HUJATAN PADA BANK INDONESIA
dias.satria@yahoo.com
Penilaian sebagian besar ekonom Indonesia menyikapi kebijakan naiknya suku bunga SBI titik 9.50%, tentu menimbulkan pertanyaan sederhana apakah sebodoh itu Bank Indonesia melakukkan kebijakan yang salah. Atau dengan kata lain, Apakah gubernur Bank Indonesia baru “Pak Boediono” seorang ekonom senior Indonesia, sesederhana itu melihat permasalahan dan melawan arus pasar, yang sebagian besar melakukkan penurunan suku bunga.
Dibalik rasional kenaikkan suku bunga, ada beberapa pertimbangan dan perspektif dasar untuk melihatnya.
Kenaikkan suku bunga dari sisi neraca modal, tentu akan menciptakan perbedaan suku bunga domestik dan luar negri (interest rate differential). Dengan semakin positifnya perbedaan suku bunga domestik dengan internasional, tentu akan mendorong masuknya modal asing (capital inflow) atau mencegah capital outflow pada pasar keuangan domestik karena peluang return yang semakin tinggi. Jika ini yang terjadi, maka ketakutan akan semakin keringnya likuiditas domestik tentu tidak akan terjadi karena masuknya aliran modal tersebut. Selanjutnya dengan semakin meningkatnya aliran modal asing, tentu akan semakin memperbaiki nilai tukar domestik (apresiasi). Atau rupiah akan menguat.
Disisi lain, jika perekonomian sudah dalam batas lebih dari full employment (keseimbangan maksimal) maka penurunan suku bunga tidak akan memberikkan impact pada equilibrium, dan hanya menciptakan efek terhadap harga (atau inflasi). Hal ini tentu saja akan mengancam target inflasi Bank Sentral, ditengah-tengah tingginya harga-harga secara umum.
Kenaikkan suku bunga disisi lain juga akan semakin mendorong pihak bank untuk semakin berhati-hati dalam memberikkan pinjaman, karena kenaikkan suku bunga memberikkan constraint bagi mereka untuk melakukkan ekspansi kredit. Secara makro, pembatasan kredit ditengah-tengah kelesuan ekonomi tentu akan memperbaiki kualitas aset produktif, dan mengurangi kredit macet (NPL Non Performing Loans) bank. Amerika merupakan contoh sederhana, bahwa penurunan suku bunga membawa malapetaka yang besar bagi perekonomian domestiknya. Rasional/logika sederhananya adalah, disaat resesi ekonomi, masyarakat mana yang mampu membayar hutang-hutangnya. Sehingga jika respon penurunan suku bunga Amerika, direspon lembaga keuangan dengan melakukkan ekspansi kredit dengan membabi buta, maka dampaknya bisa kita lihat sekarang di US dengan krisis kredit macet yang terjadi dalam subprime mortgages dan kredit macet penggunaan kartu kredit.
Namun jika pandangan kontra berpendapat bahwa kebijakan kenaikkan suku bunga akan semakin merugikan perekonomian, karena terhambatnya ekspansi di sektor riil. Maka sesungguhnya kondisi ekonomi yang sedang tidak pasti ini diharapkan dapat menahan ekspansi ekonomi yang berlebihan dari para pengusaha. Karena pada akhirnya, sektor keuanganlah yang nantinya akan dirugikan jika terjadi default kredit karena ekonomi yang memburuk.
Tentu kebijakan kenaikkan suku bunga, bukan syarat utama suatu kebijakan untuk menanggulangi pelik dan rumitnya dampak krisis keuangan global yang terjadi di Indonesia. Masih banyak kebijakan lain yang menunjang yang intinya diharapkan dapat meningkatkan konfiden para pelaku usaha. Namun, minimal kebijakan suku bunga ini mampu meredam pengaruh negatif jangka panjang (resiko kredit, nilai tukar dan inflasi) yang ditimbulkan dari kebijakan yang salah (penurunan suku bunga-red). Meski kedepan, Bank Indonesia juga harus mempersiapkan kebijakan-kebijakan pendukung untuk membuat pasar semakin konfiden dengan pasar, atau minimal konfiden dengan apa yang dilakukkan oleh Pemerintah dan Bank Sentral sehingga respon yang dilakukkan pasar benar-benar merefleksikan kondisi atau performa ekonomi sesungguhnya, dan bukan tindakan irasional yang asimetris, yang menjatuhkan performa pasar keuangan domestik.
Dan, semakin membaiknya Bursa Ekonomi Indonesia dan meredamnya kepanikkan pasar di Indonesia beberapa hari ini tentu membuktikkan bahwa pasar telah konfiden dengan apa yang dilakukkan pemerintah. Dan kedepan, stabilitas keuangan Indonesia akan semakin baik dengan pengelolaan kebijakan yang brilian oleh seorang “Boediono”, “Sri Mulyani” dan “Miranda Gultom”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar