Selasa 23/09/2008 10:53:46
Kepanikan Keuangan Global
Oleh: Satria SE., M.App.Ec Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unibraw, peneliti INSEF
Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut. Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebangkrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebangkrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan risiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat. Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan” karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia. Sebelumnya pada 1995, salah satu Bank Tertua Inggris, Barings Bank, mengalami nasib serupa akibat kerakusan salah satu trader-nya, Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga USD 1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank) Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank Societe Generale Prancis yang mencapai USD 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu trader-nya yang bernama Jérôme Kerviel. Beberapa pengalaman penting di atas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang jeorpadized. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang di dalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien. Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut: Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan. Bahwa saat ini sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual) Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor risiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen risiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer. Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen risiko, tak satu pun yang mampu meramalkan pergerakan risiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikan hanya sebatas keterbukaan risiko dan probabilitas default atau risiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini. Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan. Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi. Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat. *
Selasa, 23 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar