can be used to support businesses that might otherwise fail, or to encourage activities that would otherwise not take place. (Wikipedia Dictionary)
Dalam konteks makroekonomi, subsidi merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan respon jangka pendek dalam siklus bisnis atau ekonomi, yang mana dilakukkan untuk menutup gap fluktuasi output. Kebijakan ini biasanya dilakukkan untuk mengisi kekosongan dalam aggregate demand sehingga perekonomian dapat didorong hingga mendekati titik optimal atau potensialnya. Oleh karena itu, kualitas dari kebijakan fiskal tentu menjadi topik kajian yang penting karena dapat mengoptimalkan fungsi kebijakan fiskal untuk mengatasi fluktuasi output. Namun, meski kebijakan fiskal merupakan isu sentral dalam kebijakan jangka pendek (short run policy), pengaruhnya dalam jangka panjang tidak seharusnya dihiraukan.
Di sisi pengeluaran, pengeluaran pemerintah (government expenditure) dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sebagai contoh, model pertumbuhan endogen (endogenous growth) yang memperkenalkan pengeluaran pemerintah sebagai mesin pertumbuhan. Pemikirian ini disampaikan oleh Robert Lucas (1980), yang meyakini bahwa investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan modal manusia dalam perekonomian. Investasi pendidikan dianggap memiliki implikasi yang positif terhadap penambahan sumber daya bagi perekonomian, sehingga dapat meningkatkan output secara umum. Oleh karena itu, perubahan dalam pengeluaran bidang pendidikan yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal jangka pendek akan mendukung proses akumulasi dalam modal manusia sehingga pada akhirnya akan mendorong pada pertumbuhan ekonomi. (Keuschnigg and Fisher, 2002 Dalam Zagler and Durnecker, 2003).
Namun perlu disadari bahwa disisi penerimaan, pajak dapat mendistorsi keputusan individu masyarakat. Hal ini secara umum disebabkan karena distorsi pajak akan mengubah perilaku individu masyarakat untuk menabung dan berinvestasi, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi. Dalam model Ricardian, pengeluaran pemerintah dianggap sebagai Tax Delayed atau pajak yang tertunda. Dalam pandangan ini, masyarakat akan memiliki ekspektasi bahwa pajak akan meningkat dimasa depan, akibat keadaan defisit pada saat ini. Sehingga pandangan ini beranggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidak ada bedanya dengan distorsi pajak, dan hanya mendistorsi ekonomi.
Singkatnya, dalam intertemporal analisis, budget constraint pemerintah dalam anggaran sosial (ex: subsidi pendidikan) akan menciptakan ekspektasi masyarakat bahwa kebijakan defisit anggaran ini akan menyebabkan koleksi peningkatan pajak dimasa depan. Keadaan inilah yang secara umum akan mendorong perilaku masyarakat untuk menahan pengeluarannya dengan melakukkan akumulasi tabungan. Dengan kata lain, perubahan perilaku ini secara umum akan menyebabkan terkoreksinya pengeluaran pemerintah (government spending) karena melemahnya sisi konsumsi masyarakat (salah satu Komponen Aggregate Demand). Sehingga pada akhirnya, mereka beranggapan kebijakan ini tidak akan efektif mendorong pertumbuhan output.
Namun tentu saja, keadaan ini merupakan analisis ekonomi positif yang terjadi dalam dunia Ricardian. Social spending sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, memiliki efek yang lebih luas seperti yang dimodelkan dalam pandangan ekonomi positif. Bahwa social spending “pendidikan”, memiliki dimensi yang kompleks menyangkut dimensi pendapatan maupun non-pendapatan. Dalam dimensi pendapatan, jika social spending bagi subsidi pendidikan dapat meningkatkan tingkat pengembalian yang maksimal bagi pendapatan maka bisa dibilang bahwa social spending bisa menjadi alat yang tepat bagi perekonomian. Analisis ini tentu sangatlah static, dan tidak mempertimbangkan bagaimana pengaruhnya yang lebih luas dalam pengembangan mental manusia, cara berfikir, berkreasi, kebebasan dan pengembangan inovasi yang tinggi. Bahwa permasalahan modal manusia bukanlah permasalahan yang sifatnya temporal, namun lebih luas lagi menyangkut kebebasan dan perlakuan yang lebih baik untuk mengubah kualitas hidup manusia. Dimensi non-pendapatan inilah yang strategis, dan perlu kajian lebih mendalam.
3. Pendidikan dan Globalisasi Ekonomi
Globalisasi sebagai suatu fakta yang tidak terelakkan, telah memasuki fase baru yang telah menciptakan dependensi yang kuat antar ekonomi negara-negara didunia. Globalisasi telah mempengaruhi perekonomian dan kehidupan suatu negara melewati beberapa channel, antara lain: perdagangan internasional, liberalisasi keuangan, Penanaman modal asing dan transfer teknologi. Meskipun potensi keuntungan telah diraup oleh beberapa negara dengan memanfaatkan era globalisasi (ex. India dan China), namun dalam kajian terbaru bahwa integrasi ekonomi telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi pendapatan.
Dengan semakin terbukanya perekonomian, setidaknya ada 3 channel penting mengapa investasi dalam modal manusia menjadi sangat strategis. Pertama, akumulasi modal manusia adalah determinan penting dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Kedua, karena pendidikan memiliki peran yang penting dalam distribusi pendapatan yang lebih merata, maka dengan pendidikan efek gap pendapatan yang meningkat akibat globalisasi dapat diredam. Ketiga, aspek penting dalam akumulasi modal manusia bagi tatanan masyarakat adalah dengan semakin baiknya pastisipasi politik masyarakat yang dapat mensuport ekonomi. (Verdier and Bourguignon, 2005)
Permasalahan utama dalam perdagangan internasional akibat globalisasi berkaitan dengan efek disparitas pendapatan. Hal ini dapat disimpulkan dalam model Hecksher-Ohlin: “A country will be better off with trade, but owners of abundant factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of scarce factors will be worse off without compensation.” Secara umum teori ini menjelaskan bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan perdagangan internasional karena tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan perekonomian, akan mengalami kerugian akibat perdagangan. Jika teori ini kita kembangkan lebih luas dalam konteks knowledge economy, maka sebagian masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup sudah pasti akan dirugikan karena mereka tidak akan mampu mengambil kesempatan (oppurtunity) dalam perekonomian.
Pengembangan model diatas memiliki asumsi dengan keadaan pasar kredit yang tidak sempurna (imperfect credit markets), maka masyarakat miskin akan mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan akses pinjaman untuk melakukkan investasi di dunia pendidikan. Hal ini yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan masyarakat miskin untuk mengubah kualitas hidupnya dan mengambil keuntungan dalam globalisasi. Dalam perspektif pendapatan, akibat ketidakmampuan melakukkan investasi dalam pendidikan, masyarakat miskin tidak akan dapat menikmati perbaikkan pendapatan sehingga menimbulkan disparitas pendapatan yang tinggi dengan mereka yang dapat menikmati keuntungan globalisasi (orang kaya).
Namun, keadaan ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah tahu betul posisinya dalam memecahkan masalah ini. Hal yang bisa dilakukkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menutupi kekurangan likuiditas masyarakat miskin dengan meningkatkan anggaran subsidi dalam dunia pendidikan. Realisasi ini hanya bisa dicapai jika tekanan politik masyarakat untuk menginginkan hal tersebut dapat tercapai. Hal yang perlu disadari bahwa pemerintah yang memberikkan prioritas terhadap kapabilitas dasar manusia (kesehatan dan pendidikan) tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, namun juga akan mendorong perbaikkan dalam distribusi pendapatan dalam jangka panjang. Selain itu, kontributor kunci bagi pembangunan “pendidikan” tidak hanya memberikkan keuntungan dalam dimensi pendapatan, namun juga berkontribusi pada dimensi non pendapatan. (Becker, 1964; Schultz, 1981 dalam Heckman, 2005).
Keuntungan dari modal manusia tentu memiliki pengaruh yang luas dalam perekonomian, khususnya bagaimana kontribusi modal manusia dalam mendororong produktivitas, serta mengembangkan adaptibility dan efisiensi alokasi. Pertama, berkaitan dengan kontribusi modal manusia. Investasi dalam pendidikan (training) secara umum akan meningkatkan skill pekerja, sehingga pada akhirnya produktivitas mereka dalam bekerja dapat ditingkatkan secara optimal. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pengembangan adaptibility dan efisiensi alokasi. Bahwa dengan semakin meningkatnya kualitas modal manusia dalam perekonomian, maka pekerja yang berskill baik akan lebih pintar untuk mengalokasikan sumberdaya yang ada untuk setiap pekerjaan serta lebih mudah untuk beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi dan menangkap peluang. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Nelson and Phelps, 1966; Schultz, 1975 dalam Heckman 2005.
Selain itu, dengan semakin baiknya skill yang dimiliki oleh pekerja, yang berarti semakin baik modal manusia, maka kemampuan individu untuk menuangkan ide baru, mengadopsi teknologi baru dan mengimplementasi pengetahuan yang datang dari luar akan semakin mudah. Dengan semakin meningkatnya keterbukaan terhadap dunia luar, maka kebutuhan modal manusia yang dapat mengabsorp teknologi dari luar menjadi sangat penting. Ketidakseimbangan strategi investasi dapat mengurangi rate of return on investment, karena manusia sebagai operator yang ada dibalik penggunaan mesin tersebut tidak mampu secara optimal mengaplikasikannya. Selanjutnya, modal manusia di sektor pertanian (agriculture) juga sangat penting, yaitu bagaimana modal manusia dapat menangkap perubahan pasar dan menerapkan teknologi. Angkatan kerja dengan pendidikan yang baik dapat mengambil keputusan yang baik, baik dalam sektor pertanian maupun industri perkotaan. Overinvestment disalah satu sektor dengan mengabaikan investasi sektor pendukungnya dapat menyebabkan kehilangan kesejahteraan (welfare lost) dan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Dalam kasus yang spesifik, yaitu sektor pertanian. Rendahnya produktivitas petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan petani. Sebagai pekerja disektor yang subsistem, yang memiliki ruang gerak yang sempit untuk berkembang dan meningkatkan pendapatan. Para petani di negara berkembang terperangkap dalam kondisi yang kurang menguntungkan, bahkan mereka dikategorikan sebagai pekerja yang tidak berkeahlian (unskilled labour) dengan pendapatan yang sangat minimal. Dalam kondisi ini, tentu saja investasi masa depan dalam dunia pendidikan hanya sebagai angan-angan dan impian semu.
Selain tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupannya dimasa depan akibat minimnya pendidikan, keadaan ini juga akan mempengaruhi produktivitas petani dalam produksinya. Dalam beberapa penelitian yang ada, pendidikan (literacy and numeracy) akan membantu petani dalam mengaplikasikan metode baru dalam pertanian, mengatasi resiko dan merespon sinyal pasar. Selain itu, dengan pendidikan (literacy and numeracy) petani akan lebih baik dalam melakukkan pencampuran bahan kimia (pupuk dan pestisida) sehingga mengurangi bahaya bagi manusia dan lingkungan. Terakhir, pendidikan dasar akan memudahkan para petani untuk melakukkan pinjaman pada lembaga keuangan, untuk kebutuhan investasi pertanian.
Di sisi lain, keadaan ini akan juga lebih baik jika akses pendidikan bagi masyarakat miskin juga bisa diakses dengan lebih baik bagi para wanita. Dengan semakin baiknya tingkat pendidikan wanita dalam keluarga, maka perencanaan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik dalam keluarga akan semakin mudah untuk terealisasi. Hal inilah yang secara umum akan membantu mendorong pencapaian tujuan pembangunan secara aggregat.
4. Policy Implication: Kebijakan anggaran (subsidi) yang pro-poor dan pro-growth.
Dalam memahami permasalahan kemiskinan dan disparitas pendapatan yang mengancam akibat derasnya era globalisasi. Maka diperlukkan keberanian dan upaya strategis pemerintah untuk meredamnya. Dalam konteks ini peran strategis pemerintah ada pada keputusan politik anggaran (subsidi) untuk perbaikkan kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Hal ini juga dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Cui et.,al. 2008 yang menunjukkan bahwa investasi pendidikan dan kesehatan memiliki kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan output, namun dengan rute mekanisme yang berbeda. Selanjutnya dalam penelitian itu dijelaskan bahwa keadaan pemerintah yang baik (good governance) mendukung efektifitas pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan output.
Berdasarkan Sumarto dan Mawardi, 2003, pemerintah memiliki peran yang strategis dalam mengarahkan kebijakan anggarannya ke kebijakan publik yang memihak masyarakat tidak mampu. Hal ini dilakukkan agar kebijakang anggaran dapat memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Setidaknya ada tiga hal utama yang dijelaskan dalam paparanya, antara lain pentingnya: political willingness, iklim yang mendukung dan tata pemerintahan yang baik. Pertama, dalam konteks “Political Willingness”. Perlu adanya komitmen kuat dari pemerintah untuk bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi sangat penting agar penyusunan program-program yang pro poor dapat menempatkan program kemiskinan pada prioritas utama. Kedua, Iklim yang Mendukung. Iklim atau kondisi yang mendukung untuk penyusunan kebijakan anggaran yang pro poor dapat berjalan jika ada kesadaran kolektif bahwa kemiskinan adalah permasalahan utama yang harus diselesaikan. Di sisi lain, perlu juga dukungan peraturan dan kebijakan strategis yang mendukung penanggulangan kemiskinan.
