Selasa, 23 September 2008

Kepanikan Keuangan Global

Selasa 23/09/2008 10:53:46
Kepanikan Keuangan Global

Oleh: Satria SE., M.App.Ec Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unibraw, peneliti INSEF

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut. Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebangkrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebangkrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan risiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat. Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan” karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia. Sebelumnya pada 1995, salah satu Bank Tertua Inggris, Barings Bank, mengalami nasib serupa akibat kerakusan salah satu trader-nya, Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga USD 1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank) Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank Societe Generale Prancis yang mencapai USD 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu trader-nya yang bernama Jérôme Kerviel. Beberapa pengalaman penting di atas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang jeorpadized. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang di dalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien. Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut: Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan. Bahwa saat ini sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual) Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor risiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen risiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer. Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen risiko, tak satu pun yang mampu meramalkan pergerakan risiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikan hanya sebatas keterbukaan risiko dan probabilitas default atau risiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini. Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan. Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi. Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat. *

Sabtu, 20 September 2008

Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi

Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi

KEPANIKKAN KEUANGAN GLOBAL DAN PERGESERAN FUNGSI VITAL PERBANKAN

KEPANIKKAN KEUANGAN GLOBAL DAN PERGESERAN FUNGSI VITAL PERBANKAN
Dias Satria SE.,M.App.Ec
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan (Fak Ekonomi, Universitas Brawijaya)
Peneliti INSEF

Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang melanda hampir di seluruh negara-negara di dunia, terletak pada kebobrokan sistem keuangan yang ada saat ini, yang mendorong keserakahan dan nafsu yang berlebihan dalam ”spekulasi”. Dalam bisnis, tindakan spekulasi memang dapat difahami sebagai bentuk aktivitas mengejar keuntungan, dan itu fair, jika spekulasi yang dilakukkan terkontrol dan terukur. Namun jika spekulasi telah menjadi sesuatu yang membabi buta, tanpa perhitungan dan tanpa prinsip kehati-hatian. Maka yang terjadi adalah kehancuran bagi sistem keuangan tersebut.

Salah satu kekacauan keuangan global yang marak diperbincangkan saat ini adalah kebankrutan “Lehman Brothers”, salah satu bank investasi amerika yang telah berumur 185 tahun. Suatu bank yang seharusnya telah banyak makan asam garam dalam pengalaman dan network bisnis yang kuat. Kebankrutan Lehman Brothers pada intinya terletak pada tingginya (rakusnya) posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat bagi pasar keuangan negara-negara di dunia.

Sebelumnya di tahun 1995, salah satu Bank Tertua Inggris “Barings Bank” mengalami nasib yang serupa, akibat kerakusan salah satu tradernya Nick Leeson. Dengan membabi buta, Nick Leeson pada saat itu melakukkan posisi spekulasi di SIMEX (Singapore International Monetary Exchange), yang menyebabkan Barings Bank mengalami total kerugian hingga US$1.4 billion (http://en.wikipedia.org/wiki/Barings_Bank)

Dan, mungkin masih lekat dalam ingatan kita, kerugian bank “Societe Generale” prancis yang mencapai US$ 7 billion, akibat spekulasi yang dilakukkan oleh salah satu tradernya yang bernama Jérôme Kerviel.

Beberapa pengalaman penting diatas tentu harus menyadarkan kita bahwa sistem keuangan yang maju saat ini telah mengalami pergeseran nilai yang “jeorpadized”. Dengan kata lain, kemajuan dalam inovasi keuangan dan globalisasi keuangan telah menjadi bumerang bagi kemajuan sistem keuangan itu sendiri. Bagaimana tidak, fungsi vital sistem keuangan yang didalamnya adalah “sektor perbankan” saat ini sudah semakin mandul berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang efektif dan efisien.

Ada beberapa alasan, mengapa sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vital tersebut:

Pertama, tingginya arus globalisasi keuangan dan inovasi keuangan, telah menciptakan instrumen-instrumen derivatif baru yang menggiurkan.

Bahwa saat ini, sektor perbankan memiliki sumber aset baru berupa danareksa, saham, obligasi, SBI dll, yang secara return lebih menggiurkan dibandingkan melakukkan penetrasi aset di sektor usaha (pinjaman modal kerja atau pinjaman investasi). Dalam konteks ini, peran bank bisa sebagai trader (player atau pemain di pasar keuangan tersebut; atau hanya sebatas dealer atau penjual)

Aktivitas ini juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan software, yang memungkinkan bank untuk memonitor resiko transaksi-transaksi keuangan yang dilakukkannya. Dalam konteks ini, kemunduran fungsi vital perbankan terletak pada sistem manajemen resiko yang hanya sebatas tangan “arm-length” analisis atau analisis yang sebatas tangan menggunakan komputer.

Secanggih-canggihnya sistem IT ataupun software manajemen resiko, tak satupun yang mampu meramalkan pergerakan resiko pasar dengan baik dan akurat. Fitur yang diberikkan hanya sebatas keterbukaan resiko dan probabilitas default atau resiko yang dialaminya. Namun sepertinya para bank manager telah kehilangan arah, dan lebih mempercayai teknologi ini.

Kedua, semakin menggiurkannya harga rumah yang semakin meningkat mendorong bank secara berlebihan bermain dalam bisnis properti. Ingat, bahwa ambruknya Lehman Brothers disebabkan karena rakusnya investasi dalam bisnis properti. Dalam kondisi ekonomi yang resesi dan mengalami kelesuan, share aset yang sangat tinggi dalam bisnis ini akan menyebabkan kebankrutan.

Selain itu, kemajuan teknologi IT dan software di dunia perbankan juga mendorong aktivitas perbankan yang tidak takut lagi untuk bermain di sektor retail. Sebelum adanya kemajuan teknologi informasi yang mampu memangkas biaya transaksi yang tinggi, bank enggan untuk memberikkan kredit konsumsi (kartu kredit dll). Namun dengan adanya kemajuan tersebut, bank semakin berani dan semakin prinsip kehati-hatiannya untuk bermain di sektor ini. Hal ini ditambah dengan keuntungan bunga (profit margin) yang menggiurkan dalam bisnis kredit konsumsi.

Beberapa hal diatas tentu merupakan ancaman tersendiri bagi perbankan tanah air, dan instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, guna menghindari ancaman eksternal dan kebobrokan sistem internal industri perbankan maka diperlukan upaya sigap dalam mengembalikkan fungsi vital “intermediasi” perbankan. Hal ini juga menjadi sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dari bekerjanya sistem keuangan yang sehat.

Jumat, 19 September 2008

Lehman

Lehman Brothers: Warning bagi perbankan tanah air
Oleh: Dias satria
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya
Peneliti INSEF (Surabaya)

Kekacauan keuangan global yang diperpanas dengan bankrutnya “Lehman Brother”, salah satu lembaga keuangan terkenal di AS, telah banyak mempengaruhi gejolak dalam pasar keuangan domestik. Gejolak bagi pasar keuangan domestik tentu bukan sekedar permasalahan hubungan keuangan (ex: connected lending) dengan Lehman Brothers, namun lebih banyak dipicu oleh “asymmetri information” yang menyebabkan kepanikkan pasar dan ketidakpercayaan pelaku pasar asing dan domestik.

Permasalahan inti Lehman Brothers terletak pada tingginya posisi aset dalam pembiayaan kredit perumahan. Share yang terlalu besar ini tentu saja menimbulkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi. Keadaan ini diperparah dengan masih berlangsungnya resesi perekonomian AS, yang menyebabkan default atau ketidakmampuan untuk membayar dari masyarakat.

Lehman Brothers menjadi berita yang “menggemparkan”, karena tingginya jumlah aset yang dimilikinya serta tingginya connected lending yang dilakukkannya dengan lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, sehingga menimbulkan contagion atau efek penularan yang dahsyat.

Bagi perkembangan keuangan domestik, Lehman Brothers tentu akan mempengaruhi kinerja pasar keuangan (saham dan uang) karena perubahan ekspektasi investor dan tentu, perubahan perilakunya. Selain itu, pengaruh bagi pasar domestik akan terjangkit melalui perubahan fundamental indikator makro internasional yang terangkum dalam neraca pembayaran, khususnya bagaimana pengaruhnya terhadap perbedaan suku bunga domestik dan luar negri serta instabilitas nilai tukar terhadap aliran modal masuk ke negara-negara berkembang.

Dalam konteks ini, bank harus waspada dengan semakin menurunnya nilai pasar atau market value dari aset-aset mereka. Dengan kata lain, menurunnya indeks gabungan IHSG dan securities secara umum akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi profitabilitas aset yang mereka pegang. Dalam konteks ini, kecukupan modal akan menjadi sumber kekuatan bank untuk bertahan dalam ancaman resiko likuiditas dan insolvency.

Namun, disisi lain antisipasi yang serius perlu untuk dilakukkan guna mengamankan stabilitas keuangan domestik khususnya dari perspektif keuangan internal industri perbankan tanah air. Beberapa indikator seperti tingginya kredit konsumsi dan lemahnya intermediasi perbankan, harus segera direvitalisasi untuk menghindari industri perbankan dari keterpurukan.

Secara umum ada beberapa pelajaran penting dari kekacauan keuangan global ini.
Pertama, terlalu tingginya pinjaman konsumsi (kredit properti, kartu kredit dll) ditengah-tengah lesunya fundamental ekonomi akan menciptakaan ancaman instabilitas keuangan.

Kedua, implementasi manajemen resiko yang hanya sebatas tangan atau “arm length” analysis, yang sangat digemari perbankan saat ini karena biayanya yang rendah, telah mengarahkan aktivitas investasi aset perbankan ke transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif dan “tidak produktif”. Bahwa saat ini, ada kecenderungan bahwa perbankan semakin enggan untuk melakukkan fungsi vitalnya “intermediasi”, yang seharusnya dapat memberikkan pinjaman ke sektor-sektor usaha yang produktif.

Hal ini jugalah yang meningkatkan ancaman bagi perbankan tanah air, ditengah-tengah tingginya kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan. Bahwa penurunan aktivitas tradisional perbankan yang sesungguhnya telah memudar, dan mengancam perkembangan perbankan itu sendiri.

Ketiga, masuknya lembaga keuangan asing (termasuk bank asing) harus dapat ditelaah lebih lanjut. Apakah dengan masuknya bank asing, “mudharat yang diberikan lebih besar dari manfaatnya?”. Beberapa indikator penting yang dapat digunakan antara lain, seberapa besar peran bank asing bagi kemajuan UMKM?seberapa besar pinjaman modal kerja bank asing?apakah bank asing lebih menyukai kredit konsumsi saja?

Hal ini juga menunjukkan bahwa meski secara positif masuknya lembaga keuangan asing membawa pelajaran penting berupa best pratices (implementasi manajemen resiko), namun disisi lain masuknya lembaga keuangan asing dapat juga membawa penyakit.

Di sisi lain, secara empiris, konsentrasi yang terlalu tinggi (tingginya jumlah pemain asing dalam pasar domestik) dalam dunia perbankan tentu memiliki ekses yang negatif bagi aktivitas perbankan tanah air. Bahwa dengan semakin tingginya kompetisi yang dapat mengurangi market share dan keuntungan mereka, maka hal ini akan mengarahkan perilaku perbankan yang cenderung spekulatif dengan mencari sumber keuntungan baru di pasar keuangan (saham dan uang). Hal inilah yang pada dasarnya membahayakan stabilitas sistem keuangan domestik, karena bergesernya fungsi vital perbankan bagi pembangunan

Tiga permasalahan ini tentu dapat menjadi warning bagi perbankan tanah air, bahwa goncangan eksternal dan kekuatan internal industri perbankan harus segera diperbaiki guna menghindari krisis keuangan yang berkepanjangan.

“PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL KINI DAN YANG AKAN DATANG”

“PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL KINI DAN YANG AKAN DATANG”

Dias Satria


1. PENDAHULUAN
Indonesia pada akhir tahun 1980-an sampai dengan pertengahan dekade 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Bahkan kinerja makro ekonomi tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia. Sejak 1987 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat rekor tertinggi hingga mencapai 7,1%. Performa pada saat itu selain diperkuat dengan kinerja ekspor dan industri pengolahan yang gemilang, juga dipicu oleh deregulasi sektor keuangan yang menyebabkan tingginya aliran modal masuk (Capital inflow) dan pertumbuhan kredit. Namun keadaan tersebut secara sekejap hilang seiring dengan kuatnya pengaruh external shock (depresiasi mata uang Bath Thailand) dan rentannya perekonomian domestik akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi (unhedged foreign debt).
Pada bulan Juli 1997, krisis nilai tukar mengawali krisis yang terjadi di Indonesia. Krisis nilai tukar pada saat itu telah berubah wujud menjadi krisis perbankan dan krisis keuangan yang berujung pada krisis ekonomi yang rumit. Namun pada dasarnya permasalahan krisis pada saat itu utamanya bukan disebabkan oleh lemahnya fundamental makroekonomi, tapi lebih disebabkan karena kurang sehatnya perkembangan sektor keuangan dan perbankan di tanah air (unsound banking system) akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi.
Keadaan ekonomi Indonesia pascakrisis sudah menunjukkan pemulihan di berbagai lini dan sektor. Hal ini ditunjukkan dengan kian membaiknya beberapa indikator internal dan eksternal ekonomi, serta perbaikkan dalam kesejahteraan ekonomi yang diukur dari pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto). Namun perlu disadari bahwa pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung belum banyak menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam pengurangan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia. Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN yang dulunya memiliki skala ekonomi yang sama dengan Indonesia, nampak proses recovery yang terjadi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat daya saing ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Selain itu, reformasi yang sifatnya struktural untuk memperbaiki kinerja ekonomi juga masih belum tampak di Indonesia dilihat dari lamanya Indonesia untuk keluar dari krisis (years to recover). Keadaan ini secara rinci dijelaskan dalam tabel di bawah.

Tabel 1: Rata-rata Pertumbuhan PDB di Beberapa Negara Asia Tenggara
(dalam persen)
1987-1996 1997-1999 2000-2006 Years to recover
Hong Kong 5.2 -0.8 4.7 3
Indonesia 7.1 -6.4 4.9 7
Korea 8.1 1.0 4.6 2
Malaysia 9.5 -0.8 4.7 6
Philippines 3.6 1.4 4.6 3
Singapore 9.2 2.8 4.6 2
Taiwan 7.2 5.1 3.3 5
Thailand 9.5 -3.3 5.1 3
East Asia* 7.6 0.0 4.5 -
Sumber: IMF, RBA, CEIC; dalam Satria, 2007
Dalam menangkap peluang ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat diperlukkan transformasi ekonomi yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam infrastruktur, penciptaan stabilitas makroekonomi yang kuat, pembangunan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata serta komitmen dalam pencapaian pemerintahan yang sehat bersih dan bertanggung jawab. Di sisi lain, strategi pembangunan nasional juga harus diarahkan secara serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada titik inilah diperlukkan strategi untuk meningkatkan kualitas standar produk yang setara dengan standar internasional sekaligus mematenkannya menjadi produk karya asli masyarakat domestik. Capaian di atas merupakan gambaran strategi jangka panjang bagi perekonomian Indonesia, yang secara umum diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan distribusinya serta mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Berpijak pada uraian di atas, paparan-paparan selanjutnnya akan membahas secara lebih detail performa makroekonomi Indonesia saat ini serta masalah-masalah mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Indonesia. Selain itu juga akan dibahas tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi perekonomian Indonesia didalamnya. Lebih lanjut, secara umum paparann selanjutnya akan menguraikan (i) fundamental ekonomi Indonesia; (ii) pemasalahan mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; dan (iii) tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi Indonesia.
2. FUNDAMENTAL EKONOMI INDONESIA
Secara umum kondisi fundamental ekonomi Indonesia sudah menunjukkan performa yang makin membaik dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan tren yang makin meningkat dari PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 6,30% di tahun 2007, meningkat 1,40% jika dibandingkan dengan pertumbuhan PDB di tahun 2000 (lihat Gambar 1). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini juga ditopang dengan pengendalian inflasi yang rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikkan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia.

Gambar 1: Pertumbuhan PDB Indonesia

Sumber: Bank Indonesia (2008)

Namun perlu disadari bahwa meskipun secara fundamental makroekonomi sudah menunjukkan pemulihan, namun kondisi tersebut belum banyak memberikkan kontribusi yang signifikan pada pengurangan kuantitas tingkat kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan kata lain pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini belum cukup berkualitas dan solutif bagi pemecahan permasalahan dasar ekonomi yaitu kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan Sektoral Ekonomi
Secara historis, selama tahun 1970-1997 perekomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur yang ditandai dengan meningkatnya performa industri pengolahan yang terefleksi dari semakin tingginya share investasi dan Ekspor terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Pertumbuhan yang tinggi dalam industri pengolahan pada saat itu secara tidak langsung telah menggeser peran sektor pertanian, sehingga banyak terjadi pergeseran fungsi modal, tenaga kerja dan lahan untuk sektor pertanian ke sektor industri pengolahan.

Tabel 2: Indikator Makroekonomi
KETERANGAN 2003 2004 2005 2006 2007
Inflasi IHK 5.10 6.40 17.11 6.60 6.59
Transaksi Berjalan/PDB 3.40 0.60 0.10 2.90 2.50
Tingkat Pengangguran Terbuka 9.50 9.40 10.80 10.30 9.10
Tingkat Kemiskinan 17.40 16.70 16.00 17.70 16.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Namun perkembangan sektor industri pengolahan pascakrisis tengah mengalami stagnasi performa. Stagnasi yang terjadi di sektor industri pengolahan tercermin dari sisi permintaan agregat, di mana sektor Investasi dan ekspor yang semula dominan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi sudah mengalami penurunan performa tergeser dengan meningkatnya peran konsumsi. Penurunan kinerja sektor industri pengolahan secara lebih detail dapat dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 3. Dari tabel tersebut nampak bahwa kinerja sektor Industri belum menunjukkan perbaikkan yang signifikan sejak tahun 2005, bahkan belum mampu menandingi pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2003-2004.

Tabel 3: Pertumbuahan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi
KETERANGAN 1998 2003 2004 2005 2006 2007
Pertanian -1.30 3.80 2.80 2.70 3.40 3.50
Pertambangan dan Penggalian -2.80 -1.40 -4.50 3.20 1.70 2.00
Industri Pengolahan -11.40 5.30 6.40 4.60 4.60 4.70
Listrik, Gas, dan Air Bersih 3.00 4.90 5.30 6.30 5.80 10.40
Bangunan -36.40 6.10 7.50 7.50 8.30 8.60
Perdagangan, Hotel, dan Restoran -18.20 5.40 5.70 8.30 6.40 6.50
Pengangkutan dan Komunikasi -15.10 12.20 13.40 12.80 14.10 14.40
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan -26.60 6.70 7.70 6.70 15.50 8.00
Jasa-jasa -3.80 4.40 5.40 5.20 6.20 6.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Rendahnya pertumbuhan investasi dalam industri pengolahan berimplikasi pada kian menurunnya akumulasi modal (kapital) tetap. Di sisi lain menurunnya akumulasi modal dalam kondisi tingginya tingkat tenaga kerja menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Capital shortage ini tentu saja juga akan berimplikasi pada semakin memburuknya TFP (Total Factor Productivity), di mana nilainya tidak mampu menembus angka 1% dalam kurun waktu 2000-2004 jauh di bawah TFP Sebelum krisis yang mampu mencapai 3%.

Gambar 2: PDB Sisi Pengeluaran

Sumber: Bank Indonesia, 2008

Berdasarkan kontribusi PDB sisi pengeluaran dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan konsumsi relatif stabil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pembentukkan modal yang relatif unstable (lihat Gambar 2). Bahkan pembantukkan modal menurun rendah hingga menyentuh 2,50% di tahun 2006, angka ini terus merangkak naik hingga tahun 2007 yang mampu mencatat pertumbuhan yang tinggi mencapai 9.20%. Di sisi lain, kontribusi PDB dari sisi pengeluaran khususnya ekspor mengalami penurunan kinerja sejak tahun 2005, tentu hal ini harus menjadi concern yang serius berkaitan dengan eksistensi Indonesia dalam memenangkan kompetisi dalam ekonomi global.
Selanjutnya perlambatan performa sektor ekonomi juga terjadi di sektor pertanian. Hal ini didasarkan pada data yang dipublikasikan oleh BPS. Data tersebut mewartakan bahwa sektor pertanian cenderung mengalami penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006. Keadaan ini secara umum disebabkan oleh pergeseran struktur ekonomi ke sektor industri yang telah banyak mengorbankan faktor produksi yang sebelumnya digunakan di sektor pertanian. Secara lebih spesifik, melambatnya kinerja sektor pertanian disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan berkurangnya luas lahan. Rendahnya produktivitas pertanian secara umum disebabkan oleh permasalahan infrastruktur, penggunaan teknologi yang terbatas dan pengadaan pupuk yang belum memadai. Perlambatan kinerja sektor pertanian ini tentu berimplikasi pada penyediaan bahan makanan dan penyerapan tenaga kerja yang semakin rendah.
Sektor penyumbang PDB yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara tahun 2006-2007, adalah sektor listrik, gas dan air bersih, yang meningkat dari 5,80% di tahun 2006 mencapai 10,40% di tahun 2007. Sedangkan sektor yang mengalami penurunan kinerja cukup signifikan di antara tahun tersebut, adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang menurun drastis dari 15,50% di tahun 2006 ke angka 8,00% di tahun 2007. Selanjutnya sektor ekonomi yang relatif memiliki pertumbuhan yang tinggi dan stabil, antara lain sektor bangunan dan sektor pengangkutan serta telekomunikasi yang relatif stabil di angka masing-masing 8% dan 14%. Di sektor telekomunikasi, terjadi peningkatan permintaan yang cukup tinggi, sehingga dapat berkontribusi signifikan terhadap PDB. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap jasa telekomunikasi dan penggunaan internet yang telah meningkat hingga 40-50% pertahun.

Kondisi ekternal Indonesia
Kondisi eksternal Indonesia jika dilihat dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan perbaikkan di beberapa sektor, seperti ditunjukkan dengan perbaikkan kinerja transaksi berlajan (ekspor dan impor) maupun kinerja transaksi keuangan dan modal (Tabel 4). Namun jika dilihat secara lebih spesifik struktur dalam transaksi berjalan dan transaksi keuangan dan modal, bahwa posisi eksternal Indonesia masih belum optimal. Pertama, di sisi ekspor secara umum telah terjadi penurunan kinerja, yang secara tidak langsung memengaruhi transaksi berjalan. Kedua, di sisi transaksi keuangan dan modal, perekonomian Indonesia mengalami penurunan kontribusi investasi langsung atau Foreign Direct Investment. Selanjutnya, investasi jangka pendek atau Portolio Investment menunjukkan kecenderungan meningkat, yang secara tidak langsung harus diantisipasi jika terjadi capital rehearsal atau penarikkan dana tiba-tiba yang dapat mengakibatkan instabilitas keuangan makro.


Tabel 4: Neraca Pembayaran Indonesia
(Dalam Juta US $)
Rincian 2005 2006 2007
I. Transaksi Berjalan 278 10,836 11,009
II. Transaksi Modal dan Finansial 345 2,944 2,753
III. Jumlah (I+II) 623 13,780 13,726
IV. Selisih Perhitungan Bersih -179 729 -1,220
V. Neraca Keseluruhan (III+IV) 444 14,510 12,543
VI. Cadangan Devisa dan yang Terkait -444 -14,510 -12,543
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Dalam transaksi berjalan, kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan dari 19% pada tahun 2006 menjadi 14% pada tahun 2007. Sebagai contoh, pertumbuhan ekspor pertanian yang sebelumnya mencapai pertumbuhan 25,54% menurun kinerjanya hingga 10% ke titik 14,7%. Hal ini juga terjadi dalam kinerja ekspor nonmigas yang menurun hingga 5% selama tahun 2006-2007 (Tabel 5). Secara umum kinerja ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas Sumber Daya Alam, khususnya pertambangan. Performa ini didukung oleh semakin meningkatnya harga komoditas tambang yang meningkat sejak tahun 2004.

Tabel 5: Perkembangan Ekspor
KETERANGAN 2006 2007 2007
Perubahan (%) Nilai fob Pangsa
(juta $) (%)
Ekspor Nonmigas 20.7 15.6 93.142 78.9
Pertanian 25.54 14.7 11.704 9.9
Pertambangan 13.01 17.2 21.609 18.3
Perindustrian -7 15.2 59.829 50.7
Ekspor Migas 13.4 8.4 24.872 21.1
Total 19 14 118.014 100
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Dalam transaksi keuangan dan modal, peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada aliran modal portofolio dibandingkan dengan Foreign Direct Investment atau investasi langsung. Tingginya aliran modal dalam bentuk portofolio investment dipicu oleh berbagai faktor seperti pemotongan suku bunga The Fed yang menyebabkan kurang menariknya berinvestasi di Amerika Serikat, serta kecenderungan aliran modal dari negara-negara yang mengalami surplus transaksi berjalan (seperti di China, India, dan negara-negara eksportir minyak). Namun tingginya aliran modal asing yang berbentuk portofolio investment perlu diawasi secara ketat karena mobilitasnya yang sangat tinggi, yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan domestik. Selain itu, tingginya likuiditas yang semakin tinggi dalam perekonomian akibat capital inflow akan dapat menyebabkan inflasi yang tinggi dan sindrom overborrowing (kredit yang berlebihan).
Di sisi lain, tren investasi langsung atau FDI yang makin menurun harus segera diantisipasi secara tepat. Tren yang menurun ini merupakan refleksi beberapa permasalahan yang kompleks berkaitan dengan kelembagaan atau micro risk yang menyebabkan kurang diminatinya Indonesia sebagai lahan berinvestasi. Sejak tahun 2005, penurunan nilai FDI menurun dari US$ 5,27 miliar ke angka US$ 1,16 juta di tahun 2007.

Gambar 3: Transaksi Finansial (dalam juta US$)

Sumber: Bank Indonesia, 2008

Selanjutnya dalam kaitannya posisi eksternal Indonesia khususnya posisi Utang Luar Negeri (ULN) menunjukkan perbaikkan dari tahun ke tahun (Tabel 6). Hal ini terlihat dari beberapa indikator penting seperti tren penurunan posisi ULN dan peningkatan posisi cadangan devisa domestik. Keadaan ini secara umum menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengatasi permasalahan utang yang sebelumnya menjadi hambatan atau barrier bagi penciptaan pembangunan ekonomi yang berkualitas.


Tabel 6: Posisi Utang Luar negeri
KETERANGAN 1996 1997 2005 2006 2007
Pembayaran Bunga ULN/PDB 2.7 3 1 1.3 1.2
Posisi ULN/PDB 48.5 60.3 45.3 34.9 31.2
Cadangan Devisa/ Pembayaran ULN 91.2 73.4 185.6 138.8 210.8
Cadangan Devisa/Posisi ULN 17.4 15.7 26.6 33.1 41.7
Posisi ULN (miliar $) 110.171 136.088 130.652 128.736 136.64
Posisi Cadangan Devisa (miliar $) 19.215 21.418 34.724 42.586 56.920
Sumber: Bank Indonesia, 2008

Evaluasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Kebijakan ekonomi yang saat ini diemban pemerintah dihadapkan pada tantangan yang cukup berat di tengah tingginya harga minyak, inflasi harga komoditas serta penurunan kinerja ekonomi global. Di sisi fiskal, tantangan terberatnya adalah menjaga kekuatan posisi anggaran karena tingginya subsidi pemerintah atas harga minyak. Selanjutnya di sisi moneter, pemerintah akan menghadapi tantangan tingginya inflasi yang dapat meningkatkan tendensi implementasi kebijakan moneter yang kontraktif dengan peningkatan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Hal ini tentu saja akan banyak mendistorsi iklim investasi domestik yang diharapkan tumbuh untuk menciptakan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Secara umum implementasi kebijakan fiskal saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup berat akibat tingginya harga minyak dunia dan harga pangan. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengancam sustainability dari strategi defisit fiskal pemerintah karena tingginya subsidi yang harus ditanggung. Di sisi lain, tingginya subsidi yang harus ditanggung ini secara tidak langsung akan menggeser prioritas-prioritas pembangunan lain yang secara jangka panjang penting bagi proses pembangunan. Sebagai contoh program-program prioritas untuk pengentasan kemiskinan seperti program penguatan masyarakat (community empowerment program) dan program-program yang berkaitan, seperti: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, tentu akan semakin berkurang proporsinya jika pemerintah tetap mempertahankan harga minyak domestik di tengah-tengah tingginya harga minyak dunia. Secara statistik, defisit fiskal yang dialami oleh pemerintah telah meningkat dari 0,5% terhadap PDB di tahun 2005 menjadi 1,2% di tahun 2007. Defisit fiskal tentu akan semakin melebar ditengah tingginya subsidi akan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang diberikan pemerintah sebagai bentuk kompensasi atas administrated policy (kebijakan harga) atas harga Bahan Bakar Minyak.
Defisit fiskal saat ini ditutupi oleh pemerintah dengan melakukan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, efisiensi belanja negara, mengeluarkan obligasi pemerintah serta pinjaman dengan development partner. Namun pinjaman ini tidak meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia, karena didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa posisi ULN terhadap PDB (ULN/PDB) terus mengalami perbaikkan seperti yang digambarkan penurunannya dari tahun 2005-2007, dari 45,3 poin mencapai angka 31,2. Kemampuan membayar ULN juga didukung dengan akumulasi cadangan devisa yang makin meningkat. Hal ini ditandai dengan proporsi cadangan devisa terhadap posisi ULN yang terus meningkat trennya.
Berbagai upaya teleh disinergikan untuk menjaga stabilitas makro yang merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan yang berkesinambungan dan berkualitas. Selain itu pemerintah juga telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran serta kemiskinan melalui pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Program-program yang dilakukan antara lain, mencakup: (i) perbaikan iklim investasi; (ii) reformasi sektor keuangan; (iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan (iv) pemberdayaan UMKM.
Di sisi kebijakan fiskal, support pemerintah dipusatkan pada upaya stimulus dalam bidang perpajakan, pengeluaran rutin serta belanja modal yang didorong agar dapat meningkatkan infrastruktur dasar sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, terkait dengan program pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas, stimulus dilakukan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah.
Di sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) secara konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai stabilitas harga melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Meskipun perlu dipahami bahwa pencapaian tingkat inflasi yang rendah di era inflasi global yang tinggi (tren harga minyak dan harga komoditas yang tinggi) adalah tantangan yang besar bagi Bank Indonesia. Bahkan kebijakan moneter untuk meredam inflasi dapat berefek pada terjadinya output loss dalam perekonomian. Dalam konteks pencapaian target inflasi yang diharapkan, unsur ekspektasi masyarakat secara empiris memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk inflasi di masa depan, selain penciptaan kredibilitas Bank Indonesia yang transparan dan akuntabel. Dalam mencari solusi peningkatan akuntabilitas melalui optimalitas pencapaian target ITF, bank sentral diharuskan meningkatkan upaya komunikasi yang efektif pada masyarakat. Stevens (2007) dalam buletin RBA (Reserve Bank of Australia) menjelaskan bagaimana peran yang efektif dalam komunikasi akan dapat membantu bank sentral mencapai target IT yang diinginkan, atau paling tidak dapat membantu menjinakkan stabilitas ekonomi secara umum.
Secara umum ada dua alasan mengapa komunikasi pada publik ini menjadi sangat penting bagi Bank Sentral. Pertama, komunikasi yang rutin pada publik merupakan salah satu bentuk tanggung jawab publik sebuah otoritas moneter di era masyarakat yang semakin demokratis. Hal ini menjadi sangat penting karena tugas utama bank sentral sangat erat berkaitan dalam mendukung penciptaan kondisi makroekonomi yang kuat, mendorong penciptaan tingkat tenaga kerja penuh full employment dan menjamin stabilitas sistem keuangan dan pembayaran. Kembali pada konteks awal, tentu beberapa tujuan di atas bukanlah amanat yang mutlak harus diemban oleh Bank sentral karena sejatinya target stabilitas harga (atau IT) yang hanya dapat diemban bank sentral secara optimal.
Kedua, komunikasi yang efektif sangat bermanfaat dalam mendukung efektivitas kebijakan moneter dalam perekonomian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya instrumen moneter yang populer digunakan untuk memengaruhi inflasi, yaitu cash rate hanya memiliki efek yang kecil dan panjang dalam memengaruhi inflasi. Oleh karena itu, kebutuhan efektivitas komunikasi publik diharapkan dapat menciptakan kondisi ekspektasi masyarakat yang positif, yang secara nyata dapat memengaruhi kondisi ekonomi secara umum karena perubahan perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat itu sendiri.
Komunikasi yang efektif secara umum dapat meyakinkan persepsi masyarakat, khususnya terhadap upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh bank sentral dalam menghadapi shock dalam perekeonomian. Jika masyarakat percaya terhadap apa yang dilakukan bank sentral untuk memengaruhi ekonomi, maka stabilitas dalam perekonomian akan mudah untuk diciptakan. Hal ini tentu harus didukung oleh komunikasi yang efektif yang berisi tentang pengertian yang jelas atas tujuan-tujuan (objectives) serta framework kebijakan moneter bank sentral untuk dapat menyelesaikan tekanan-tekanan yang dapat mengancam stabilitas harga. Pendeknya, dua hal inilah (objectives dan framework yang jelas dari bank sentral) yang dapat membantu memberikan pengetahuan yang baik pada masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengarahkan persepsi dan ekspektasi masyarakat agar dapat membantu berkontribusi pada upaya stabilitas makroekonomi (Satria, 2007)
Selanjutnya untuk kebijakan yang lain, pemerintah saat ini telah merampungkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk memperbaiki iklim investasi domestik dan kualitas pelayanan publik. Pada Bulan juli 2008, ada empat area kebijakan yang diprioritaskan secara bersama-sama, antara lain investasi, infrastruktur, sektor keuangan, dan UKMK. Bahkan ditargetkan pada bulan tersebut sudah ada 165 kebijakan yang selesai. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan dapat mengisi pembangunan ekonomi Indonesia untuk dapat berkembang secara lebih sehat dan memiliki daya kompetisi yang tinggi.

3. MASALAH MIKROSTRUKTURAL PENGHAMBAT AKSELERASI EKONOMI INDONESIA
Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa performa ekonomi Indonesia, khususnya kontribusi sektor industri, investasi, dan ekspor yang seharusnya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Dalam konteks ini, kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengakumulasi modal dan meningkatkan produktivitasnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah. Selain itu, akselerasi ekonomi Indonesia juga belum menunjukkan tingkat daya saing yang membanggakan jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang secara signifikan meningkatkan peringkat daya saingnya beberapa tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa tingkat daya saing Indonesia di bidang Ekonomi meski menunjukkan tren yang membaik, yakni ditandai dengan tren peringkat daya saing yang membaik dari 69 di tahun 2005 menjadi peringkat 54 di tahun 2007, serta tren beberapa indikator investasi (Doing Business) yang membaik dari tahun 2006 ke 2007, namun secara umum peringkatnya masih jauh di bawah beberapa negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.
Tabel 7: Peringkat Daya Saing Oleh WEF
NEGARA PERINGKAT
2005 2006 2007
Indonesia 69 54 54
Singapura 5 8 7
Malaysia 25 19 21
Thailand 33 28 28
Filipina 73 75 71
Vietnam 74 64 68
Kamboja 111 106 110
Timor Leste 113 120 127
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007

Rendahnya peringkat daya saing Indonesia disebabkan oleh berbagai permasalahan yang kompleks menyangkut kondisi infrastruktur, institusi dan pendidikan dasar. Dalam survei World Economic Forum (WEF) tahun 2007 tersebut dijelaskan bahwa faktor utama yang menghambat bisnis di Indonesia adalah infrastruktur yang buruk dan inefisiensi dalam institusi publik atau birokrasi. Kualitas institusi di Indonesia juga dinilai rendah berdasarkan hasil survei Transparency International mengenai persepsi korupsi yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 134 terkorup di dunia (dari 163 negara). Sementara itu, menurut hasil survei Bank Dunia, ditemukan sejumlah hambatan dalam proses memulai usaha di Indonesia, yang mencakup jumlah prosedur serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha. Secara rinci, komponen-komponen dalam peringkat daya saing Indonesia dapat nampak dalam Tabel 8.

Tabel 8: Komponen Daya Saing Indonesia
KETERANGAN 2006 2007
Overall index 54 54
Basic Requirements 75 82
Institutions 60 63
Infrastructures 78 91
Macroeconomic Stability 73 89
Health and primary education 93 78
Efficiency enhancers 44 37
Higher education and trainning 70 65
Goods market and efficincy 33 23
Labour market efficiency 51 31
Financial market sophistication 58 50
Technologies readiness 75 75
Market size 15 15
Innovation and sophistication factors 41 34
Business sophistication 41 33
Innovation 39 41
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007

Selanjutnya berkaitan dengan indikator doing business atau kemudahan berinvestasi di Indonesia dijelaskan bahwa Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam dua indikator, yaitu memulai bisnis dan perlindungan investor. Selanjutnya indikator-indikator lain mengalami perbaikkan, meski peringkatnya masih di bawah beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Thailand dan Singapura (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa reformasi struktural terhadap kelembagaan yang mendukung investasi masih belum seoptimal perubahan yang terjadi di negara-negara tetangga.

Tabel 9: Indikator Doing Business 2008
NEGARA KEMUDAHAN MELAKUKAN BISNIS MEMULAI BISNIS PERIZINAN KETENAGA KERJAAN PERLINDUNGAN INVESTOR KEPATUHAN KONTRAK MENUTUP BISBIS

2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007
Indonesia 133 123 163 168 117 99 154 153 49 51 142 141 137 136
Malaysia 21 24 74 74 102 105 43 43 4 4 14 63 53 54
Vietnam 94 91 90 97 62 63 82 84 175 165 41 40 119 121
Thailand 17 15 27 36 11 12 49 49 32 33 26 26 41 44
Filipina 130 133 135 144 75 77 122 122 141 141 113 113 147 147
Singapura 1 1 11 9 5 5 1 1 2 2 5 4 0.8 2
Sumber: Doing Business, 2008

Rendahnya akumulasi modal dan rendahnya produktivitas dalam perekonomian secara umum juga telah menyebabkan kekakuan di sisi penawaran atau supply rigidities. Permasalahan dalam supply rigidities ini diperparah oleh permasalahan kelembagaan (micro risk) seperti permasalahan korupsi, birokrasi, perizinan, regulasi tenaga kerja, ekonomi biaya tinggi, dan distorsi pasar yang menjadi kendala utama bagi pertumbuhan investasi di Indonesia. Dalam konteks ini, maka reformasi struktural guna memperbaiki iklim investasi termasuk merancang atau merevisi undang-undang di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, kepabeanan, dan lain-lain menjadi penting untuk dilakukkan. Namun perlu diakui bahwa hasilnya masih belum sesuai harapan, bahkan beberapa agenda penting seperti revisi UU Ketenagakerjaan masih belum rampung. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa implementasi reformasi struktural sering dihadapkan pada faktor kerumitan administratif dan masalah politik yang tinggi.
Secara umum dalam upaya memperbaiki kondisi mikrostruktural untuk mendukung investasi, produktivitas, dan daya saing ekonomi diperlukan suatu kebijakan yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam kelembagaan maupun kebijakan yang kondusif. Hal ini menyangkut bagaimana kinerja birokrasi yang efisien mampu secara efektif melayani masyarakat dan bisnis. Selain itu, juga diperlukkan koordinasi, komitmen, serta kesatuan pandang antar departemen/institusi dalam pemerintah untuk mempercepat implementasi reformasi ekonomi.

4. PEREKONOMIAN GLOBAL DAN EKSISTENSI INDONESIA : TANTANGAN KE DEPAN
Secara umum ada tiga hal penting berkaitan dengan tantangan ke depan yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Pertama, berkaitan dengan kompleksnya tekanan eksternal. Kedua, berkaitan dengan tantangan untuk meningkatkan performa produktivitas investasi dan perdagangan. Ketiga, berkaitan dengan kebijakan strategis ekonomi.

Kompleksitas tekanan eksternal
Perekonomian Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup berat dari eksternal berkaitan dengan resesi ekonomi global, tingginya harga minyak dan harga komoditas serta financial turnmoil dari aliran modal jangka pendek. Penurunan kinerja global dapat dilihat dari menurunnya performa negara-negara industri besar dunia, seperti: Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Zona Eropa, yang mengalami penurunan PDB yang cukup signifikan. Sebagai contoh, AS yang mengalami penurunan PDB hingga 2,2 persen di tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ekonomi AS ini diprediksi oleh ADO (2008) menurun hingga 1,5 persen di tahun 2008. Berbagai upaya telah dilakukkan oleh The Fed, Bank Sentral AS, dengan menurun suku bunga The Fed, namun tekanan defisit dalam transaksi berjalan dan fiskal masih belum bisa di tingkatkan ke posisi yang lebih aman (Tabel 10).
Tabel 10: Asian Development Outlook (ADO) 2008
GDP Growth 2006 2007 2008 (ADO 2008 Projection) 2009 (ADO 2008 Projection)
Industrial economies (G3: Japan, US and Eurozone) 2.7 2.3 1.5 1.9
US 2.9 2.2 1.5 2.0
Eurozone 2.7 2.6 1.6 2.0
Japan 2.4 2.1 1.5 1.5
Memorandum items
US Federal funds rate (average %) 5.0 5.0 2.75 2.9
Non-fuel commodity prices 24.5 15.7 0.2 -5.7
CPI Inflation (OECD, Average) 2.6 2.5 2.7 2.4
World trade volume 10.1 7.5 7.0 7.7
Keterangan: *) Angka proyeksi ADO
Sumber: ADB, 2008

Perekonomian dunia saat ini sedang mengalami penurunan kinerja. Asian Development Outlook 2008 memproyeksikkan bahwa negara-negara G3 (Jepang, AS, dan Eropa) hanya akan mencapai pertumbuhan output tidak lebih dari 1,6% di tahun ini. Keadaan ini tentu saja akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap permintaan ekspor barang-barang domestik yang juga akan menurun. Jika ini yang terjadi, maka bisa diprediksikan surplus transaksi berjalan Indonesia akan menurun, sehingga berdampak pada pendapatan nasional yang juga akan menurun. Di tengah-tengah menurunnya kinerja perekonomian global dan tentunya permintaan global, anomali terjadi dalam harga-harga komoditas dan harga minyak, di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikkan harga yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Bahkan harga minyak dunia diprogoniskan pada akhir tahun 2008 menembus angka US$ 150 perbarel.
Bagi Indonesia kenaikkan harga minyak dunia tentu saja akan semakin menyulitkan posisi keuangan/anggaran pemerintah, karena saat ini indonesia bukanlah negara surplus minyak. Di sisi lain, kenaikkan harga minyak domestik dan juga bahan pangan secara umum, akan menyebabkan tingginya inflasi domestik. Keadaan ini dalam jangka panjang tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas domestik yang semakin menurun.
Di sisi lain, tingginya aliran modal asing jangka pendek (portofolio investment) yang sebagian besar masuk di pasar-pasar keuangan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jika tidak diregulasi dengan baik, dalam jangka panjang juga pasti akan menjadi sumber instabilitas atau ancaman terhadap perekonomian domestik. Tingginya aliran modal asing ini tentu didasarkan pada tren penurunan suku bunga The Fed, yang menyebabkan pelarian modal dari aset-aset keuangan AS ke aset-aset keuangan lainnya termasuk dalam aset-aset di pasar komoditas dan pasar keuangan negara-negara berkembang.
Dalam menghadapi tekanan eksternal yang sangat kompleks dan kuat, tentu Indonesia perlu berbenah diri untuk mengantisipasi tekanan tersebut. Hal ini bisa dilakukkan dengan melakukan kombinasi kebijakan ekonomi guna meredam dampaknya terhadap instabilitas perekonomian domestik. Tentu saja, perlu kebijakan jangka panjang yang terarah guna menyelesaikan permasalahan tersebut.



Peningkatan Daya Saing Ekonomi
Perekonomian Indonesia saat ini masih belum dapat bersaing secara maksimal dalam era perdagangan bebas, di sisi lain pertumbuhan investasi domestik juga masih belum maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perlunya penguatan investasi dan daya saing perdagangan internasional yang tinggi ditujukan untuk semakin memperkuat eksistensi perekonomian domestik bersaing di pasar global. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Indonesia hanya menjadi pusat eksploitasi keuntungan dari masuknya produk-produk asing ke pasar domestik.
Dalam mendorong pembangunan ekonomi yang lebih kuat dalam jangka panjang, pemerintah perlu mempersiapkan kelembagaan (aturan main) dan kondisi investasi yang kondusif bagi masuknya Penanaman Modal Langsung atau FDI (Foreign Direct Investment). Pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi secara umum telah diinventarisir dan diteliti oleh berbagai peneliti dunia. Harrod-Domar (1948), misalnya, menjelaskan bahwa investasi sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi karena investasi akan meningkatkan stok barang modal yang memungkinkan dapat mendorong output. Selanjutnya Borensztein dan kawan-kawan (1998), melakukan studi empiris dalam mengestimasi dampak FDI (Foreign Direct Investment) terhadap pertumbuhan ekonomi 69 negara berkembang selama periode 1970-1989. Hasil penelitian menunjukan bahwa FDI berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikutnya, Kojima (1978) melihat FDI dari sisi makroekonomi. Menurut Kojima, FDI bersifat komplemen dan mendukung pembangunan ekonomi dan negara penerima FDI. Investasi asing langsung dapat ditujukan untuk mempromosikan diversifikasi, memperbaiki struktur industri, dan mewujudkan kesejahteraan mutual antara negara investor dan negara penerima. Oleh karena itu, investasi sebagai kebutuhan bahan bakar dasar untuk percepatan pertumbuhan ekonomi harus segera dapat direalisasikan.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa Indonesia perlu untuk berusaha menarik FDI (Foreign Direct Investment) di wilayah ini, antara lain:
1. FDI diharapkan dapat menutup kekurangan modal domestik.
2. FDI diharapkan adanya technology transfer dan transfer of knowledge dari perusahaan asing ke domestik.
3. Adanya FDI diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi masalah pengangguran.
4. FDI diharapkan dapat meningkatkan devisa negara melalui peningkatan dalam ekspor.
Namun demikian banyak kritik dan kontra terhadap FDI, antara lain:
1. Dampak kegiatan perusahaan asing cenderung tidak merata dan mempertajam kesenjangan pendapatan.
2. Dalam jangka panjang FDI dapat mengurangi penerimaan devisa baik pada neraca berjalan maupun pada neraca lalu lintas modal. Memburuknya neraca berjalan dikarenakan impor barang modal dan barang setengah jadi yang dilakukan oleh perusahaan asing. Sedangkan memburuknya neraca lalu lintas modal dikarenakan adanya transfer keuntungan, pembayaran bunga dan royalti, pembayaran lisensi, serta management fee.
3. Alih teknologi dan manajemen dalam kenyataannya seringkali tidak terjadi
4. Perusahaan-perusahaan asing seringkali dapat mematikan perusahaan-perusahaan domestik
5. Perusahaan asing sering menarik keuntungan yang besar dan mereka sendiri sedikit menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya
6. Perusahaan-perusahaan asing seringkali menghasilkan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh rakyat banyak
7. Keringanan pajak dan kemudahan lain yang sering ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan asing sering berlebihan. Padahal fasilitas yang sama tidak diberikan kepada perusahaan domestik
8. Perusahaan asing seringkali mempertajam kesenjangan pembangunan desa dan kota karena perusahaan asing umumnya berlokasi di perkotaan. Hal ini menimbulkan efek terhadap arus urbanisasi.









Bagan 1: Domestic Absorptive Capacity Both Conditions And Attracts External Flows














Sumber: Worldbank, 2008

Oleh karena itu, untuk dapat mendapatkan manfaat yang besar dari masuknya investasi langsung dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pemerintah sebagai regulator harus dapat sebisa mungkin memberikan fasilitas dan dukungan pada proses-proses transfer knowledge dan transfer technology. Selain itu, pemerintah juga diharapkan secara konsisten untuk dapat mempayungi sisi kelembagaan dan pengaturan investasi yang masuk ke Indonesia agar dapat mendukung efisiensi performa bisnis FDI. Bagan 1 menunjukkan bahwa transfer of knowledge dari adanya Penanaman Modal Asing atau FDI terhadap kemampuan menyerap teknologi di domestik sangat memerlukan dukungan pemerintah dalam proses tersebut. Selain itu, tugas pemerintah juga menjadi penting dalam konteks menciptakan kondisi investasi yang kondusif, pengembangan infrastruktur serta penguatan kompetensi yang kuat. Hal ini dilakukkan sebagai bagian pengembangan human capital dan produktivitas ekonomi dalam penerapan teknologi tinggi dan tepat guna.
Selain pentingnya daya saing ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas investasi dalam perekonomian, peningkatan daya saing ekonomi juga harus ditunjukkan dengan semakin kompetitifnya produk-produk lokal dalam bersaing di pasar global. Hal ini tentu harus dilakukkan dengan berbagai upaya dengan semakin meningkatkan efisiensi ekonomi yang dapat menciptakan biaya ekonomi yang rendah (low cost economy), juga harus diupayakan peningkatan inovasi produk-produk lokal yang diminati di pasar global. Dalam konteks ini maka upaya-upaya untuk melakukkan perbaikkan dalam sisi produksi, penguatan industri, kebijakan perdagangan internasional, standarisasi produk (international standard) serta promosi produk-produk lokal di pasar global menjadi penting untuk dilakukkan secara konsisten.

Kebijakan strategis ekonomi ke depan
Pembangunan ekonomi Indonesia yang kuat dan berkelanjutan tentu membutuhkan kombinasi kebijakan ekonomi yang strategis. Hal ini diupayakan guna merealisasikan tujuan dasar pembangunan yaitu mencipatakan kesejahteraan masyarakat (welfare). Pertama, dibutuhkan kebijakan makro yang tepat menyangkut dukungan sisi fiskal dan moneter. Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu dukungan ekspansi fiskal bagi proyek-proyek pembangunan (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, keamanan) sangat dibutuhkan. Namun beban fiskal akibat tingginya subsidi energi (minyak) masih menjadi permasalahan yang pelik untuk diselesaikan.
Permasalahan energi dan tingginya harga pangan dunia saat ini setidaknya memberikkan dua permasalah bagi perekonomian, yaitu tekanan inflasi dan beban fiskal yang makin besar. Bagi pemerintah, pengorbanan alokasi subsidi untuk peningkatkan proyek pembangunan tentu juga bukanlah pilihan yang mudah karena kebijakan ini syarat dengan muatan politis yang tinggi dan dapat mengganggu instabilitas sosial ekonomi domestik. Di sisi lain, pilihan kebijakan moneter dengan tight monetery policy atau kebijakan uang ketat untuk menahan laju inflasi tentunya juga akan berdampak pada tingginya output loss. Hal ini disebabkan karena kebijakan moneter tersebut ditengarai dapat mendorong peningkatan suku bunga yang dapat mengurangi insentif investasi.
Oleh karena itu, koordinasi fiskal-moneter tentu wajib untuk dilakukan guna mencapai stabilitas makroekoomi yang mendukung aktivitas bisnis dan perekonomian. Dalam konteks ini, pencapaian inflasi yang terkendali dan suku bunga yang rendah dapat menjadi acuan bagi pencapaian tugas tersebut. Di sisi moneter, pencapaian stabilitas harga dapat dilakukkan dengan lebih efektif melalui pengawasan dan identifikasi inflasi yang tepat. Hal ini tentunya juga membutuhkan dukungan lintas departemen dan intansi, selain kebutuhan atas perangkat lunak yang canggih. Di sisi lain, penguatan kredibilitas Bank Indonesia juga sangat strategis dalam mencapai pengendalian inflasi melalui perbaikkan dalam komunikasi yang efektif, akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, diperlukkan dukungan sistem keuangan dan perbankan yang sehat. Sistem keuangan dan perbankan yang sehat merupakan prasyarat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, sistem keuangan memiliki peran yang strategis dalam mendistribusikan dana masyarakat secara efektf dan efisien. Namun tentunya pengembangan sistem keuangan dan perbankan yang sangat maju harus disikapi dengan hati-hati karena keadaan ini dapat berdampak pada tingginya resiko instabilitas keuangan yang dapat menganggu perekonomian secara luas. Sistem keuangan dan perbankan Indonesia telah banyak mengalami perjalanan panjang untuk mempelajari pentingnya kekuatan sistem keuangan dan perbankan. Dimulai dari deregulasi keuangan yang menciptakan kerentanan pada krisis hingga terjebaknya perekonomian domestik akibat tingginya utang luar negeri sektor bisnis dan pemerintah. Hal-hal tersebut tentu jangan sampai berulang dan menciptakan kerugian yang sama bagi perekonomian domestik, oleh karena itu pengawasan yang ketat (heavy regulated) atas aktivitas-aktivitas keuangan yang destruktif (spekulasi), peningkatan ekspansi kredit investasi yang tinggi serta pengaturan struktur pasar keuangan yang sehat menjadi penting untuk dilakukkan demi pencapainya stabilitas keuangan yang kuat.
Ketiga, institutional policy dalam konteks pengaturan investasi dan perdagangan internasional perlu untuk dikaji kembali guna meningkatkan daya saing domestik dalam era global. Seperti yang telah diungkapkan pada uraian sebelumnya bahwa permasalahan mikrostruktural yang menyangkut inefisiensi sektor birokrasi dan kontraproduktif kebijakan-kebijakan investasi dan perdagangan internasional harus dapat diselesaikan dengan serius. Hal ini menjadi sangat penting di tengah-tengah ketertinggalan ekonomi Indonesia dalam perdagangan internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga yang 20 tahun sebelumnya setara dengan Indonesia.
Di sektor investasi, baik penanaman modal domestik maupun asing harus dapat secara berkelanjutan meningkat nilainya dari tahun ke tahun. Dalam konteks ini, pemerintah harus secara jeli mengidentifikasi kebutuhan dasar investasi tersebut berdasarkan karakteristik bisnisnya. Sebagai contoh, jika karakteristik FDI atau investasi cenderung untuk melakukan eksplorasi dibidang Sumber Daya Alam (SDA) [contohnya, eksplorasi minyak dan tambang], maka support pemerintah harus ditujukkan untuk melakukkan promosi atau sosialisasi kondisi SDA di Indonesia. Selanjutnya dukungan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan infrastruktur yang baik dan faktor-faktor produksi yang penting (SDM) semaksimal mungkin harus dapat direalisasikan.

Tabel 11: Hubungan FDI dengan Prioritas Kebijakan

Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)

Namun, prioritas support pemerintah akan berbeda dengan FDI yang memiliki karakteristik mencari tempat investasi berdasarkan efisiensinya. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menyediakan faktor-faktor produksi yang berkualitas dengan biaya produksi yang kompetitif akan menjadi prioritas utama yang harus dilakukkan. Selanjutnya support pemerintah untuk meningkatkan investasi atau FDI jenis harus didukung dengan kebijakan perdagangan yang strategis, serta dukungan sektor-sektor lain yang berkaitan (misalnya sektor jasa dan telekomunikasi). Secara umum perbedaan karakteristik FDI atau investasi, berkaitan dengan prioritas kebijakan yang relevan dirangkum dalam Tabel 11.
Selanjutnya untuk kebijakan–kebijakan yang sifatnya umum, antara lain dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Overall policy framework dan Business facilitation. Dalam poin yang pertama kebutuhan akan penciptaan stabilitas ekonomi dan politik sangat penting untuk dilakukkan. Selanjutnya payung hukum dan penegakannya yang diperlukkan untuk mengatur lisensi usaha dan operasional bisnis juga harus diatur dengan baik. Yang terakhir, kebijakan dalam privatisasi dan kerjasama yang sifatnya multi-bilateral juga penting untuk dipromosikan oleh pemerintah.
Dalam konteks fasilitasi bisnis, beberapa kebijakan seperti efisiensi prosedur administrasi, promosi FDI (fasilitasi jasa), dan insentif FDI seperi subsidi; merupakan inovasi kebijakan yang dapat dike depankan oleh pemerintah untuk bisa meningkatkan investasi langsung di Indonesia.

Tabel 12. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment)

Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)

Dalam konteks menghadapi era perdagangan global yang ramai dengan persaingan, Indonesia harus mampu melihat permasalahan globalisasi dengan lebih jeli karena perdagangan internasional sendiri tanpa support pemerintah yang kuat, tidak akan mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan. Sehingga perlu ada upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penindakan korupsi, pengaturan kompetisi dalam dunia usaha, penjagaan market access serta pembangunan infrastruktur. Untuk dapat mengambil kesempatan dalam perdagangan internasional, ada beberapa strategi yang penting untuk dapat mendukung perekonomian domestik agar dapat bersaing di pasar internasional.
Pertama, negara berkembang membutuhkan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang mapan. Kedua, negara berkembang membutuhkan modern custom facility. Ketiga, negara berkembang membutuhkan suatu infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor, sehingga standar dan kualitas produk dalam negeri dapat terjaga dengan sempurna. Keempat, negara berkembang membutuhkan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kelima, negara berkembang membutuhkan tenaga ahli yang concern dalam masalah perdagangan internasional. Tenaga ahli ini juga menyangkut ahli yang berkaitan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional (Stiglitz, 2006)
Terakhir, diperlukkan penguatan kelembagaan (aturan main) pemerintah untuk menciptakan institusi ini lebih sehat dalam konteks efisiensi dan efektivitas perannya sebagai regulator. Dukungan pemerintah menjadi sangat strategis dalam mendukung penguatan ekonomi lokal dan daya saing bangsa, yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia.

CATATAN AKHIR
Dalam menghadapi ketatnya persaingan dalam perdagangan global, kompleksnya tekanan eksternal (seperti ancaman resesi global, tingginya harga minyak, dan harga pangan) serta masih minimnya capaian pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan (pengurangan tingkat kemiskinan, permasalahan lingkungan, dan masih tingginya kesenjangan distribusi pendapatan) maka diperlukan kombinasi kebijakan ekonomi yang integral menyangkut perbaikan dalam macro policy¸ kebijakan strategis dalam investasi dan perdagangan internasional, kebijakan perbankan bagi pengembangan sektor keuangan yang lebih kuat, kebijakan dibidang sosial (pendidikan dan kesehatan) serta perbaikan efisiensi kinerja pemerintah.
Tren penurunan kinerja Investasi dan daya saing domestik merupakan agenda utama yang harus diperbaiki guna mencapai pembangunan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, karena dari dua sektor inilah (Investasi dan Perdagangan Internasional) seharusnya perekonomian domestik disokong bukan dari tingginya sektor konsumsi masyarakat seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam konteks ini tentu pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat memiliki peran yang stretegis dalam mendukung tujuan-tujuan pembangunan.
Bagi pemerintah, penguatan sektor invetasi dan perdagangan internasional dapat dilakukkan dengan penguatan sisi kelembagaan menyangkut dalam penegakkan hukum (law enforcement), penciptaan kondisi investasi yang kondusif melalui birokrasi yang efisien dan bersih, pengenaan pajak yang tepat serta pengaturan kompetisi yang sehat. Di sisi lain, support dibidang infrastruktur juga menjadi kebutuhan yang mendasar bagi pengembangan investasi domestik dan investasi asing yang masuk untuk meningkatkan performa efisiensi bisnisnya. Dalam konteks ini, pentingnya investasi asing langsung atau FDI bagi perekonomian domestik selain untuk mengisi gap kurangnya modal domestik juga diharapkan dapat memberikkan kontribusi yang penting khususnya dalam transfer of knowledge maupun transfer of technology.
Selajutnya, era perdagangan global baik di tingkat multilateral maupun bilateral tentu juga membutuhkan support pemerintah untuk mengembangkan efisiensi serta market network produk-produk lokal di pasar global, hal ini dilakukkan agar daya saing ekonomi bangsa dapat meningkat secara signifikan. Dengan upaya-upaya strategis inilah diharapkan pembangunan ekonomi nasional dapat bersaing secara lebih baik guna menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, serta mampu secara kuat menahan tingginya tekanan eksternal yang dapat menganggu instabilitas makroekonomi domestik..
Stabilitas makroekonomi dan keuangan yang mantap tentu sangat dibutuhkan dalam penciptaan kondisi ekonomi yang kondusif bagi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun kedua hal tersebut akan semakin bermanfaat jika didukung dengan perbaikkan mikrostruktural indonesia yang mencakup efisiensi birokrasi pemerintah, daya saing ekonomi serta struktur pasar yang kuat. Hal ini menjadi penting dalam upaya menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA
Mishkin, F. S. 2000. "Inflation Targeting in Emerging Market Countries." NBER Working Paper Working Paper 7618(JEL No.E5).
Nunnenkamp, P. 2002, Foreign Direct Investment in Developing Countries: What Economists (Don’t) Know and What Policymakers Should (Not) Do!, CUTS Centre for International Trade, Economics & Environment, Jaipur, India
Sachs, J. 2005. The End of Poverty. London, Penguin.
Satria, D. 2008. Keuangan Internasional : Explaining the Financial Crisis. Bayu Media, Malang.
Stevens, G. 2007. "Central Bank Communication." RBA Bulletin December 2007.
Stevens, G. 2007. “The Asian Crisis : a Restrospective” RBA Bulletin July 2007.
Stiglitz, J. 2006. Making Globalization Work. Australia, Penguin.
Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and Its Discontents. London: W.W. Norton & Company, Inc.
----------, 2008, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, Bank Indonesia, Jakarta
----------, 2008, Asian Development Outlook 2008, Asian Development Bank, Metro Manila, Philipines.
----------, 2008, Doing business 2008, A Copublication of The World Bank and The International Finance Corporation, Washington D.C
----------, 2008, Global Economic Prospects: Technology Diffusion in the Developing World 2008. Worldbank, Washinton D.C

LUMPUHNYA FUNGSI VITAL PERBANKAN

LUMPUHNYA FUNGSI VITAL PERBANKAN:
BUMERANG KEMAJUAN TEKNOLOGI DAN GLOBALISASI KEUANGAN

Oleh: Dias Satria

Abstraksi

Sektor perbankan saat ini sedang mengalami pergeseran fungsi vitalnya sebagai lembaga intermediasi, yang seharusnya mampu secara efektif dan efisien mengalokasikan sumber dananya pada masyarakat. Pergeseran fungsi vital perbankan, dari aktivitas yang “tradisional” ke aktivitas yang “non tradisional” (fee based income, transaksi derivatif-off balance sheet dll) disebabkan oleh berbagai permasalahan yang kompleks menyangkut sisi kelembagaan, regulasi, teknologi maupun eksternal (globalisasi). Dalam paper ini akan dibahas secara komprehensif ancaman globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi yang bersifat “Jeorpadized” terhadap peran vital perbankan, dan instabilitas keuangan. Analisis yang dilakukkan sebatas survey literature, yang diharapkan dapat menjadi jembatan bagi penelitian-penelitian yang spesifik bagi kebutuhan supervisi dan regulasi perbankan. Dalam tulisan ini akan dipaparkan implikasi kebijakan yang relevan dengan perbaikkan fungsi vital perbankan, yang pengaruhnya dapat diharapkan bagi stabilitas keuangan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kata kunci: Intermediasi, Transaksi derifatif, off balance sheet, teknologi, globalisasi dan regulasi perbankan (JEL G18)

I. Latar Belakang

Sektor perbankan merupakan sektor vital dalam perekonomian yang berfungsi melakukkan fungsi intermediasi keuangan, serta menjamin sistem pembayaran yang mendukung dalam proses pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, sektor perbankan memiliki peran yang strategis dalam mengurangi biaya transaksi (transaction cost), melakukkan pembagian resiko (risk sharing) dan mengurangi kemungkinan informasi yang asimetris (asymmetric information). Hal inilah yang diharapkan dari peran vital perbankan, yang mana fungsi intermediasi keuangan bank dalam ekonomi dapat secara optimal dimanfaatkan bagi kebutuhan masyarakat baik oleh surplus unit maupun deficit unit.

Seiring dengan perjalanan waktu, sektor perbankan mengalami transformasi dan perubahan yang mempengaruhi aktivitas bisnis intinya, yang seharusnya menjadi lembaga intermediasi yang berperan aktif mendukung kegiatas bisnis yang produktif dengan memberikkan pinjaman modal kerja ataupun investasi. Atau dengan kata lain, aktivitas perbankan telah mengalami pergeseran dari aktivitas bisnis yang “tradisional” (memberikkan pinjaman modal kerja dan investasi) ke arah aktivitas bisnis yang “non tradisional” (fee based income, dealer transaksi derivatif , dll). Tentu saja keadaan ini dipicu oleh beberapa hal yang kompleks, menyangkut keadaan kompetisi pasar keuangan domestik, regulasi, kelembagaan, globalisasi ekonomi dan keuangan maupun kemajuan teknologi.

Pergeseran fungsi vital perbankan ke arah aktivitas bisnis yang beresiko tinggi tentu akan memberikkan efek yang sangat negatif pada pembangunan ekonomi. Pertama, dengan tingginya aktivitas bisnis perbankan yang beresiko tinggi (transaksi non tradisional “derivatif”, maka ancaman terhadap instabilitas keuangan akan semakin tinggi. Belum lagi, bagaimana instabilitas keuangan mempengaruhi kinerja sektor riil dan makroekonomi suatu negara. Kedua, dengan adanya pergeseran aktivitas bisnis perbankan yang jauh dari fungsinya mensupport dana bagi dunia usaha, maka bisa dipastikkan ekspansi bisnis perusahaan domestik akan sangat terbatas. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa, dan berdampak luas bagi pengangguran dan tingkat kemiskinan. Ketiga, dengan pergeseran fungsi vital perbankan, maka jalur kredit sebagai bagian dari fokus mekanisme kebijakan moneter akan semakin hilang pengaruhnya. Sehingga pada akhirnya efektivitas kebijakan moneter tidak akan optimal mempengaruhi aktivitas ekonomi sektor riil.

Pergeseran fungsi vital perbankan atau lumpuhnya fungsi vital perbankan tentu disebabkan oleh berbagai alasan yang kompleks, salah satunya adalah isu kemajuan teknologi yang berperan “Jeopardized” atau membahayakan bagi pengembangan sektor perbankan. Dengan kata lain, kemajuan teknologi telah menjadi bumerang bagi kemajuan sektor perbankan itu sendiri. Dalam konteks ini, kemunduran pengembangan teknologi bagi perbankan berkaitan dengan implementasi manajemen resiko yang menitik beratkan pada analisis komputer berbasis teknologi informasi, serta kecenderungan untuk melakukkan transaksi keuangan (investasi dalam instrumen keuangan di pasar saham, uang atau transaksi derivatif) yang secara “biaya transaksi” sangat rendah dengan adanya kemajuan teknologi.

Tentu saja kemajuan teknologi juga harus dilihat secara proporsional. Sebagai individu, kita juga tidak akan menafikkan bagaimana kemajuan teknologi telah banyak menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran. Disisi lain, dengan adanya kemajuan teknologi, perbankan juga semakin dimudahkan dalam mendukung operasional kerjanya.

Permasalahan selanjutnya yang menjadi pemicu bergesernya fungsi vital perbankan adalah tingginya arus globalisasi keuangan, yang secara tidak langsung telah mempengaruhi aktivitas bisnis perbankan. Pertama, baik secara langsung maupun tidak langsung, tingginya liberalisasi pasar keuangan telah menciptakan instabilitas pada sistem keuangan yang mempengaruhi aktivitas bisnis perbankan. Kedua, liberalisasi keuangan telah mempengaruhi keputusan bisnis perbankan untuk ikut serta dalam investasi beresiko “derivatif” yang mengiming-imingi return yang tinggi. Keikut sertaan perbankan dalam konteks ini, dapat berfungsi sebagai dealer atau agen penjual dan dapat pula berfungsi sebagai player yang aktif. Hal ini tentu saja membahayakan, karena tingginya resiko aset yang dimiliki sektor perbankan akan meningkatkan keterbukaan resiko (Risk exposure) yang pada akhirnya dapat mengancam instabilitas keuangan karena ancaman kebankrutan atau insolvency.

Dalam melihat permasalahan perbankan yang sangat vital bagi hajat hidup orang banyak, maka diperlukkan antisipasi dini untuk mencegah resiko yang semakin buruk. Mungkin masih lekat diingatan kita, bahwa biaya sosial dan ekonomi akibat krisis perbankan 1997 telah menguras sumberdaya produktif bangsa ini. Dan hal ini tidak boleh berulang, bahwasanya, perbankan tanah air harus sehat dan harus dikembalikkan fungsinya sedemikian rupa untuk mendukung aktivitas bisnis dunia usaha dan sistem pembayaran yang makin efisien. Oleh karena itu, terapi untuk menyehatkan kelumpuhan fungsi vital “intermediasi” perbankan harus dapat dicarikkan solusinya dengan baik. Hal ini jugalah yang menjadi tantangan kedepan Bank Indonesia, dalam meredam eksternalitas negatif kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan bagi perbankan tanah air.

Dalam paper ini secara umum akan dibahas permasalahan disintermediasi perbankan, khususnya dari perspektif kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan. Sehingga rumusan masalah yang dikaji dalam paper ini adalah: “Bagaimana pengaruh kemajuan/inovasi teknologi dan globalisasi keuangan dalam mempengaruhi kinerja intermediasi perbankan?”

Sub-Sub bab yang dibahas dalam paper ini selanjutnya, antara lain: a) Landasan teoritis (literatur review) berkaitan dengan hubungan kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan terhadap proses intermediasi perbankan, b) Metode analisis, c) Analisis dan Pembahasan dan d) Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

II. Landasan Teoritis

Pergeseran fugsi vital perbankan atau “disintermediasi” secara umum dapat diartikan bahwa sektor perbankan telah mengalami pergeseran aktivitas, dari yang sifatnya tradisional (pemberikan kredit atau pinjaman) ke arah aktivitas yang sifatnya non tradisional (fee based income, dealer maupun player dalam transaksi keuangan-derivatif dan off balance sheet, serta transaksi beresiko tinggi lainnya). Hal ini tentu saja akan menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan domestik, dan perekonomian secara umum, karena dengan pergeseran peran sektor perbankan yang makin tidak terkendali akan meningkatkan keterbukaan resiko suatu negara terhadap terjadinya krisis keuangan yang berbiaya tinggi.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sektor perbankan merupakan sektor yang sangat vital dalam sistem keuangan. Sehingga dengan mandulnya peran sektor ini di sektor keuangan, maka pembangunan ekonomi secara umum akan makin terhambat (kemiskinan, pengangguran, serta disparitas pendapatan akan semakin tinggi)

Berdasarkan hasil empiris yang ditemukan oleh Mohanti, Schanabel, Garcia-Luna (BIS Paper No.28), bahwa perkembangan kredit di negara berkembang telah mengalami pergeseran kearah kredit konsumtif dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Selanjutnya dalam penelitianya juga ditemukkan bahwa pertumbuhan aset di negara berkembang juga meningkat dalam pembelian sekuritas pemerintah (obligasi), khususnya untuk membiayai defisit anggaran pemerintah yang cukup besar di negara tersebut.

Keadaan ini tentu saja menimbulkan resiko dan ancaman stabilitas yang semakin meningkat bagi perbankan negara-negara berkembang, khususnya jika negara tersebut mengalami resesi atau kemunduran ekonomi yang menyebabkan pendapatan masyarakatnya menurun. Keadaan tersebut tentu akan semakin meningkatkan tingginya default atau ketidakmampuan membayar para nasabah terhadap kredit konsumsi yang dilakukkannya. Hal ini merupakan pelajaran yang cukup penting, jika kita melihat permasalahan sub prime mortgage atau krisis kepemilikan rumah yang terjadi di US (United States) akhir-akhir ini.

Komposisi kredit bank


Sumber: Mohanti, Schanabel, Garcia-Luna (BIS Paper No.28 hal. 15)


Permasalahan disektor keuangan perbankan saat ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi keuangan, khususnya bagaimana liberalisasi pasar keuangan (pasar modal dan saham) dan inovasi teknologi telah banyak mempengaruhi perilaku dan aktivitas perbankan. Bahkan krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di hampir sebagian negara di dunia , termasuk Indonesia, menunjukkan lemahnya kelembagaan dan regulasi keuangan dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Perdebatan secara akademis tentang bagaimana peran globalisasi keuangan dalam pembangunan sektor keuangan terbagi menjadi dua pandangan yang saling bertentangan. Namun, salah satu scholar yang secara seimbang menjelaskan peran globalisasi keuangan adalah Schumekler (2004) dalam “Financial Globalization: Gain and Pain for Developing Countries.”

Secara ringkas, keuntungan globalisasi keuangan yang umumnya adalah “jangka panjang” bagi negara berkembang antara lain: a) adanya tambahan dana segar baru, b) perbaikkan dalam infrastruktur pasar keuangan dan c) pembangunan dalam sektor keuangan. Dalam konteks ini globalisasi keuangan dianggap dapat memecahkan permasalahan informasi yang asimetris (asymmetric information) dengan pembangunan infrastruktur yang lebih baik, karena globalisasi keuangan mendorong terjadinya transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi di sektor keuangan. Selain itu, dengan pembangunan di sektor keuangan menciptakan peluang diversifikasi aset bagi masyarakat sehingga diharapkan dapat memecahkan masalah pembagian resiko atau risk sharing. Terakhir, disiplin pasar akan semakin meningkat dengan adanya globalisasi keuangan. Pandangan ini merupakan hasil empiris yang dilakukkan oleh Torre and Schumekler (2003); Claesen, Klingebiel and Schumekler (2002); Stulz (1999); Crocket (2002) ; Stiglitz (2000); Kim and Singal (2000) dan Henry (2000)

Namun dalam Schumekler (2004) dijelaskan juga bagaimana globalisasi keuangan telah menciptakan resiko krisis keuangan dan biaya ekonomi yang sangat tinggi. Setidaknya ada empat (4) alasan mengapa hal ini bisa terjadi:

Pertama, dengan meliberalisasi pasar keuangan, maka negara tersebut akan menjadi subyek disiplin pasar yang akan dilakukkan oleh investor domestik maupun luar negri. Kedua, globalisasi keuangan akan menyebabkan krisis keuangan jika terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar keuangan global. Hal inilah yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya bubles economy, herding behaviour, perilaku yang irasional serta serangan spekulasi. Ketiga, krisis keuangan akibat globalisasi keuangan akan menyebabkan suatu negara tergantung pada faktor eksternal. Sebagai contoh, jika Indonesia tergantung pada modal luar negri “jangka pendek” maka keluarnya modal luar negri tersebut secara tiba-tiba akan menyebabkan krisis bagi Indonesia. Terakhir, krisis keuangan akibat globalisasi keuangan akan terjadi karena kemungkinan penularan krisis (contagion) karena semakin terintegrasinya keuangan antar negara. (Schumekler, 2004)

Tingginya ancaman resiko keuangan dan perbankan akibat mismanagement dalam liberalisasi keuangan juga diperkuat oleh pandangan Mishkin (2007) yang berpandangan bahwa liberalisasi keuangan telah mendorong aktivitas perbankan yang cenderung mengambil posisi resiko yang lebih tinggi. Bahkan pertumbuhan kredit mampu mencapai tingkat 15-30% pertahun, atau meningkat dua kali lipat dari pertumbuhan yang normal. Keadaan ini diperparah dengan kurangnya keahlian manajemen bank di negara berkembang dalam mengelola resiko, sehingga menyebabkan keterbukaan resiko yang semakin tinggi di negara-negara berkembang.

Pandangan ini sejalan dengan hasil empiris Mc Kinnon and Pill (1997) yang secara umum menjelaskan kondisi overborrowing atau pinjaman luar negri yang berlebihan, yang menyebabkan mereka terperngkap dalam dua resiko sekaligus (resiko nilai tukar dan resiko kredit).

Permasalahan globalisasi keuangan yang menciptakan efek yang negatif bagi pengembangan sektor keuangan pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya regulasi dan supervisi di sektor keuangan. Hal ini secara umum telah menyebabkan pelaku perbankan untuk tidak membatasi resikonya dan terekspos dalam keterbukaan resiko yang tinggi. Sehingga pada akhirnya, resiko yang dialami oleh beberapa bank menyebabkan efek domino dan krisis yang berkepanjangan bagi pengembangan sektor perbankan itu sendiri, dan sektor-sektor lainnya.

Selanjutnya, permasalahan globalisasi keuangan, dengan hadirnya bank-bank asing di negara-negara berkembang, juga masih menimbulkan pro kontra yang belum menemui titik konsensus. Pandangan yang “pro” terhadap masuknya bank asing di pasar domestik memiliki ide dasar bahwa masuknya bank asing akan memberikkan warna kompetisi yang sehat sehingga dapat menurunkan biaya dana dan menciptakan efisiensi pada pasar keuangan domestik. Secara umum Levine (1996) dan Caprio and Honohan (1999) (dalam Agenor, 2003) menjelaskan keuntungan masuknya bank asing, antara lain:
a) Meningkatkan kualitas dan ketersediaan jasa keuangan dalam pasar domestik.
b) Menstimulasi pengembangan dalam supervisi dan regulasi bank.
c) Meningkatkan aksesibilitas pada pasar keuangan internasional.
d) Memberikkan kontribusi pada stabilitas keuangan.

Hal ini diperkuat oleh pandangan Mishkin (2003) dalam (Schumekler, 2004) yang menjelaskan keuntungan masuknya bank asing, antara lain:
a) Bank asing cenderung less risk karena kemampuannya dalam manajemen resiko, sehingga mendorong terjadinya stabilitas keuangan dalam pasar domestik.
b) Bank asing akan meningkatkan implementasi best practices dalam perbankan domestik.
c) Dengan banyaknya bank asing, maka pemerintah akan mengurangi fungsinya dalam membail out. Hal ini tentu akan menyehatkan sistem perbankan domestik.

Namun, pandangan yang kontra terhadap benefit masuknya bank asing ke pasar domestik diungkapkan oleh Agenor (2003), bahwa secara empiris masuknya bank asing kurang memberikkan akses terhadap kredit mikro dan menengah. Kedua, masuknya bank asing yang cenderung memiliki biaya operasional yang rendah mendesak perbankan tanah air untuk melakukkan merger agar bisa lebih kompetitif. Proses perubahan struktur inilah yang akan menyebabkan permasalahan baru berkaitan dengan “too big too fail” atau “too political too fail”, yang mana stabilitas keuangan akan semakin terancam dengan bankrutnya bank besar di tanah air. Terakhir, bank asing cenderung berperilaku “cut and run” jika terjadi krisis atau permasalahan dalam pasar domestik, sehingga menyebabkan instabilitas bagi sistem keuangan domestik.

Terakhir, seiring dengan tingginya kemajuan globalisasi dalam teknologi memberikkan efek yang kompleks terhadap aktivitas bisnis perbankan. Disatu sisi pengenalan teknologi telah banyak mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi dalam sistem pembayaran, namun disisi lain penggunaan teknologi informasi yang semakin tinggi telah membatasi implementasi manajemen resiko yang terpaku pada analisis komputer, dan mengurangi hubungan personal dengan nasabah. Keadaan inilah yang secara umum dipaparkan oleh Costas Lapavitsas dan Paulo Dos Santos (2007) dalam “Globalization and Contemporary banking: on the impact of new technology.”
III. Metode Analisis

Secara umum metode analisis yang dilakukan dalam penelitian kali ini adalah survey literatur. Survey literatur dilakukan dengan melakukkan dokumentasi dan review yang komprehensif atas publikasi-publikasi yang relevan dengan topik yang dibawakan. Selanjutnya, survey literatur dalam diartikan sebagai aktivitas melakukkan ekstraksi terhadap literatur-literatur serta data pendukung yang relevan untuk menjelaskan isu dalam rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti. Karena keterbatasan yang dilakukkan dalam survey literatur, maka penelitian ini hanya menjadi “penelitian antara” atau jembatan untuk pengembangan secara empiris yang lebih kuat (model ekonometri, statistika dll). Namun tentu saja, pengambilan kesimpulan dan analisis dalam survey literatur tetap mengacu secara akademis dan proporsional terhadap keluaran yang dihasilkan.

Dalam mendukung analisis terhadap pengaruh dua variabel utama, “globalisasi keuangan” dan “kemajuan teknologi”, terhadap instabilitas keuangan domestik seperti yang diilustrasikan pada art chart dibawah ini, penulis melakukkan investigasi terhadap literatur-literatur yang relevan yang berposisi “pro” maupun “kontra” terhadap hipotesis tersebut. Sumber-sumber/data-data penting yang disurvey dalam penelitian antara lain berasal dari: Bank Indonesia (www.bi.go.id), Bank of International Settlement (www.bis.org) dan Bank Dunia (www.worldbank.org). selanjutnya, dalam survey literatur yang dilakukkan, pencarian literatur dan publikasi yang relevan dilakukkan dengan search engine akademis terkemuka, yaitu: google scholar dan science direct.















Gambar 1. Ilustrasi pengaruh globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi terhadap ancaman instabilitas keuangan



IV. Analisis Dan Pembahasan

IV.1 Snap-Shot perbankan Indonesia: Kemajuan atau kemunduran ?

Jika dilihat performa industri perbankan tanah air berdasarkan indikator umum (LDR, NPL, ROA, NII dan DPK), perbankan tanah air telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sebagai contoh, peningkatan jumlah total aset yang terkumpul dari tahun 1999 hingga akhir 2007 mencapai dua kali lipatnya. Kondisi aset yang meningkat tentu tidak terlepas dari dukungan liabilities yang bersumber dari dana masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) serta sumber dana lain yang tersedia. Hal ini tentu merupakan gambaran bahwa sektor perbankan tengah melewati proses recovery dengan semakin meningkatnya trust masyarakat untuk menyimpan dananya pada sektor ini. Dibawah ini merupakan indikator kinerja perbankan tanah air yang secara umum telah menunjukkan perkembangan yang positif sejak 1999.

Tabel 1. Indikator Kinerja Bank Umum


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 128.

Namun perlu disadari bahwa ditengah-tengah semakin meningkatnya performa perbankan tanah air, ada beberapa hal yang perlu dikritisi lebih lanjut berkaitan dengan indikator-indikator perbankan yang umum dipublikasikan oleh Bank Indonesia.

Pertama, berkaitan dengan indikator ROA (Return on Assets). Berdasarkan data yang dihimpun, pergerakan ROA sejak 2005 belum menunjukkan perbaikkan yang signifikan. ROA sebagai representasi dari efisiensi kinerja bank menunjukkan bahwa kemampuan bank dalam mengolah sumber dananya masih sangat terbatas. Tentu pertanyaannya adalah, apakah inefisiensi ini disebabkan karena faktor internal perbankan ataukah faktor eksternal yang secara umum disebabkan oleh tingginya kompetisi dalam struktur pasar perbankan yang mendesak aktivitas bisnis bank, sehingga menyebabkan semakin rendahnya peluang keuntungan bank.

Kedua, berkaitan dengan indikator NII (Net Interest Income) yang erat kaitannya dengan core aktivitas perbankan tradisional yaitu memberikkan pinjaman kredit baik kepada masyarakat maupun dunia usaha. Perkembangan NII yang meningkat tentu harus dianalisis lebih dalam lagi, apakah peningkatan NII disebabkan oleh pinjaman kredit konsumsi oleh masyarakat. Jika ini yang terjadi, tentu fungsi vital intermediasi dapat dikatakan belum maksimal dijalankan. Berdasarkan grafik kredit konsumsi, pertumbuhan kredit disisi ini memiliki pertumbuhan yang sangat tinggi. Bahkan tingginya berada dalam range 15-35%. Hal ini menunjukkan sebagian besar keuntungan bank dinikmati dari bentuk aset ini.

Grafik 1. Pertumbuhan kredit konsumsi


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 129.

Ketiga, berkaitan dengan NPL (Non Performing Loans) yang rendah, tentu bisa menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. NPL yang rendah bisa jadi disebabkan karena pergerseran aktivitas “tradisonal”. Dalam konteks ini, jika bank enggan untuk memberikkan pinjaman (loans), khususnya bagi kebutuhan investasi maupun modal kerja, maka tentu saja akan mengurangi nilai NPL. Selain itu, jika memang hipotesis atau dugaan pergeseran aktivitas “tradisional” perbankan terjadi, maka tentu saja default dalam aktivitas “non tradisional” tidak akan terrecord dalam NPL karena jenisnya yang dikategorikan sebagai transaksi off balance sheet .

Gambaran lain dari kondisi NPL perbankan tanah air dapat dilihat dari grafik dibawah. Berdasarkan data kredit macet dalam kredit konsumsi, dapat dijelaskan bahwa kredit macet dalam penggunaan “credit card” mencapai posisi yang sangat tinggi, diatas 12%. Hal ini menunjukkan bahwa gencarnya sosialiasi penggunaan kartu kredit telah banyak mempengaruhi life style dan gaya hidup masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi masyarakat-masyarakat yang secara finansial kurang mampu. Sehingga pada akhirnya berdampak pada default atau ketidakmampuan membayar oleh nasabah.

Grafik 2. NPL Gross Kredit Konsumsi


Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2007, Halaman 130.

Terakhir, tingginya LDR (Loan to Deposit Ratio) yang merepresentasikan dinamisnya peran intermediasi perbankan perlu dikritisi lebih dalam. Bahwa kredit yang dipinjamkan itu dalam bentuk apa?kredit konsumsikah, kredit investasikah atau kredit modal kerjakah? Jika kecenderungan peningkatan kredit yang diberikkan dalam bentuk kredit konsumsi, maka peran “intermediasi” dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan perlu dipertanyakan.

Berdasarkan indikator umum yang ada, data indikator kredit cukup representatif untuk menjelaskan gambaran kredit perbankan tanah air. Stylized facts atas keadaan tersebut, antara lain:

a) Pertumbuhan kredit konsumsi meningkat “sangat” signifikan. Sejak 2003 hingga 2007, jumlah kredit konsumsi meningkat hingga 3 (tiga) kali lipat, dari sejumlah 109.4 triliun hingga menjadi 282.6 Triliun.
b) Peningkatan kredit konsumsi terjadi pada kredit KPR (Kredit Pemilikan Rumah), Kartu Kredit dan lainnya, yang meningkat dalam range 15-35% di tahun 2007.
c) Kredit macet (NPL) terbesar yang berasal dari kredit konsumsi, bersumber dari kartu kredit yang mencapai angka diatas 12% pada desember 2007. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007)

Tentu saja, analisis yang mendalam masih perlu dilakukkan untuk mengklarifikasi performa perbankan tanah air sesungguhnya. Namun indikator-indikator yang dipaparkan diatas secara umum telah menunjukkan ancaman bagi sektor perbankan, khususnya berkaitan dengan tingginya kredit konsumsi yang ada di Indonesia. Selanjutnya, aktivitas perbankan yang sifatnya off balance belum menjadi perhatian dalam publikasi Bank Indonesia. Hal ini sesungguhnya menjadi sangat penting sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas atas performa sesungguhnya dalam perbankan tanah air. Sehingga pada akhirnya, masyarakat dapat secara efektif mengontrol dan mengawasi aktivitas perbankan yang beresiko.

IV.2 Kemajuan Teknologi: Efisiensi atau resiko?

Suatu hal yang mungkin tidak disadari, bahwa kemajuan teknologi dalam dunia perbankan telah menciptakan perubahan yang signifikan dalam aktivitas bisnis perbankan maupun keputusan investasi manajer bank. Dalam konteks ini, tentu kita tidak memungkiri bahwa kemajuan dan inovasi teknologi telah banyak berperan penting dalam penciptaan biaya transaksi yang semakin murah dalam sistem pembayaran. Contoh sederhana, sebagaimana yang diungkap oleh Kimbal and Gregor (1995) dalam Lapavitsas dan Santos (2008), yang meneliti tentang biaya transaksi mesin ATM (Automated Teller Machine) yang mampu menciptakan biaya transaksi hanya sebesar $ 0.27, jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya transaksi dengan teller/kasir bank yang mencapai $ 1.07. Selain itu, sistem RTGS (Real Time Gross and Settlement) yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa perkembangan terkini dalam sistem pembayaran tidak lekang dari kemajuan dan inovasi teknologi.

Dalam menilai kemajuan teknologi dalam dunia perbankan, harus diawali dengan pertanyaan “sejauh mana investasi dalam teknologi memberikkan dampak efisiensi bagi operasional perbankan”? Secara empiris, adanya kemajuan teknologi memberikkan hasil yang mix bagi efisiensi operasional perbankan. Dalam konteks ini, jika investasi dalam teknologi tidak memberikkan return dan skala ekonomis yang diharapkan, maka bank tersebut terekspos pada resiko teknologi (Technological risk). Hal ini mungkin terjadi karena tingginya kebutuhan akan pekerja dengan skill yang tinggi (upah tinggi) dan pengeluaran modal tetap yang tinggi, untuk mendukung investasi teknologi.

Dalam perkembangannya, inovasi teknologi untuk mendukung aktivitas perbankan memiliki peran yang sangat kompleks, mulai dari pemanfaatan e-banking, risk management hingga evaluasi kredit (credit scoring).

Ancaman kemajuan teknologi dan pengaruhnya terhadap preferensi dan perilaku perbankan dapat dicontohkan sebagai berikut. Dengan adanya kemajuan teknologi maka analisis kelayakan dan transaksi “money-dealing” dilakukkan sebatas tangan “Arms-length” dengan penggunaan IT (Information Technology). Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada keputusan bisnis manajer bank.

a) Dengan adanya kemajuan teknologi yang mendorong biaya transaksi monitoring yang murah, maka bank akan memberanikkan diri melakukkan pinjaman kredit pada sisi konsumsi khususnya pada kredit konsumsi KPR maupun kartu kredit. Dalam konteks ini, penilaian kelayakan “credit scoring” dilakukkan dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dan dianalisis berdasarkan model statistika “probabilitas”. Selanjutnya, dengan kemajuan teknologi informasi yang canggih memungkinkan manajemen bank melakukkan monitoring dalam jumlah yang sangat besar, dengan biaya (cost) yang murah.
b) Dengan adanya kemajuan teknologi IT, maka transaksi-transaksi di pasar keuangan akan semakin mudah untuk dilakukkan dan dianalisis dengan lebih baik. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan return dari transaksi off balance sheet akan semakin meningkat. Dalam konteks ini, maka transaksi-transaksi off balance sheet akan semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi digunakan untuk mengembangkan model “manajemen resiko” atas aset-aset yang dimiliki bank.
c) Dengan adanya kemajuan teknologi, maka transaksi perbankan yang erat kaitannya dengan “relational transactions” akan semakin berkurang. Hal ini berarti keengganan bank untuk melakukkan penetrasi kredit pinjaman pada dunia usaha, akan semakin berkurang. Dalam konteks ini, perbankan menganggap pinjaman kredit usaha dinilai berbiaya tinggi dan resiko tinggi.

Kemajuan teknologi, seperti yang telah diuraikan diatas disatu sisi memang telah memberikkan efek yang positif berkaitan dengan biaya transaksi yang semakin murah. Selain itu, dengan adanya kemajuan teknologi maka ekspansi bisnis bank ke jenis-jenis aset “derivatif” yang baru akan lebih mudah. Hal ini juga memungkinkan peluang untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kecenderungan pergeseran perilaku perbankan kearah transaksi yang sifatnya “beresiko” tentu harus diantisipasi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan karena transaksi yang dilakukkan oleh perbankan mengarah pada transaksi yang sebatas “Arms-length”, yang sangat minim dengan pertimbangan kualitatif dan hubungan relasional yang baik (kepercayaan). Dalam hal ini, pengembangan manajemen resiko berbasis komputer atau “Arms-length” analisis, merupakan kemunduran dalam core aktivitas perbankan. Lemahnya implementasi manajemen resiko dalam arti yang “luas” ini pada akhirnya akan menjadi sumber instabilitas baru bagi industri perbankan tanah air dan sistem keuangan secara makro.


IV.3 Globalisasi Keuangan: Kompetisi, inefisiensi dan instability

Era globalisasi dalam beberapa dekade terakhir telah banyak membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan ekonomi, keuangan, sosial, budaya dan politik dunia. Sebagian negara yang mampu mengambil kesempatan globalisasi tentu dapat menikmati keuntungan, semakin tingginya standar dan kualitas hidup manusia di negaranya. Namun tidak sedikit negara-negara di dunia mengalami krisis yang memakan biaya yang tinggi, akibat proses globalisasi.

Dibidang keuangan, globalisasi telah memaksa perubahan dalam kebijakan pemerintah dan Bank Sentral yang semakin terbuka. Salah satunya dengan kebijakan yang berorientasi pasar dengan menanggalkan restriksi-restriksi yang menghambat mekanisme pasar.

Proses globalisasi keuangan telah terjadi di Indonesia sejak dikeluarkannya beberapa paket deregulasi keuangan yang dimulai pada tahun 1983. Kebijakan ini pada awalnya ditujukan untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam menstimulasi perekonomian, serta meningkatkan kapabilitas bank untuk memobilisasi dana tabungan dan deposito. Namun, reformasi kebijakan terbesar dalam sejarah perbankan tanah air terjadi ditahun 1988 (PAKTO) dengan ide dasar untuk memberikan kebebasan bagi bank untuk berkompetisi dan berkembang. Kebijakan ini telah mengawali tumbuhnya sektor perbankan dengan pesat.

Dalam kurun waktu 1 tahun, jumlah pendirian bank meningkat dari 124 bank di tahun 1988, menjadi 158 bank di tahun 1991. Peningkatan ini juga dibarengi dengan peningkatan jumlah kantor cabang yang meningkat hingga 1112 unit dalam kurun waktu satu tahun. Selanjutnya, dengan peningkatan bank dan kantor cabang, jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan tanah air juga meningkat pesat. Hal ini sejalan juga dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup signifikan.

Deregulasi keuangan pada masa itu telah mendorong peningkatan penggunaan uang (financial deepening) dalam perekonomian domestik. Pada tahun 1996, nisbah M2 terhadap PDB mencapai 0.55, meningkat pesat dari tahun 1988 yang hanya sebesar 0.28. Angka ini tentu menunjukkan tingkat penggunaan uang dalam perekonomian oleh masyarakat sebagai akibat deregulasi sektor keuangan tersebut semakin tinggi. Namun patut disayangkan bahwa pertumbuhan yang cepat di sektor perbankan tidak dibarengi dengan regulasi dan supervisi yang baik, sehingga menimbulkan kerentanan dan resiko yang tinggi dalam industri perbankan tanah air dalam kurun waktu 1988-1997. (Satria, 2008)

In general, deregulation created more fragile operation on banks because of the absence of proper banking supervision. Inability of banks to be immune from foreign exchange and interest rate volatility during crisis is the best example that banks in Indonesia were not equipped with prudential tools with respect to market risk. (Santoso, 2000)

Keterbukaan keuangan akibat paket deregulasi disatu sisi memang telah banyak mensupport keterbatasan dana yang sebelumnya dialami oleh dunia usaha. Sehingga moment deregulasi telah banyak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan domestik untuk melakukkan pinjaman luar negri dalam jumlah yang sangat besar. Namun, karena perbankan sebagai institusi keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi utama dalam proses tersebut, maka ketidakmampuan pembayaran perusahaan juga menjadi resiko bagi kebankrutan bank.

At its heart, the Asian crisis was a banking crisis brought on by banks and their customers taking on too much foreign currency risk. No doubt macroeconomic policies were not always perfect, but the real problems were in the financial structure more than the macroeconomic settings.(Stevens, 2007)

Krisis keuangan yang dialami oleh negara-negara di Asia secara apik dirangkum dalam Mc kinnon (1973,1993b), yang memaparkan model sindrom “Overborrowing” atau pinjaman yang berlebihan ditengah-tengah reformasi dan liberalisasi ekonomi. Ia menjelaskan bagaimana tingginya aliran modal masuk (High capital inflow) pada akhirnya membahayakan (jeopardized) pada proses reformasi itu sendiri. Dalam penelitiannya Mc Kinnon and Pill memfokuskan pada “Moral hazard” didalam sistem perbankan domestik akibat adanya jaminan deposito oleh pemerintah sehingga mendorong adanya “international overborrowing”.

Pengembangan model krisis keuangan dilanjutkan dengan menambahkan resiko “currency risk” dalam model “overborrowing” secara eksplisit. Dalam model “overborrowing syndrome” moral hazard mendorong bank domestik untuk meminjam ke luar negri dalam jumlah yang besar, hal ini disebabkan karena bank domestik mengganggap pemerintah melakukkan garansi penerapan nilai tukar yang tetap untuk mengurangi payment risk atau resiko pembayaran.

Potensial krisis dalam ekonomi yang mengalami “overborrowing syndrome” terjadi karena adanya Moral Hazard dalam sistem perbankan dan pasar keuangan serta kurangnya kontrol terhadap aliran modal yang masuk dan keluar. Dengan pinjaman yang tinggi butuh pengembalian yang tinggi, namun karena macroeconomic outcome dari program reformasi memberikan return yang lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan. Maka yang terjadi adalah credit risk. Sehingga “only a lucky draw” yang akan menghindari ekonomi dari krisis ekonomi.

Dengan adanya resiko nilai tukar, bank akan mengalami dua resiko utama. Pertama adalah resiko kredit dan kedua adalah resiko nilai tukar yang disebabkan oleh pinjaman luar negri yang tidak dilindungi atau unhedge borrowing. Permasalahan yang rumit ketika semua pinjaman bank jatuh tempo pada waktu yang bersamaan, dan tentunya pada saat itu kebutuhan akan mata uang asing akan lebih banyak. Keadaan ini tentunya akan mendorong rupiah terdepresiasi, karena sebagian besar bank akan menjual rupiahnya untuk mata uang asing. Devaluasi pada mata uang domestik akibat terbatasnya cadangan bank sentral inilah, yang pada akhirnya memperbesar pinjaman luar negri bank, dan menguras modal bank yang pada akhirnya bank terjebak dalam keadaan insolvent atau kebankrutan.

Paparan diatas tentu menyadarkan kita, bahwa deregulasi dan globalisasi keuangan tanpa dibarengi dengan regulasi dan supervisi yang kuat hanya akan membawa malapetaka bagi perekonomian domestik. Di Indonesia, biaya untuk melakukkan recovery di sektor keuangan tentu jumlahnya tidak sedikit. Secara umum, biaya krisis di Indonesia mencapai 50-60% dari total GDP secara umum. Suatu angka yang sangat fenomenal, bahwa krisis yang diawali dengan krisis nilai tukar yang dilanjutkan dengan krisis perbankan dan krisis ekonomi telah banyak menguras sumber-sumber yang produktif dari negri ini. (Stevens, 2007)

Perbankan, sebagai sektor yang dianakemaskan dalam setiap perekonomian, telah banyak menikmati proses globalisasi dengan memanfaatkan sumber-sumber dana murah dari luar negri. Hal ini tentu saja merupakan peluang keuntungan yang meningkatkan keuntungan mereka. Namun, kurangnya supervisi dan kesadaran pentingnya perlindungan terhadap resiko, menyebabkan sektor ini sangat rentan terhadap external shock.

Di sisi lain, globalisasi keuangan yang ditandai dengan semakin meningkatnya jenis-jenis aset keuangan di pasar keuangan domestik maupun luar negri, telah mendorong aktvitas perbankan dari yang sifatnya tradisional ke aktivitas yang sifatnya non-tradisional. Selanjutnya, dengan adanya proses globalisasi keuangan, perbankan domestik akan semakin terdesak dengan adanya kompetisi dari pemain asing. Hal ini selain akan mengurangi market share dan keuntungan bank, juga berindikasi mendorong aktivitas perbankan ke transaksi yang sifatnya spekulatif dengan niat mendapatkan keuntungan yang tinggi, meski resikonya juga tinggi.

Tentu saja, perlu dianalisis lebih dalam bagaimana logika globalisasi keuangan mempengaruhi aktivitas perbankan tanah air.

Pertama, dengan semakin tingginnya liberalisasi keuangan, maka sumber instabilitas keuangan akan semakin tinggi. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi market value dari sisi aset dan liabilitas bank. Sebagai contoh, bagaimana capital outflow aliran modal keluar yang meningkat semisal akibat sentimen negatif investor terhadap perekonomian domestik. Dalam hal ini, aliran modal keluar tentu akan menyebabkan nilai tukar domestik akan semakin terdepresiasi, dan tentu memaksa kebijakan moneter yang cenderung ketat dengan implikasi suku bunga yang tinggi. Dalam konteks ini, fenomena tersebut telah menyebabkan perbankan akan menghadapi dua resiko sekaligus dalam jangka pendek, yaitu: resiko suku bunga dan resiko nilai tukar.

Kedua, dengan semakin tingginya globalisasi keuangan, maka pengenalan terhadap jenis-jenis aset keuangan yang baru akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan pilihan-pilihan aset keuangan yang menggiurkan bagi sektor perbankan, baik yang sifatnya hanya sebagai dealer atau penjual aset keuangan kepada masyarakat hingga yang sifatnya sebagai player atau bank bertransaksi langsung. Tentu saja dengan semakin enjoynya sektor perbankan untuk mendistribusikan dananya pada aset-aset keuangan “derivatif” maka peluang untuk menginvestasikkannya dalam bentuk kredit produktif (modal kerja dan investasi) akan semakin berkurang.

Ketiga, dengan semakin tingginya globalisasi keuangan, yang juga berarti semakin banyaknya pemain-pemain asing yang masuk dalam industri perbankan sudah pasti akan menggeser market share perbankan, sehingga pada akhirnya akan mendorong bank untuk mencari sumber-sumber investasi baru. Salah satunya yang less cost, dan menjanjikan keuntungan yang tinggi meski resikonya tingginya adalah dengan bergantung pada transaksi derivatif.

Dalam konteks yang terakhir, ada fenomena baru meningkatnya jumlah asing di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tentu pertanyaannya adalah apakah tingginya jumlah pemain asing di industri perbankan dapat meningkatkan efisiensi dalam sistem keuangan akibat semakin kompetitifnya pasar perbankan tanah air?, ataukah pemain asing hanya sebagai sumber instabilitas baru bagi sistem keuangan domestik?

Mudah saja untuk berhipotesis untuk menjelaskan fenomena. Meski analisis ini masih terlalu dini untuk diambil sebagai kesimpulan, namun hasil empiris yang ditemukan oleh Lapavitsas dan Santos (2008) menjelaskan fenomena meningkatnya pemain asing dalam pasar domestik negara-negara berkembang telah mengancam instabilitas perekonomian domestik. Analoginya adalah, dengan keterbatasan informasi berkaitan dengan “hambatan budaya” atau cultural barrier, pemain asing masuk ke pasar perbankan dengan memanfaatkan analisis “arm-length” dengan memanfaatkan komputerisasi IT untuk menganalisis kelayakan seperti yang dipaparkan pada sub-bab sebelumhya. Hal ini berimplikasi pada jenis aset atau investasi yang ditawarkan pemain asing pada masyarakat domestik, yang cenderung mengarah pada pinjaman atau kredit yang sifatnya konsumtif dengan penggunaan kartu kredit. Dengan penggunaan IT yang maju, proses studi kelayakan dan monitoring klien dalam jumlah yang besar akan semakin mudah untuk dilakukkan dengan biaya yang rendah.

Untuk menjelaskan fenomena Bank Asing di tanah air, Bank Indonesia masih belum secara eksplisit merinci aktivitas kegiatannya di pasar keuangan domestik khususnya dalam membagi jenis kredit dan aset yang dimiliki oleh Bank Asing. Sehingga keterbatasan untuk menganalisis peran Bank asing tersebut didalam industri perbankan tanah air akan semakin sulit. Namun, sederhana saja, media massa (elektronik maupun yang paper based) telah gencar mensosialisasikan produk-produk keuangan bank asing yang sebagian besar adalah Kartu kredit.



IV.4 Implikasi “pergeseran fungsi vital perbankan” terhadap sektor riil dan stabilitas sistem keuangan

Berdasarkan dua ancaman besar yang dipaparkan sebelumnya, “globalisasi keuangan dan kemajuan teknologi”, maka kekuatan sistem keuangan domestik akan semakin berkurang akibat lumpuhnya fungsi vital perbankan. Keadaan ini akan semakin parah, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menggantungkan sebagian besar sumber dananya dari intermediasi perbankan. Sehingga pada akhirnya ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan, dan dampaknya secara negatif terhadap perekonomian dan pembangunan ekonomi juga akan meluas. Bahwa perbankan sudah tidak lagi menjadi agent of development yang strategis. Jika fungsi vital intermediasi perbankan sudah lumpuh, institusi mana yang akan menggantikan perannya? Apakah institusi tersebut mampu menyediakan biaya transaksi dan resiko yang kecil? Apakah institusi ini mampu menyediakan fungsi intermediasi berkaitan dengan pembagian resiko “risk sharing” dan mengurangi asytemric information?

Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian policy maker untuk mencari solusi terhadap kelumpuhan yang mengancam industri perbankan tanah air. Meminjam kata yang digunakan Mc Kinon, mungkin hanya “lucky draw” saja yang dapat menyelematkan industri perbankan tanah air. Indikasi kesehatan perbankan secara mikro, yang ditandai dengan tingginya ekspansi kredit konsumtif, transaksi derivatif dan fee based income tentu menjelaskan pergeseran fungsi vital perbankan secara tradisional, yang seharus memfokuskan diri pada pembiayaan pinjaman bagi dunia usaha yang produktif untuk menyokong pembangunan ekonomi.

a “lucky draw” yang dimaksudkan pada paragraf sebelumnya memiliki pemahaman bahwa, jika perekonomian domestik masih memiliki ruang gerak untuk melakukkan ekspansi maka resiko tersebut akan minim sekali terjadi. Namun jika yang terjadi adalah keadaan yang sebaliknya (ex: Resesi Ekonomi), maka yang terjadi bisa mirip dengan apa yang dialami oleh U.S (United States) dalam kasus Sub Prime Mortgage, atau resiko kredit dalam jumlah yang sangat besar.

Bagi perusahaan besar, pencarian sumber dana-dana lain mungkin akan mudah untuk dilakukkan jika fungsi vital intermediai perbankan sudah lumpuh. Hal ini dilakukkan dengan mengeluarkan surat berharga obligasi ataupun saham. Namun bagi usaha kecil dan menengah, proses tersebut akan semakin sulit untuk dilakukkan. Sehingga, lumpuhnya fungsi vital intermediasi perbankan sedikit banyak akan menyulitkan tambahan modal kerja dan investasi bagi kebutuhan ekspansi bisnis mereka. Belum lagi, dominasi UMKM yang sangat tinggi di negara berkembang seperti Indonesia sudah pasti akan semakin melarat dengan lumpuhnya fungsi vital intermediasi perbankan.

Pengembalian fungsi vital perbankan tentu bukanlah misi yang mudah untuk direalisasikan oleh Bank Indonesia, ditengah-tengah beratnya beban mengemban amanat “Inflation Targeting” di era tingginya inflasi global akibat tingginya harga minyak dan harga-harga komoditas.

Dalam mendorong sistem keuangan yang sehat dan stabil, tentu saja regulasi dan supervisi perbankan harus dapat diperkuat untuk dapat meredakan “shock”, serta mengambil keuntungan dalam era globalisasi yang makin tidak terkendali. Dalam konteks ini, tentu pengawasan yang ketat (heavily regulated) dan bukan “financial repression” yang perlu untuk dilakukkan, sejalan dengan perbaikkan juga dalam fungsi vital perbankan “intermediasi”.

Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukkan untuk mengembalikkan fungsi vital intermediasi perbankan, atau menyelematkan perbankan dari kelumpuhan, antara lain: a) Kontrol Modal dan Regulasi ketat dalam aliran modal jangka pendek, b) Pengembangan penyedia informasi kredit (Credit Bureau), c) Pengembangan implementasi Manajemen Resiko yang terintegrasi, d) Penguatan modal sebagai buffer transaksi derivatif, e) Regulasi bagi masuknya bank asing di domestik dan f) Pengembangan perbankan syariah. Pilihan kebijakan diatas tentu memiliki nafas bahwa dengan semakin terintegrasinya pasar keuangan (perbankan) domestik dengan pasar keuangan internasional, maka kebutuhan untuk meregulasi dan melakukan supervisi yang baik menjadi kebutuhan yang sangat urgent. Jika merecall kembali apa yang dijelaskan oleh (Stevens, 2007) dihalaman 13, bahwa krisis keuangan yang terjadi di sebagian besar negara berkembang disebabkan karena permasalahan di sektor perbankan. Hal ini tentu saja disebabkan karena pengaruh dan peran perbankan masih sangat dominan di negara berkembang yang notabene masih belum maju pasar keuangan pendukungnya.

Pertama, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan restriksi terhadap aliran modal “jangka pendek” atau yang dikenal dengan “hot money”. Tentu saja, oppurtunity cost atau biaya pengorbanan secara ekonomis dari restriksi yang tinggi terhadap jenis modal ini adalah rendahnya ketersediaan modal bagi kebutuhan kredit domestik. Namun, pengalaman empiris menyebutkan bahwa aliran modal ini sangat rentan terhadap sentimen negatif yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas pada perekonomian secara makro. Khususnya dalam memberikkan shock yang cukup berat terhadap stabilitas nilai tukar domestik. Krisis nilai tukar, yang telah meluas menjadi krisis keuangan, perbankan dan ekonomi di Asia merupakan contoh konkrit bahaya laten jenis modal ini. Dalam kaitannya dengan penguatan fungsi vital perbankan “intermediasi”, pilihan kebijakan ini menjadi obat mujarab untuk membatasi pinjaman luar negri bank yang berlebihan atau “international overborrowing”, sehingga keterbukaan resiko keuangan (resiko kredit dan resiko nilai tukar) akan semakin terkendali. Sehingga pada akhirnya, stabilitas keuangan domestik juga akan semakin terjaga.

Kedua, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan penyedia informasi kredit (credit bureau). Peningkatan resiko kredit macet, yang didominasi oleh kredit rumah tangga atau konsumsi menunjukkan lemahnya sistem pengawasan, monitoring dan pengujian kelayakan nasabah. Hal ini tentu disebabkan karena keterbatasan bank dalam mengakses secara lebih detail riwayat keuangan calon nasabah. Disisi lain, analisis arm-length yang dipaparkan sebelumnya, juga berkontribusi dalam lemahnya sistem manajemen resiko kredit perbankan saat ini. Oleh karena itu, kebutuhan akan penyedia informasi kredit yang berfungsi sebagai data base penyedia informasi bagi bank, menjadi sangat penting untuk direalisasikan. Hal ini selain akan mendorong biaya yang semakin rendah karena skala ekonomis yang tinggi, juga akan mengurangi terjadinya default atau resiko yang meningkat. Disisi lain, pilihan kebijakan ini akan mengurangi constraint kredit karena sektor perbankan akan lebih percaya atas keabsahan informasi dari penyedia kredit. Hal inilah yang pada akhirnya dapat meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, karena semakin tingginya jumlah kredit yang berkualitas.

Ketiga, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan manajemen resiko. Pengaruh globalisasi keuangan yang semakin tinggi, dengan ancamannya yang menghadang, tentu saja membutuhkan perlindungan internal atau “manajemen resiko” yang kuat. Selain itu, semakin bervariasinya jenis investasi aset yang berkembang seiring dengan inovasi keuangan dan teknologi, mendorong penerapan manajemen resiko yang terintegratif. Dalam konteks ini, implementasi manajemen resiko perlu dilakukkan dalam berbagai aspek yang komplit, menyangkut sisi aset, liabilitas, manajemen dan lingkungan.

Keempat, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan penguatan modal (capital as a buffer). Dengan semakin tingginya transaksi beresiko yang dilakukkan oleh perbankan, maka biaya atau cost yang harus dibebankan pada bank seharusnya juga meningkat. Dalam konteks ini, pembatas aktivitas perbankan ke arah transaksi yang beresiko harus dilakukkan dengan regulasi modal yang makin kuat. Hal ini bisa dilakukkan dengan memberikkan bobot modal yang tinggi untuk transaksi-transaksi beresiko tinggi. Sehingga dengan upaya ini, keinginan bank untuk meningkatkan aktivitasnya pada transaksi beresiko tinggi akan semakin terhambat, dan insentif untuk melakukkan penetrasi kredit yang produktif akan semakin meningkat.

Kelima, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan masuknya bank asing di pasar keuangan domestik. Nafas untuk meningkatkan efisiensi yang dapat menurunkan biaya modal dengan hadirnya pemain asing yang masuk dalam industri perbankan, harus segera diklarifikasi dengan hati-hati. Meski terjadi dua polar pandangan seperti yang dipaparkan dalam landasan teoritis, berkaitan dengan masuknya bank asing dalam industri perbankan, maka diperlukkan analisis yang lebih country specific untuk menjawab “Apakah masuknya bank asing menjadi sumber instabilitas keuangan yang menganggu perekonomian domestik?”. Dalam konteks ini, penulis lebih berhati-hati untuk menilai masuknya bank asing dalam pasar domestik. Hal utama yang mendasarinya adalah, berdasarkan data BI yang telah dipublikasikan, ROA bank umum domestik tidak meningkat secara signifikan dalam waktu terakhir. Meski banyak faktor yang mendasarinya, namun jelas terungkap bahwa perbaikan efisiensi dalam industri perbankan tidak terpengaruh dengan masuknya bank asing di dalam indutri perbankan tanah air. Di sisi lain, aktivitas perbankan asing yang lebih menyukai penetrasi kredit di sektor konsumsi dan menghindari pembiayan dunia usaha yang produktif, sesungguhnya merupakan ancaman eksploitasi pasar keuangan saja. Dengan kata lain, fungsi intermediasi yang produktif dari institusi ini masih belum dapat dirasakan secara maksimal di pasar keuangan domestik.

Terakhir, pilihan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan bank syariah. Pengembangan bank syariah pada dasarnya memiliki visi kedepan dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena hubungan “relational” memiliki kekuatan secara kelembagaan dalam industri perbankan syariah. Selanjutnya beberapa skim pembiayaan yang produktif, yang dimiliki oleh perbankan syariah patut diakui bahwa institusi ini mampu memberikkan fungsi intermediasi yang optimal bagi pengembangan pasar keuangan domestik. Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Dan, uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Oleh karena itu perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya hanya mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal inilah yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem keuangan domestik, bahwa perbankan harus kembali dari kelumpuhan ”intermediasi” akibat kemajuan yang dialaminya sendiri. Dengan kata lain, perbankan akan terbebas dari kemajuan yang membawa kemunduran.


V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Pergeseran fungsi vital perbankan atau “disintermediasi” harus dilihat secara komprehensif, bahwa ancaman ini secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, yang pada akhirnya menjadi sumber penting dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua ancaman terbesar dalam penguatan industri perbankan, yaitu “kemajuan teknologi” dan “globalisasi keuangan” tentu harus dapat diredam sekuat mungkin agar efeknya tidak meluas dalam perekonomian. Hal ini tentu tidak terlepas dengan upaya memperbaiki supervisi dan regulasi perbankan yang proporsional, dan bukan kebijakan yang menekan atau “financial repression” yang anti pasar. Beberapa pilihan kebijakan yang dipaparkan sebelumnya, antara lain: a) Kontrol Modal dan Regulasi ketat dalam aliran modal jangka pendek, b) Pengembangan penyedia informasi kredit (Credit Bureau), c) Pengembangan implementasi Manajemen Resiko yang terintegrasi, d) Penguatan modal sebagai buffer transaksi derivatif, e) Regulasi bagi masuknya bank asing di domestik dan f) Pengembangan perbankan syariah, dapat menjadi pertimbangan yang tepat bagi bank sentral untuk mengembalikkan fungsi vital perbankan “intermediasi”.


DAFTAR PUSTAKA

Agénor, P.-R. (2001), "Benefits and Costs of International Financial Integration: Theory and Facts," This paper was prepared for the conference on Financial Globalization: Issues and Challenges for Small States (Saint Kitts, 27–28 March, 2001).

Alejandro, C. D. (1984), "Good-Bye Financial Repression, Hello Financial Crash," Journal of Development Economics 19 (1985) 1-24. North-Holland.

Costas Lapavitsas, P. L. D. S. (2007), "Globalization and Contemporary Banking: On the Impact of New Technology," Political Economy, Page 1 of 26.

Franklin Allen, A. M. S. (1998), "The Theory of Financial Intermediation," Journal of Banking & Finance 21 (1998) 1461±1485.

Franklin Allen, A. M. S. (2001), "What Do Financial Intermediaries Do?," Journal of Banking & Finance 25 (2001) 271±294.

Franklin R. Edward, F. S. M. (1995), "The Decline of Traditional Banking: Implications for Financial Stability and Regulatory Policy," FRBNY ECONOMIC POLICY REVIEW / JULY 1995.

Gerard Caprio Jr, D. K. (1996), "Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?," Annual World Bank Conference on Development Economics 1996.

Gormley, T. A. (2007), "Banking Competition in Developing Countries: Does Foreign Bank Entry Improve Credit Access?"

Heffernan, S. (2005), Modern Banking, England: Jhon Willey And Sons.

Kaminsky, G. L., and Reinhart, C. M. (1999), "Bank Lending and Contagion : Evidence from the Asian Crisis."

Kregel, J. A. (1998), "Derivatives and Global Capital Flows: Applications to Asia," Cambridge Journal of Economics 1998,22, 677-692.

Levine, R. (1996), "Financial Development and Economic Growth," Policy Research Working Paper 1678.

Marc Quintyn, M. W. T. (2003), "Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability," CESifo Economics Studies, Vol. 49, 2/2003, 259-294.

McKinnon, R., and Pill, H. (1999), "Exchange Rate Regimes for Emerging Markets: Moral Hazard and International Overborrowing," Oxford Review of Economic Policy, 15, pp. 423 -64.

McKinnon, R. I. (1999), "The East Asian Dollar Standard, Life after Death?"

McKinnon, R. I. (2000), "Mundell, the Euro, and Optimum Currency Areas."

McKinnon, R. I. (2005), Exchange Rate under the East Asian Dollar Standard: Living with Conflicted Virtue, London: The MIT Press.

McKinnon, R. I., and Pill, H. (1997), "Credible Economic Development and over-Borrowing," American Economic Review, 87 (2) 189-193.

McKinnon, R. I., and Schnabl, G. (2003), "Synchronized Business Cycles in East Asia: Fluctuations in the Yen/Dollar Exchange Rate and China's Stabilizing Role," The World Economy, 26, pp. 1067 -89.

McKinnon, R. I., and Schnabl, G. (2004), "The East Asian Dollar Standard, Fear of Floating and Original Sin," Review of Development Economics, 8, pp. 331 -60.

Mishkin, F. S. (2007), "Is Financial Globalization Beneficial?," Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 39, No. 2–3 (March–April 2007).

Mohanty, G. S., Pablo Garcia-Luna, "Banks and Aggregate Credit: What Is New?," BIS Paper No.28.

Ross Levine!, N. L., Thorsten Beck. (2000), "Financial Intermediation and Growth: Causality and Causes," Journal of Monetary Economics 46 (2000) 31}77.

Sachs, J. (2005), The End of Poverty, London: Penguin.

Satria, D. (2008), Keuangan Internasional: Explaining the Financial Crisis, Malang: Bayu Media.

Schmukler, S. L. (2004), "Financial Globalization: Gain and Pain for Developing Countries," Federal Reserve Bank of Atlanta E c o n o m i c R e v i e w Second Quarter.

Singh, K. (2005), Menjinakkan Arus Keuangan Global, Jakarta: Infid.

Stevens, G. (2007), "Central Bank Communication," RBA Bulletin, Desember 2007.
Stevens, G. 2007. “The Asian Crisis : a Restrospective” RBA Bulletin July 2007.
Stiglitz, J. (2006), Making Globalization Work, Australia: Penguin.

Stiglitz, J. E. (2000), "Capital Market Liberalization, Economic Growth, and Instability," World Development Vol. 28, No. 6, pp. 1075±1086.