“PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL KINI DAN YANG AKAN DATANG”
Dias Satria
1. PENDAHULUAN
Indonesia pada akhir tahun 1980-an sampai dengan pertengahan dekade 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Bahkan kinerja makro ekonomi tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia. Sejak 1987 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat rekor tertinggi hingga mencapai 7,1%. Performa pada saat itu selain diperkuat dengan kinerja ekspor dan industri pengolahan yang gemilang, juga dipicu oleh deregulasi sektor keuangan yang menyebabkan tingginya aliran modal masuk (Capital inflow) dan pertumbuhan kredit. Namun keadaan tersebut secara sekejap hilang seiring dengan kuatnya pengaruh external shock (depresiasi mata uang Bath Thailand) dan rentannya perekonomian domestik akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi (unhedged foreign debt).
Pada bulan Juli 1997, krisis nilai tukar mengawali krisis yang terjadi di Indonesia. Krisis nilai tukar pada saat itu telah berubah wujud menjadi krisis perbankan dan krisis keuangan yang berujung pada krisis ekonomi yang rumit. Namun pada dasarnya permasalahan krisis pada saat itu utamanya bukan disebabkan oleh lemahnya fundamental makroekonomi, tapi lebih disebabkan karena kurang sehatnya perkembangan sektor keuangan dan perbankan di tanah air (unsound banking system) akibat tingginya pinjaman luar negeri yang tidak terlindungi.
Keadaan ekonomi Indonesia pascakrisis sudah menunjukkan pemulihan di berbagai lini dan sektor. Hal ini ditunjukkan dengan kian membaiknya beberapa indikator internal dan eksternal ekonomi, serta perbaikkan dalam kesejahteraan ekonomi yang diukur dari pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto). Namun perlu disadari bahwa pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung belum banyak menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam pengurangan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia. Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN yang dulunya memiliki skala ekonomi yang sama dengan Indonesia, nampak proses recovery yang terjadi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat daya saing ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Selain itu, reformasi yang sifatnya struktural untuk memperbaiki kinerja ekonomi juga masih belum tampak di Indonesia dilihat dari lamanya Indonesia untuk keluar dari krisis (years to recover). Keadaan ini secara rinci dijelaskan dalam tabel di bawah.
Tabel 1: Rata-rata Pertumbuhan PDB di Beberapa Negara Asia Tenggara
(dalam persen)
1987-1996 1997-1999 2000-2006 Years to recover
Hong Kong 5.2 -0.8 4.7 3
Indonesia 7.1 -6.4 4.9 7
Korea 8.1 1.0 4.6 2
Malaysia 9.5 -0.8 4.7 6
Philippines 3.6 1.4 4.6 3
Singapore 9.2 2.8 4.6 2
Taiwan 7.2 5.1 3.3 5
Thailand 9.5 -3.3 5.1 3
East Asia* 7.6 0.0 4.5 -
Sumber: IMF, RBA, CEIC; dalam Satria, 2007
Dalam menangkap peluang ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat diperlukkan transformasi ekonomi yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam infrastruktur, penciptaan stabilitas makroekonomi yang kuat, pembangunan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata serta komitmen dalam pencapaian pemerintahan yang sehat bersih dan bertanggung jawab. Di sisi lain, strategi pembangunan nasional juga harus diarahkan secara serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada titik inilah diperlukkan strategi untuk meningkatkan kualitas standar produk yang setara dengan standar internasional sekaligus mematenkannya menjadi produk karya asli masyarakat domestik. Capaian di atas merupakan gambaran strategi jangka panjang bagi perekonomian Indonesia, yang secara umum diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan distribusinya serta mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Berpijak pada uraian di atas, paparan-paparan selanjutnnya akan membahas secara lebih detail performa makroekonomi Indonesia saat ini serta masalah-masalah mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Indonesia. Selain itu juga akan dibahas tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi perekonomian Indonesia didalamnya. Lebih lanjut, secara umum paparann selanjutnya akan menguraikan (i) fundamental ekonomi Indonesia; (ii) pemasalahan mikrostruktural penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; dan (iii) tantangan dan peluang ke depan perekonomian global dan eksistensi Indonesia.
2. FUNDAMENTAL EKONOMI INDONESIA
Secara umum kondisi fundamental ekonomi Indonesia sudah menunjukkan performa yang makin membaik dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan tren yang makin meningkat dari PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 6,30% di tahun 2007, meningkat 1,40% jika dibandingkan dengan pertumbuhan PDB di tahun 2000 (lihat Gambar 1). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini juga ditopang dengan pengendalian inflasi yang rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikkan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia.
Gambar 1: Pertumbuhan PDB Indonesia
Sumber: Bank Indonesia (2008)
Namun perlu disadari bahwa meskipun secara fundamental makroekonomi sudah menunjukkan pemulihan, namun kondisi tersebut belum banyak memberikkan kontribusi yang signifikan pada pengurangan kuantitas tingkat kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan kata lain pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini belum cukup berkualitas dan solutif bagi pemecahan permasalahan dasar ekonomi yaitu kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan Sektoral Ekonomi
Secara historis, selama tahun 1970-1997 perekomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur yang ditandai dengan meningkatnya performa industri pengolahan yang terefleksi dari semakin tingginya share investasi dan Ekspor terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Pertumbuhan yang tinggi dalam industri pengolahan pada saat itu secara tidak langsung telah menggeser peran sektor pertanian, sehingga banyak terjadi pergeseran fungsi modal, tenaga kerja dan lahan untuk sektor pertanian ke sektor industri pengolahan.
Tabel 2: Indikator Makroekonomi
KETERANGAN 2003 2004 2005 2006 2007
Inflasi IHK 5.10 6.40 17.11 6.60 6.59
Transaksi Berjalan/PDB 3.40 0.60 0.10 2.90 2.50
Tingkat Pengangguran Terbuka 9.50 9.40 10.80 10.30 9.10
Tingkat Kemiskinan 17.40 16.70 16.00 17.70 16.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Namun perkembangan sektor industri pengolahan pascakrisis tengah mengalami stagnasi performa. Stagnasi yang terjadi di sektor industri pengolahan tercermin dari sisi permintaan agregat, di mana sektor Investasi dan ekspor yang semula dominan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi sudah mengalami penurunan performa tergeser dengan meningkatnya peran konsumsi. Penurunan kinerja sektor industri pengolahan secara lebih detail dapat dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 3. Dari tabel tersebut nampak bahwa kinerja sektor Industri belum menunjukkan perbaikkan yang signifikan sejak tahun 2005, bahkan belum mampu menandingi pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2003-2004.
Tabel 3: Pertumbuahan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi
KETERANGAN 1998 2003 2004 2005 2006 2007
Pertanian -1.30 3.80 2.80 2.70 3.40 3.50
Pertambangan dan Penggalian -2.80 -1.40 -4.50 3.20 1.70 2.00
Industri Pengolahan -11.40 5.30 6.40 4.60 4.60 4.70
Listrik, Gas, dan Air Bersih 3.00 4.90 5.30 6.30 5.80 10.40
Bangunan -36.40 6.10 7.50 7.50 8.30 8.60
Perdagangan, Hotel, dan Restoran -18.20 5.40 5.70 8.30 6.40 6.50
Pengangkutan dan Komunikasi -15.10 12.20 13.40 12.80 14.10 14.40
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan -26.60 6.70 7.70 6.70 15.50 8.00
Jasa-jasa -3.80 4.40 5.40 5.20 6.20 6.60
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Rendahnya pertumbuhan investasi dalam industri pengolahan berimplikasi pada kian menurunnya akumulasi modal (kapital) tetap. Di sisi lain menurunnya akumulasi modal dalam kondisi tingginya tingkat tenaga kerja menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Capital shortage ini tentu saja juga akan berimplikasi pada semakin memburuknya TFP (Total Factor Productivity), di mana nilainya tidak mampu menembus angka 1% dalam kurun waktu 2000-2004 jauh di bawah TFP Sebelum krisis yang mampu mencapai 3%.
Gambar 2: PDB Sisi Pengeluaran
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Berdasarkan kontribusi PDB sisi pengeluaran dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan konsumsi relatif stabil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pembentukkan modal yang relatif unstable (lihat Gambar 2). Bahkan pembantukkan modal menurun rendah hingga menyentuh 2,50% di tahun 2006, angka ini terus merangkak naik hingga tahun 2007 yang mampu mencatat pertumbuhan yang tinggi mencapai 9.20%. Di sisi lain, kontribusi PDB dari sisi pengeluaran khususnya ekspor mengalami penurunan kinerja sejak tahun 2005, tentu hal ini harus menjadi concern yang serius berkaitan dengan eksistensi Indonesia dalam memenangkan kompetisi dalam ekonomi global.
Selanjutnya perlambatan performa sektor ekonomi juga terjadi di sektor pertanian. Hal ini didasarkan pada data yang dipublikasikan oleh BPS. Data tersebut mewartakan bahwa sektor pertanian cenderung mengalami penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006. Keadaan ini secara umum disebabkan oleh pergeseran struktur ekonomi ke sektor industri yang telah banyak mengorbankan faktor produksi yang sebelumnya digunakan di sektor pertanian. Secara lebih spesifik, melambatnya kinerja sektor pertanian disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan berkurangnya luas lahan. Rendahnya produktivitas pertanian secara umum disebabkan oleh permasalahan infrastruktur, penggunaan teknologi yang terbatas dan pengadaan pupuk yang belum memadai. Perlambatan kinerja sektor pertanian ini tentu berimplikasi pada penyediaan bahan makanan dan penyerapan tenaga kerja yang semakin rendah.
Sektor penyumbang PDB yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara tahun 2006-2007, adalah sektor listrik, gas dan air bersih, yang meningkat dari 5,80% di tahun 2006 mencapai 10,40% di tahun 2007. Sedangkan sektor yang mengalami penurunan kinerja cukup signifikan di antara tahun tersebut, adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang menurun drastis dari 15,50% di tahun 2006 ke angka 8,00% di tahun 2007. Selanjutnya sektor ekonomi yang relatif memiliki pertumbuhan yang tinggi dan stabil, antara lain sektor bangunan dan sektor pengangkutan serta telekomunikasi yang relatif stabil di angka masing-masing 8% dan 14%. Di sektor telekomunikasi, terjadi peningkatan permintaan yang cukup tinggi, sehingga dapat berkontribusi signifikan terhadap PDB. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap jasa telekomunikasi dan penggunaan internet yang telah meningkat hingga 40-50% pertahun.
Kondisi ekternal Indonesia
Kondisi eksternal Indonesia jika dilihat dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan perbaikkan di beberapa sektor, seperti ditunjukkan dengan perbaikkan kinerja transaksi berlajan (ekspor dan impor) maupun kinerja transaksi keuangan dan modal (Tabel 4). Namun jika dilihat secara lebih spesifik struktur dalam transaksi berjalan dan transaksi keuangan dan modal, bahwa posisi eksternal Indonesia masih belum optimal. Pertama, di sisi ekspor secara umum telah terjadi penurunan kinerja, yang secara tidak langsung memengaruhi transaksi berjalan. Kedua, di sisi transaksi keuangan dan modal, perekonomian Indonesia mengalami penurunan kontribusi investasi langsung atau Foreign Direct Investment. Selanjutnya, investasi jangka pendek atau Portolio Investment menunjukkan kecenderungan meningkat, yang secara tidak langsung harus diantisipasi jika terjadi capital rehearsal atau penarikkan dana tiba-tiba yang dapat mengakibatkan instabilitas keuangan makro.
Tabel 4: Neraca Pembayaran Indonesia
(Dalam Juta US $)
Rincian 2005 2006 2007
I. Transaksi Berjalan 278 10,836 11,009
II. Transaksi Modal dan Finansial 345 2,944 2,753
III. Jumlah (I+II) 623 13,780 13,726
IV. Selisih Perhitungan Bersih -179 729 -1,220
V. Neraca Keseluruhan (III+IV) 444 14,510 12,543
VI. Cadangan Devisa dan yang Terkait -444 -14,510 -12,543
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Dalam transaksi berjalan, kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan dari 19% pada tahun 2006 menjadi 14% pada tahun 2007. Sebagai contoh, pertumbuhan ekspor pertanian yang sebelumnya mencapai pertumbuhan 25,54% menurun kinerjanya hingga 10% ke titik 14,7%. Hal ini juga terjadi dalam kinerja ekspor nonmigas yang menurun hingga 5% selama tahun 2006-2007 (Tabel 5). Secara umum kinerja ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas Sumber Daya Alam, khususnya pertambangan. Performa ini didukung oleh semakin meningkatnya harga komoditas tambang yang meningkat sejak tahun 2004.
Tabel 5: Perkembangan Ekspor
KETERANGAN 2006 2007 2007
Perubahan (%) Nilai fob Pangsa
(juta $) (%)
Ekspor Nonmigas 20.7 15.6 93.142 78.9
Pertanian 25.54 14.7 11.704 9.9
Pertambangan 13.01 17.2 21.609 18.3
Perindustrian -7 15.2 59.829 50.7
Ekspor Migas 13.4 8.4 24.872 21.1
Total 19 14 118.014 100
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Dalam transaksi keuangan dan modal, peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada aliran modal portofolio dibandingkan dengan Foreign Direct Investment atau investasi langsung. Tingginya aliran modal dalam bentuk portofolio investment dipicu oleh berbagai faktor seperti pemotongan suku bunga The Fed yang menyebabkan kurang menariknya berinvestasi di Amerika Serikat, serta kecenderungan aliran modal dari negara-negara yang mengalami surplus transaksi berjalan (seperti di China, India, dan negara-negara eksportir minyak). Namun tingginya aliran modal asing yang berbentuk portofolio investment perlu diawasi secara ketat karena mobilitasnya yang sangat tinggi, yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan domestik. Selain itu, tingginya likuiditas yang semakin tinggi dalam perekonomian akibat capital inflow akan dapat menyebabkan inflasi yang tinggi dan sindrom overborrowing (kredit yang berlebihan).
Di sisi lain, tren investasi langsung atau FDI yang makin menurun harus segera diantisipasi secara tepat. Tren yang menurun ini merupakan refleksi beberapa permasalahan yang kompleks berkaitan dengan kelembagaan atau micro risk yang menyebabkan kurang diminatinya Indonesia sebagai lahan berinvestasi. Sejak tahun 2005, penurunan nilai FDI menurun dari US$ 5,27 miliar ke angka US$ 1,16 juta di tahun 2007.
Gambar 3: Transaksi Finansial (dalam juta US$)
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Selanjutnya dalam kaitannya posisi eksternal Indonesia khususnya posisi Utang Luar Negeri (ULN) menunjukkan perbaikkan dari tahun ke tahun (Tabel 6). Hal ini terlihat dari beberapa indikator penting seperti tren penurunan posisi ULN dan peningkatan posisi cadangan devisa domestik. Keadaan ini secara umum menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengatasi permasalahan utang yang sebelumnya menjadi hambatan atau barrier bagi penciptaan pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Tabel 6: Posisi Utang Luar negeri
KETERANGAN 1996 1997 2005 2006 2007
Pembayaran Bunga ULN/PDB 2.7 3 1 1.3 1.2
Posisi ULN/PDB 48.5 60.3 45.3 34.9 31.2
Cadangan Devisa/ Pembayaran ULN 91.2 73.4 185.6 138.8 210.8
Cadangan Devisa/Posisi ULN 17.4 15.7 26.6 33.1 41.7
Posisi ULN (miliar $) 110.171 136.088 130.652 128.736 136.64
Posisi Cadangan Devisa (miliar $) 19.215 21.418 34.724 42.586 56.920
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Evaluasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Kebijakan ekonomi yang saat ini diemban pemerintah dihadapkan pada tantangan yang cukup berat di tengah tingginya harga minyak, inflasi harga komoditas serta penurunan kinerja ekonomi global. Di sisi fiskal, tantangan terberatnya adalah menjaga kekuatan posisi anggaran karena tingginya subsidi pemerintah atas harga minyak. Selanjutnya di sisi moneter, pemerintah akan menghadapi tantangan tingginya inflasi yang dapat meningkatkan tendensi implementasi kebijakan moneter yang kontraktif dengan peningkatan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Hal ini tentu saja akan banyak mendistorsi iklim investasi domestik yang diharapkan tumbuh untuk menciptakan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Secara umum implementasi kebijakan fiskal saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup berat akibat tingginya harga minyak dunia dan harga pangan. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengancam sustainability dari strategi defisit fiskal pemerintah karena tingginya subsidi yang harus ditanggung. Di sisi lain, tingginya subsidi yang harus ditanggung ini secara tidak langsung akan menggeser prioritas-prioritas pembangunan lain yang secara jangka panjang penting bagi proses pembangunan. Sebagai contoh program-program prioritas untuk pengentasan kemiskinan seperti program penguatan masyarakat (community empowerment program) dan program-program yang berkaitan, seperti: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, tentu akan semakin berkurang proporsinya jika pemerintah tetap mempertahankan harga minyak domestik di tengah-tengah tingginya harga minyak dunia. Secara statistik, defisit fiskal yang dialami oleh pemerintah telah meningkat dari 0,5% terhadap PDB di tahun 2005 menjadi 1,2% di tahun 2007. Defisit fiskal tentu akan semakin melebar ditengah tingginya subsidi akan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang diberikan pemerintah sebagai bentuk kompensasi atas administrated policy (kebijakan harga) atas harga Bahan Bakar Minyak.
Defisit fiskal saat ini ditutupi oleh pemerintah dengan melakukan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, efisiensi belanja negara, mengeluarkan obligasi pemerintah serta pinjaman dengan development partner. Namun pinjaman ini tidak meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia, karena didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa posisi ULN terhadap PDB (ULN/PDB) terus mengalami perbaikkan seperti yang digambarkan penurunannya dari tahun 2005-2007, dari 45,3 poin mencapai angka 31,2. Kemampuan membayar ULN juga didukung dengan akumulasi cadangan devisa yang makin meningkat. Hal ini ditandai dengan proporsi cadangan devisa terhadap posisi ULN yang terus meningkat trennya.
Berbagai upaya teleh disinergikan untuk menjaga stabilitas makro yang merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan yang berkesinambungan dan berkualitas. Selain itu pemerintah juga telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran serta kemiskinan melalui pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Program-program yang dilakukan antara lain, mencakup: (i) perbaikan iklim investasi; (ii) reformasi sektor keuangan; (iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan (iv) pemberdayaan UMKM.
Di sisi kebijakan fiskal, support pemerintah dipusatkan pada upaya stimulus dalam bidang perpajakan, pengeluaran rutin serta belanja modal yang didorong agar dapat meningkatkan infrastruktur dasar sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, terkait dengan program pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas, stimulus dilakukan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah.
Di sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) secara konsisten mengarahkan kebijakannya untuk mencapai stabilitas harga melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Meskipun perlu dipahami bahwa pencapaian tingkat inflasi yang rendah di era inflasi global yang tinggi (tren harga minyak dan harga komoditas yang tinggi) adalah tantangan yang besar bagi Bank Indonesia. Bahkan kebijakan moneter untuk meredam inflasi dapat berefek pada terjadinya output loss dalam perekonomian. Dalam konteks pencapaian target inflasi yang diharapkan, unsur ekspektasi masyarakat secara empiris memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk inflasi di masa depan, selain penciptaan kredibilitas Bank Indonesia yang transparan dan akuntabel. Dalam mencari solusi peningkatan akuntabilitas melalui optimalitas pencapaian target ITF, bank sentral diharuskan meningkatkan upaya komunikasi yang efektif pada masyarakat. Stevens (2007) dalam buletin RBA (Reserve Bank of Australia) menjelaskan bagaimana peran yang efektif dalam komunikasi akan dapat membantu bank sentral mencapai target IT yang diinginkan, atau paling tidak dapat membantu menjinakkan stabilitas ekonomi secara umum.
Secara umum ada dua alasan mengapa komunikasi pada publik ini menjadi sangat penting bagi Bank Sentral. Pertama, komunikasi yang rutin pada publik merupakan salah satu bentuk tanggung jawab publik sebuah otoritas moneter di era masyarakat yang semakin demokratis. Hal ini menjadi sangat penting karena tugas utama bank sentral sangat erat berkaitan dalam mendukung penciptaan kondisi makroekonomi yang kuat, mendorong penciptaan tingkat tenaga kerja penuh full employment dan menjamin stabilitas sistem keuangan dan pembayaran. Kembali pada konteks awal, tentu beberapa tujuan di atas bukanlah amanat yang mutlak harus diemban oleh Bank sentral karena sejatinya target stabilitas harga (atau IT) yang hanya dapat diemban bank sentral secara optimal.
Kedua, komunikasi yang efektif sangat bermanfaat dalam mendukung efektivitas kebijakan moneter dalam perekonomian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya instrumen moneter yang populer digunakan untuk memengaruhi inflasi, yaitu cash rate hanya memiliki efek yang kecil dan panjang dalam memengaruhi inflasi. Oleh karena itu, kebutuhan efektivitas komunikasi publik diharapkan dapat menciptakan kondisi ekspektasi masyarakat yang positif, yang secara nyata dapat memengaruhi kondisi ekonomi secara umum karena perubahan perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat itu sendiri.
Komunikasi yang efektif secara umum dapat meyakinkan persepsi masyarakat, khususnya terhadap upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh bank sentral dalam menghadapi shock dalam perekeonomian. Jika masyarakat percaya terhadap apa yang dilakukan bank sentral untuk memengaruhi ekonomi, maka stabilitas dalam perekonomian akan mudah untuk diciptakan. Hal ini tentu harus didukung oleh komunikasi yang efektif yang berisi tentang pengertian yang jelas atas tujuan-tujuan (objectives) serta framework kebijakan moneter bank sentral untuk dapat menyelesaikan tekanan-tekanan yang dapat mengancam stabilitas harga. Pendeknya, dua hal inilah (objectives dan framework yang jelas dari bank sentral) yang dapat membantu memberikan pengetahuan yang baik pada masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengarahkan persepsi dan ekspektasi masyarakat agar dapat membantu berkontribusi pada upaya stabilitas makroekonomi (Satria, 2007)
Selanjutnya untuk kebijakan yang lain, pemerintah saat ini telah merampungkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk memperbaiki iklim investasi domestik dan kualitas pelayanan publik. Pada Bulan juli 2008, ada empat area kebijakan yang diprioritaskan secara bersama-sama, antara lain investasi, infrastruktur, sektor keuangan, dan UKMK. Bahkan ditargetkan pada bulan tersebut sudah ada 165 kebijakan yang selesai. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan dapat mengisi pembangunan ekonomi Indonesia untuk dapat berkembang secara lebih sehat dan memiliki daya kompetisi yang tinggi.
3. MASALAH MIKROSTRUKTURAL PENGHAMBAT AKSELERASI EKONOMI INDONESIA
Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa performa ekonomi Indonesia, khususnya kontribusi sektor industri, investasi, dan ekspor yang seharusnya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Dalam konteks ini, kemampuan ekonomi Indonesia dalam mengakumulasi modal dan meningkatkan produktivitasnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah. Selain itu, akselerasi ekonomi Indonesia juga belum menunjukkan tingkat daya saing yang membanggakan jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang secara signifikan meningkatkan peringkat daya saingnya beberapa tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa tingkat daya saing Indonesia di bidang Ekonomi meski menunjukkan tren yang membaik, yakni ditandai dengan tren peringkat daya saing yang membaik dari 69 di tahun 2005 menjadi peringkat 54 di tahun 2007, serta tren beberapa indikator investasi (Doing Business) yang membaik dari tahun 2006 ke 2007, namun secara umum peringkatnya masih jauh di bawah beberapa negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.
Tabel 7: Peringkat Daya Saing Oleh WEF
NEGARA PERINGKAT
2005 2006 2007
Indonesia 69 54 54
Singapura 5 8 7
Malaysia 25 19 21
Thailand 33 28 28
Filipina 73 75 71
Vietnam 74 64 68
Kamboja 111 106 110
Timor Leste 113 120 127
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007
Rendahnya peringkat daya saing Indonesia disebabkan oleh berbagai permasalahan yang kompleks menyangkut kondisi infrastruktur, institusi dan pendidikan dasar. Dalam survei World Economic Forum (WEF) tahun 2007 tersebut dijelaskan bahwa faktor utama yang menghambat bisnis di Indonesia adalah infrastruktur yang buruk dan inefisiensi dalam institusi publik atau birokrasi. Kualitas institusi di Indonesia juga dinilai rendah berdasarkan hasil survei Transparency International mengenai persepsi korupsi yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 134 terkorup di dunia (dari 163 negara). Sementara itu, menurut hasil survei Bank Dunia, ditemukan sejumlah hambatan dalam proses memulai usaha di Indonesia, yang mencakup jumlah prosedur serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha. Secara rinci, komponen-komponen dalam peringkat daya saing Indonesia dapat nampak dalam Tabel 8.
Tabel 8: Komponen Daya Saing Indonesia
KETERANGAN 2006 2007
Overall index 54 54
Basic Requirements 75 82
Institutions 60 63
Infrastructures 78 91
Macroeconomic Stability 73 89
Health and primary education 93 78
Efficiency enhancers 44 37
Higher education and trainning 70 65
Goods market and efficincy 33 23
Labour market efficiency 51 31
Financial market sophistication 58 50
Technologies readiness 75 75
Market size 15 15
Innovation and sophistication factors 41 34
Business sophistication 41 33
Innovation 39 41
Sumber: WEF, Global Competitive Report 2006 & 2007
Selanjutnya berkaitan dengan indikator doing business atau kemudahan berinvestasi di Indonesia dijelaskan bahwa Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam dua indikator, yaitu memulai bisnis dan perlindungan investor. Selanjutnya indikator-indikator lain mengalami perbaikkan, meski peringkatnya masih di bawah beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Thailand dan Singapura (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa reformasi struktural terhadap kelembagaan yang mendukung investasi masih belum seoptimal perubahan yang terjadi di negara-negara tetangga.
Tabel 9: Indikator Doing Business 2008
NEGARA KEMUDAHAN MELAKUKAN BISNIS MEMULAI BISNIS PERIZINAN KETENAGA KERJAAN PERLINDUNGAN INVESTOR KEPATUHAN KONTRAK MENUTUP BISBIS
2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007
Indonesia 133 123 163 168 117 99 154 153 49 51 142 141 137 136
Malaysia 21 24 74 74 102 105 43 43 4 4 14 63 53 54
Vietnam 94 91 90 97 62 63 82 84 175 165 41 40 119 121
Thailand 17 15 27 36 11 12 49 49 32 33 26 26 41 44
Filipina 130 133 135 144 75 77 122 122 141 141 113 113 147 147
Singapura 1 1 11 9 5 5 1 1 2 2 5 4 0.8 2
Sumber: Doing Business, 2008
Rendahnya akumulasi modal dan rendahnya produktivitas dalam perekonomian secara umum juga telah menyebabkan kekakuan di sisi penawaran atau supply rigidities. Permasalahan dalam supply rigidities ini diperparah oleh permasalahan kelembagaan (micro risk) seperti permasalahan korupsi, birokrasi, perizinan, regulasi tenaga kerja, ekonomi biaya tinggi, dan distorsi pasar yang menjadi kendala utama bagi pertumbuhan investasi di Indonesia. Dalam konteks ini, maka reformasi struktural guna memperbaiki iklim investasi termasuk merancang atau merevisi undang-undang di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, kepabeanan, dan lain-lain menjadi penting untuk dilakukkan. Namun perlu diakui bahwa hasilnya masih belum sesuai harapan, bahkan beberapa agenda penting seperti revisi UU Ketenagakerjaan masih belum rampung. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa implementasi reformasi struktural sering dihadapkan pada faktor kerumitan administratif dan masalah politik yang tinggi.
Secara umum dalam upaya memperbaiki kondisi mikrostruktural untuk mendukung investasi, produktivitas, dan daya saing ekonomi diperlukan suatu kebijakan yang komprehensif menyangkut perbaikkan dalam kelembagaan maupun kebijakan yang kondusif. Hal ini menyangkut bagaimana kinerja birokrasi yang efisien mampu secara efektif melayani masyarakat dan bisnis. Selain itu, juga diperlukkan koordinasi, komitmen, serta kesatuan pandang antar departemen/institusi dalam pemerintah untuk mempercepat implementasi reformasi ekonomi.
4. PEREKONOMIAN GLOBAL DAN EKSISTENSI INDONESIA : TANTANGAN KE DEPAN
Secara umum ada tiga hal penting berkaitan dengan tantangan ke depan yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Pertama, berkaitan dengan kompleksnya tekanan eksternal. Kedua, berkaitan dengan tantangan untuk meningkatkan performa produktivitas investasi dan perdagangan. Ketiga, berkaitan dengan kebijakan strategis ekonomi.
Kompleksitas tekanan eksternal
Perekonomian Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup berat dari eksternal berkaitan dengan resesi ekonomi global, tingginya harga minyak dan harga komoditas serta financial turnmoil dari aliran modal jangka pendek. Penurunan kinerja global dapat dilihat dari menurunnya performa negara-negara industri besar dunia, seperti: Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Zona Eropa, yang mengalami penurunan PDB yang cukup signifikan. Sebagai contoh, AS yang mengalami penurunan PDB hingga 2,2 persen di tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ekonomi AS ini diprediksi oleh ADO (2008) menurun hingga 1,5 persen di tahun 2008. Berbagai upaya telah dilakukkan oleh The Fed, Bank Sentral AS, dengan menurun suku bunga The Fed, namun tekanan defisit dalam transaksi berjalan dan fiskal masih belum bisa di tingkatkan ke posisi yang lebih aman (Tabel 10).
Tabel 10: Asian Development Outlook (ADO) 2008
GDP Growth 2006 2007 2008 (ADO 2008 Projection) 2009 (ADO 2008 Projection)
Industrial economies (G3: Japan, US and Eurozone) 2.7 2.3 1.5 1.9
US 2.9 2.2 1.5 2.0
Eurozone 2.7 2.6 1.6 2.0
Japan 2.4 2.1 1.5 1.5
Memorandum items
US Federal funds rate (average %) 5.0 5.0 2.75 2.9
Non-fuel commodity prices 24.5 15.7 0.2 -5.7
CPI Inflation (OECD, Average) 2.6 2.5 2.7 2.4
World trade volume 10.1 7.5 7.0 7.7
Keterangan: *) Angka proyeksi ADO
Sumber: ADB, 2008
Perekonomian dunia saat ini sedang mengalami penurunan kinerja. Asian Development Outlook 2008 memproyeksikkan bahwa negara-negara G3 (Jepang, AS, dan Eropa) hanya akan mencapai pertumbuhan output tidak lebih dari 1,6% di tahun ini. Keadaan ini tentu saja akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap permintaan ekspor barang-barang domestik yang juga akan menurun. Jika ini yang terjadi, maka bisa diprediksikan surplus transaksi berjalan Indonesia akan menurun, sehingga berdampak pada pendapatan nasional yang juga akan menurun. Di tengah-tengah menurunnya kinerja perekonomian global dan tentunya permintaan global, anomali terjadi dalam harga-harga komoditas dan harga minyak, di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikkan harga yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Bahkan harga minyak dunia diprogoniskan pada akhir tahun 2008 menembus angka US$ 150 perbarel.
Bagi Indonesia kenaikkan harga minyak dunia tentu saja akan semakin menyulitkan posisi keuangan/anggaran pemerintah, karena saat ini indonesia bukanlah negara surplus minyak. Di sisi lain, kenaikkan harga minyak domestik dan juga bahan pangan secara umum, akan menyebabkan tingginya inflasi domestik. Keadaan ini dalam jangka panjang tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas domestik yang semakin menurun.
Di sisi lain, tingginya aliran modal asing jangka pendek (portofolio investment) yang sebagian besar masuk di pasar-pasar keuangan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jika tidak diregulasi dengan baik, dalam jangka panjang juga pasti akan menjadi sumber instabilitas atau ancaman terhadap perekonomian domestik. Tingginya aliran modal asing ini tentu didasarkan pada tren penurunan suku bunga The Fed, yang menyebabkan pelarian modal dari aset-aset keuangan AS ke aset-aset keuangan lainnya termasuk dalam aset-aset di pasar komoditas dan pasar keuangan negara-negara berkembang.
Dalam menghadapi tekanan eksternal yang sangat kompleks dan kuat, tentu Indonesia perlu berbenah diri untuk mengantisipasi tekanan tersebut. Hal ini bisa dilakukkan dengan melakukan kombinasi kebijakan ekonomi guna meredam dampaknya terhadap instabilitas perekonomian domestik. Tentu saja, perlu kebijakan jangka panjang yang terarah guna menyelesaikan permasalahan tersebut.
Peningkatan Daya Saing Ekonomi
Perekonomian Indonesia saat ini masih belum dapat bersaing secara maksimal dalam era perdagangan bebas, di sisi lain pertumbuhan investasi domestik juga masih belum maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perlunya penguatan investasi dan daya saing perdagangan internasional yang tinggi ditujukan untuk semakin memperkuat eksistensi perekonomian domestik bersaing di pasar global. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Indonesia hanya menjadi pusat eksploitasi keuntungan dari masuknya produk-produk asing ke pasar domestik.
Dalam mendorong pembangunan ekonomi yang lebih kuat dalam jangka panjang, pemerintah perlu mempersiapkan kelembagaan (aturan main) dan kondisi investasi yang kondusif bagi masuknya Penanaman Modal Langsung atau FDI (Foreign Direct Investment). Pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi secara umum telah diinventarisir dan diteliti oleh berbagai peneliti dunia. Harrod-Domar (1948), misalnya, menjelaskan bahwa investasi sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi karena investasi akan meningkatkan stok barang modal yang memungkinkan dapat mendorong output. Selanjutnya Borensztein dan kawan-kawan (1998), melakukan studi empiris dalam mengestimasi dampak FDI (Foreign Direct Investment) terhadap pertumbuhan ekonomi 69 negara berkembang selama periode 1970-1989. Hasil penelitian menunjukan bahwa FDI berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikutnya, Kojima (1978) melihat FDI dari sisi makroekonomi. Menurut Kojima, FDI bersifat komplemen dan mendukung pembangunan ekonomi dan negara penerima FDI. Investasi asing langsung dapat ditujukan untuk mempromosikan diversifikasi, memperbaiki struktur industri, dan mewujudkan kesejahteraan mutual antara negara investor dan negara penerima. Oleh karena itu, investasi sebagai kebutuhan bahan bakar dasar untuk percepatan pertumbuhan ekonomi harus segera dapat direalisasikan.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa Indonesia perlu untuk berusaha menarik FDI (Foreign Direct Investment) di wilayah ini, antara lain:
1. FDI diharapkan dapat menutup kekurangan modal domestik.
2. FDI diharapkan adanya technology transfer dan transfer of knowledge dari perusahaan asing ke domestik.
3. Adanya FDI diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi masalah pengangguran.
4. FDI diharapkan dapat meningkatkan devisa negara melalui peningkatan dalam ekspor.
Namun demikian banyak kritik dan kontra terhadap FDI, antara lain:
1. Dampak kegiatan perusahaan asing cenderung tidak merata dan mempertajam kesenjangan pendapatan.
2. Dalam jangka panjang FDI dapat mengurangi penerimaan devisa baik pada neraca berjalan maupun pada neraca lalu lintas modal. Memburuknya neraca berjalan dikarenakan impor barang modal dan barang setengah jadi yang dilakukan oleh perusahaan asing. Sedangkan memburuknya neraca lalu lintas modal dikarenakan adanya transfer keuntungan, pembayaran bunga dan royalti, pembayaran lisensi, serta management fee.
3. Alih teknologi dan manajemen dalam kenyataannya seringkali tidak terjadi
4. Perusahaan-perusahaan asing seringkali dapat mematikan perusahaan-perusahaan domestik
5. Perusahaan asing sering menarik keuntungan yang besar dan mereka sendiri sedikit menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya
6. Perusahaan-perusahaan asing seringkali menghasilkan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh rakyat banyak
7. Keringanan pajak dan kemudahan lain yang sering ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan asing sering berlebihan. Padahal fasilitas yang sama tidak diberikan kepada perusahaan domestik
8. Perusahaan asing seringkali mempertajam kesenjangan pembangunan desa dan kota karena perusahaan asing umumnya berlokasi di perkotaan. Hal ini menimbulkan efek terhadap arus urbanisasi.
Bagan 1: Domestic Absorptive Capacity Both Conditions And Attracts External Flows
Sumber: Worldbank, 2008
Oleh karena itu, untuk dapat mendapatkan manfaat yang besar dari masuknya investasi langsung dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pemerintah sebagai regulator harus dapat sebisa mungkin memberikan fasilitas dan dukungan pada proses-proses transfer knowledge dan transfer technology. Selain itu, pemerintah juga diharapkan secara konsisten untuk dapat mempayungi sisi kelembagaan dan pengaturan investasi yang masuk ke Indonesia agar dapat mendukung efisiensi performa bisnis FDI. Bagan 1 menunjukkan bahwa transfer of knowledge dari adanya Penanaman Modal Asing atau FDI terhadap kemampuan menyerap teknologi di domestik sangat memerlukan dukungan pemerintah dalam proses tersebut. Selain itu, tugas pemerintah juga menjadi penting dalam konteks menciptakan kondisi investasi yang kondusif, pengembangan infrastruktur serta penguatan kompetensi yang kuat. Hal ini dilakukkan sebagai bagian pengembangan human capital dan produktivitas ekonomi dalam penerapan teknologi tinggi dan tepat guna.
Selain pentingnya daya saing ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas investasi dalam perekonomian, peningkatan daya saing ekonomi juga harus ditunjukkan dengan semakin kompetitifnya produk-produk lokal dalam bersaing di pasar global. Hal ini tentu harus dilakukkan dengan berbagai upaya dengan semakin meningkatkan efisiensi ekonomi yang dapat menciptakan biaya ekonomi yang rendah (low cost economy), juga harus diupayakan peningkatan inovasi produk-produk lokal yang diminati di pasar global. Dalam konteks ini maka upaya-upaya untuk melakukkan perbaikkan dalam sisi produksi, penguatan industri, kebijakan perdagangan internasional, standarisasi produk (international standard) serta promosi produk-produk lokal di pasar global menjadi penting untuk dilakukkan secara konsisten.
Kebijakan strategis ekonomi ke depan
Pembangunan ekonomi Indonesia yang kuat dan berkelanjutan tentu membutuhkan kombinasi kebijakan ekonomi yang strategis. Hal ini diupayakan guna merealisasikan tujuan dasar pembangunan yaitu mencipatakan kesejahteraan masyarakat (welfare). Pertama, dibutuhkan kebijakan makro yang tepat menyangkut dukungan sisi fiskal dan moneter. Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu dukungan ekspansi fiskal bagi proyek-proyek pembangunan (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, keamanan) sangat dibutuhkan. Namun beban fiskal akibat tingginya subsidi energi (minyak) masih menjadi permasalahan yang pelik untuk diselesaikan.
Permasalahan energi dan tingginya harga pangan dunia saat ini setidaknya memberikkan dua permasalah bagi perekonomian, yaitu tekanan inflasi dan beban fiskal yang makin besar. Bagi pemerintah, pengorbanan alokasi subsidi untuk peningkatkan proyek pembangunan tentu juga bukanlah pilihan yang mudah karena kebijakan ini syarat dengan muatan politis yang tinggi dan dapat mengganggu instabilitas sosial ekonomi domestik. Di sisi lain, pilihan kebijakan moneter dengan tight monetery policy atau kebijakan uang ketat untuk menahan laju inflasi tentunya juga akan berdampak pada tingginya output loss. Hal ini disebabkan karena kebijakan moneter tersebut ditengarai dapat mendorong peningkatan suku bunga yang dapat mengurangi insentif investasi.
Oleh karena itu, koordinasi fiskal-moneter tentu wajib untuk dilakukan guna mencapai stabilitas makroekoomi yang mendukung aktivitas bisnis dan perekonomian. Dalam konteks ini, pencapaian inflasi yang terkendali dan suku bunga yang rendah dapat menjadi acuan bagi pencapaian tugas tersebut. Di sisi moneter, pencapaian stabilitas harga dapat dilakukkan dengan lebih efektif melalui pengawasan dan identifikasi inflasi yang tepat. Hal ini tentunya juga membutuhkan dukungan lintas departemen dan intansi, selain kebutuhan atas perangkat lunak yang canggih. Di sisi lain, penguatan kredibilitas Bank Indonesia juga sangat strategis dalam mencapai pengendalian inflasi melalui perbaikkan dalam komunikasi yang efektif, akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, diperlukkan dukungan sistem keuangan dan perbankan yang sehat. Sistem keuangan dan perbankan yang sehat merupakan prasyarat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, sistem keuangan memiliki peran yang strategis dalam mendistribusikan dana masyarakat secara efektf dan efisien. Namun tentunya pengembangan sistem keuangan dan perbankan yang sangat maju harus disikapi dengan hati-hati karena keadaan ini dapat berdampak pada tingginya resiko instabilitas keuangan yang dapat menganggu perekonomian secara luas. Sistem keuangan dan perbankan Indonesia telah banyak mengalami perjalanan panjang untuk mempelajari pentingnya kekuatan sistem keuangan dan perbankan. Dimulai dari deregulasi keuangan yang menciptakan kerentanan pada krisis hingga terjebaknya perekonomian domestik akibat tingginya utang luar negeri sektor bisnis dan pemerintah. Hal-hal tersebut tentu jangan sampai berulang dan menciptakan kerugian yang sama bagi perekonomian domestik, oleh karena itu pengawasan yang ketat (heavy regulated) atas aktivitas-aktivitas keuangan yang destruktif (spekulasi), peningkatan ekspansi kredit investasi yang tinggi serta pengaturan struktur pasar keuangan yang sehat menjadi penting untuk dilakukkan demi pencapainya stabilitas keuangan yang kuat.
Ketiga, institutional policy dalam konteks pengaturan investasi dan perdagangan internasional perlu untuk dikaji kembali guna meningkatkan daya saing domestik dalam era global. Seperti yang telah diungkapkan pada uraian sebelumnya bahwa permasalahan mikrostruktural yang menyangkut inefisiensi sektor birokrasi dan kontraproduktif kebijakan-kebijakan investasi dan perdagangan internasional harus dapat diselesaikan dengan serius. Hal ini menjadi sangat penting di tengah-tengah ketertinggalan ekonomi Indonesia dalam perdagangan internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga yang 20 tahun sebelumnya setara dengan Indonesia.
Di sektor investasi, baik penanaman modal domestik maupun asing harus dapat secara berkelanjutan meningkat nilainya dari tahun ke tahun. Dalam konteks ini, pemerintah harus secara jeli mengidentifikasi kebutuhan dasar investasi tersebut berdasarkan karakteristik bisnisnya. Sebagai contoh, jika karakteristik FDI atau investasi cenderung untuk melakukan eksplorasi dibidang Sumber Daya Alam (SDA) [contohnya, eksplorasi minyak dan tambang], maka support pemerintah harus ditujukkan untuk melakukkan promosi atau sosialisasi kondisi SDA di Indonesia. Selanjutnya dukungan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan infrastruktur yang baik dan faktor-faktor produksi yang penting (SDM) semaksimal mungkin harus dapat direalisasikan.
Tabel 11: Hubungan FDI dengan Prioritas Kebijakan
Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)
Namun, prioritas support pemerintah akan berbeda dengan FDI yang memiliki karakteristik mencari tempat investasi berdasarkan efisiensinya. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menyediakan faktor-faktor produksi yang berkualitas dengan biaya produksi yang kompetitif akan menjadi prioritas utama yang harus dilakukkan. Selanjutnya support pemerintah untuk meningkatkan investasi atau FDI jenis harus didukung dengan kebijakan perdagangan yang strategis, serta dukungan sektor-sektor lain yang berkaitan (misalnya sektor jasa dan telekomunikasi). Secara umum perbedaan karakteristik FDI atau investasi, berkaitan dengan prioritas kebijakan yang relevan dirangkum dalam Tabel 11.
Selanjutnya untuk kebijakan–kebijakan yang sifatnya umum, antara lain dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Overall policy framework dan Business facilitation. Dalam poin yang pertama kebutuhan akan penciptaan stabilitas ekonomi dan politik sangat penting untuk dilakukkan. Selanjutnya payung hukum dan penegakannya yang diperlukkan untuk mengatur lisensi usaha dan operasional bisnis juga harus diatur dengan baik. Yang terakhir, kebijakan dalam privatisasi dan kerjasama yang sifatnya multi-bilateral juga penting untuk dipromosikan oleh pemerintah.
Dalam konteks fasilitasi bisnis, beberapa kebijakan seperti efisiensi prosedur administrasi, promosi FDI (fasilitasi jasa), dan insentif FDI seperi subsidi; merupakan inovasi kebijakan yang dapat dike depankan oleh pemerintah untuk bisa meningkatkan investasi langsung di Indonesia.
Tabel 12. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment)
Sumber: UNCTAD dalam Nunnenkamp (2002)
Dalam konteks menghadapi era perdagangan global yang ramai dengan persaingan, Indonesia harus mampu melihat permasalahan globalisasi dengan lebih jeli karena perdagangan internasional sendiri tanpa support pemerintah yang kuat, tidak akan mampu memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan. Sehingga perlu ada upaya untuk menyelaraskan strategi pengentasan kemiskinan dan liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tentunya sangat terkait dengan peran pemerintah untuk memberikan dukungan yang jelas dan sehat dalam penindakan korupsi, pengaturan kompetisi dalam dunia usaha, penjagaan market access serta pembangunan infrastruktur. Untuk dapat mengambil kesempatan dalam perdagangan internasional, ada beberapa strategi yang penting untuk dapat mendukung perekonomian domestik agar dapat bersaing di pasar internasional.
Pertama, negara berkembang membutuhkan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang mapan. Kedua, negara berkembang membutuhkan modern custom facility. Ketiga, negara berkembang membutuhkan suatu infrastruktur laboratorium yang dapat digunakan dalam proses pengujian produk-produk ekspor, sehingga standar dan kualitas produk dalam negeri dapat terjaga dengan sempurna. Keempat, negara berkembang membutuhkan jaringan pengamanan keuangan yang berfungsi dalam mengantisipasi shock yang datang baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kelima, negara berkembang membutuhkan tenaga ahli yang concern dalam masalah perdagangan internasional. Tenaga ahli ini juga menyangkut ahli yang berkaitan dengan upaya negosiasi, penyelesaian hukum internasional (dispute and settlement) dan ahli dibidang ekonomi internasional (Stiglitz, 2006)
Terakhir, diperlukkan penguatan kelembagaan (aturan main) pemerintah untuk menciptakan institusi ini lebih sehat dalam konteks efisiensi dan efektivitas perannya sebagai regulator. Dukungan pemerintah menjadi sangat strategis dalam mendukung penguatan ekonomi lokal dan daya saing bangsa, yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia.
CATATAN AKHIR
Dalam menghadapi ketatnya persaingan dalam perdagangan global, kompleksnya tekanan eksternal (seperti ancaman resesi global, tingginya harga minyak, dan harga pangan) serta masih minimnya capaian pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan (pengurangan tingkat kemiskinan, permasalahan lingkungan, dan masih tingginya kesenjangan distribusi pendapatan) maka diperlukan kombinasi kebijakan ekonomi yang integral menyangkut perbaikan dalam macro policy¸ kebijakan strategis dalam investasi dan perdagangan internasional, kebijakan perbankan bagi pengembangan sektor keuangan yang lebih kuat, kebijakan dibidang sosial (pendidikan dan kesehatan) serta perbaikan efisiensi kinerja pemerintah.
Tren penurunan kinerja Investasi dan daya saing domestik merupakan agenda utama yang harus diperbaiki guna mencapai pembangunan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, karena dari dua sektor inilah (Investasi dan Perdagangan Internasional) seharusnya perekonomian domestik disokong bukan dari tingginya sektor konsumsi masyarakat seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam konteks ini tentu pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat memiliki peran yang stretegis dalam mendukung tujuan-tujuan pembangunan.
Bagi pemerintah, penguatan sektor invetasi dan perdagangan internasional dapat dilakukkan dengan penguatan sisi kelembagaan menyangkut dalam penegakkan hukum (law enforcement), penciptaan kondisi investasi yang kondusif melalui birokrasi yang efisien dan bersih, pengenaan pajak yang tepat serta pengaturan kompetisi yang sehat. Di sisi lain, support dibidang infrastruktur juga menjadi kebutuhan yang mendasar bagi pengembangan investasi domestik dan investasi asing yang masuk untuk meningkatkan performa efisiensi bisnisnya. Dalam konteks ini, pentingnya investasi asing langsung atau FDI bagi perekonomian domestik selain untuk mengisi gap kurangnya modal domestik juga diharapkan dapat memberikkan kontribusi yang penting khususnya dalam transfer of knowledge maupun transfer of technology.
Selajutnya, era perdagangan global baik di tingkat multilateral maupun bilateral tentu juga membutuhkan support pemerintah untuk mengembangkan efisiensi serta market network produk-produk lokal di pasar global, hal ini dilakukkan agar daya saing ekonomi bangsa dapat meningkat secara signifikan. Dengan upaya-upaya strategis inilah diharapkan pembangunan ekonomi nasional dapat bersaing secara lebih baik guna menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, serta mampu secara kuat menahan tingginya tekanan eksternal yang dapat menganggu instabilitas makroekonomi domestik..
Stabilitas makroekonomi dan keuangan yang mantap tentu sangat dibutuhkan dalam penciptaan kondisi ekonomi yang kondusif bagi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun kedua hal tersebut akan semakin bermanfaat jika didukung dengan perbaikkan mikrostruktural indonesia yang mencakup efisiensi birokrasi pemerintah, daya saing ekonomi serta struktur pasar yang kuat. Hal ini menjadi penting dalam upaya menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mishkin, F. S. 2000. "Inflation Targeting in Emerging Market Countries." NBER Working Paper Working Paper 7618(JEL No.E5).
Nunnenkamp, P. 2002, Foreign Direct Investment in Developing Countries: What Economists (Don’t) Know and What Policymakers Should (Not) Do!, CUTS Centre for International Trade, Economics & Environment, Jaipur, India
Sachs, J. 2005. The End of Poverty. London, Penguin.
Satria, D. 2008. Keuangan Internasional : Explaining the Financial Crisis. Bayu Media, Malang.
Stevens, G. 2007. "Central Bank Communication." RBA Bulletin December 2007.
Stevens, G. 2007. “The Asian Crisis : a Restrospective” RBA Bulletin July 2007.
Stiglitz, J. 2006. Making Globalization Work. Australia, Penguin.
Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and Its Discontents. London: W.W. Norton & Company, Inc.
----------, 2008, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, Bank Indonesia, Jakarta
----------, 2008, Asian Development Outlook 2008, Asian Development Bank, Metro Manila, Philipines.
----------, 2008, Doing business 2008, A Copublication of The World Bank and The International Finance Corporation, Washington D.C
----------, 2008, Global Economic Prospects: Technology Diffusion in the Developing World 2008. Worldbank, Washinton D.C