Ketiga, adalah Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance). Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya.
5. Kesimpulan
Subsidi, sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, kita sudah faham betul bagaimana dalam ananalisis IS-LM (Pasar uang dan barang) kebijakan tersebut dapat mendorong output ke titik potensialnya. Namun perlu difahami lebih mendalam, bahwa dimensi anggaran khususnya anggaran bagi subisidi sektor yang strategis seperti Pendidikan, memiliki dimensi yang tidak temporer dan tidak sempit.
Peranan analisis intertemporal dengan melihat sisi anggaran secara unsich bisa menjadi penting untuk dipertimbangkan. Bahwa dengan constraint budget yang semakin ketat, maka pengaruh kebijakan defisit anggaran yang berlebihan akan menyebabkan permasalahan bagi perekonomian itu sendiri. Oleh karena itu selain dibutuhkan reformulasi hitung-hitungan anggaran yang tepat, dibutuhkan juga perilaku good governance dari pemerintah untuk meyakinkan bahwa anggaran sosial (subsidi pendidikan) benar-benar telah diserap sepenuhnya sesuai dengan yang dianggarkan.
Dalam menghadapi era globalisasi yang memiliki implikasi pada disparitas pendapatan, pemerintah perlu menyiapkan langkah strategis untuk meredam efek negatif tersebut. Peran sentral ini hanya bisa diisi oleh penguatan pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital (modal manusia) agar masyarakat negara miskin dan berkembang dapat mengambil keuntungan dalam era globalisasi. Rendahnya akumulasi modal karena keadaan yang serba susah di negara miskin dan berkembang mendorong peran strategis pemerintah untuk mengisi kekurangan likuiditas dan keadaan imperfect markets. Dengan kontribusi pemerintah berupa subisidi anggaran pendidikan, tentu masyarakat akan mampu mencapai titik optimal kesejahteraan dengan manfaat yang luas dari pendidikan. Hal inilah yang secara umum dapat menguntungkan kehidupannya dimasa depan dengan peningkatan kualitas hidup dan pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA
Barro, R. J. (1998). "Government Spending in a Simple Model of Endogeneous Growth." The Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, Part 2.
Birdsall, N. (1996). "Public Spending on Higher Education in Developing Countries: Too Much or Too Little?" Economics of Education Review, Vol. 15, No. 4, pp. 407~119, 1996.
David L. Lindauer, A. V. (1992). "Government Spending In Developing Countries: Trends, Causes, And Consequences." The WorU Bank. Research Observer, vol. 7, no. 1 (January 1992), pp. 59-78.
Emanuele Baldacci, B. C., Sanjeev Gupta, Qiang Cui (2008). "Social Spending, Human Capital, and Growth in Developing Countries." World Development Vol.36 No.8.
François Bourguignon, T. V. (2005). "The Political Economy of Education and Development in an Open Economy." Review of International Economics, 13(3), 529–548, 2005.
Heckman, J. J. (2004). "China’s human capital investment." China Economic Review 16 (2005) 50–70.
Jimenez, E. "The Public Subsidization Of Education And Health In Developing Countries: A Review Of Equity And Efficiency." http://wbro.oxfordjournals.org.proxy.library.adelaide.edu.au/cgi/content/abstract/1/1/111
Martin Zagler, G. D. (2003). "Fiscal policy and Economic Growth." Journal of Economic Surveys Vol.17 No.3.
McKeown, R. (2002). "Education for Sustainable Development Toolkit."
http://kpe-kardits.kar.sch.gr/Aiforia/esd_toolkit_v2.pdf
Michael Bruno, M. R. a. L. S. "Equity and Growth in Developing Countries." (The World Bank). http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=604912
Shantanayan Devarajan, V. S. a. H. f. Z. (1996). "The composition of public expenditure and economic growth." Journal of monetary economics 37 (1996) 313-344.
Stiglitz, B. G. A. J. E. "Helping Infant Economies Grow: Foundations of Trade Policies for Developing Countries." http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=joseph_stiglitz
Sulton Mawardi, S. S. (2003). "Kebijakan Publik yang Memihak Masyarakat Miskin." Penelitian SMERU.
Jumat, 19 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar