Senin, 02 Maret 2009

Survive di saat resesi datang

Survive di saat resesi datang

Dias Satria SE.,M.App.Ec.

(Dosen Jurusan EKonomi Pembangunan Universitas Brawijaya dan Peneliti INSEF Surabaya)

Masa depan ekonomi dunia, seakan belum menunjukkan titik terang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ramalan (forecasting) yang dilakukkan oleh lembaga-lembaga internasional, termasuk majalah The Economits yang menyebutkan bahwa tahun 2009 sebagai “The Year of Unsustainability” dimana resesi ekonomi akan datang, pertumbuhan ekonomi akan melambat dan kebankrutan dimana-mana. Tahun yang disebutkan dimana perusahaan-perusahaan akan memotong biaya produksi dan me”rumah”kan para pekerjanya.

Bagi Indonesia, tahun 2009 merupakan even besar dalam pesta demokrasi. Jumlah uang beredar tidak mustahil beredar cepat, karena kebutuhan akan pembiayaan kampanye dan pesta politik. Selanjutnya Bagi dunia usaha, tentu akan sangat sulit melakukkan ekspansi jika tidak terkait langsung dengan even besar ini. Maka sebagian besar dari mereka tentu hanya menunggu dan melihat, apa yang terjadi di tahun 2009.

Kondisi tersebut tentu bukanlah hal yang sangat mudah bagi recoverynya denyut nadi perekonomian domestik. Pertama, kondisi yang tidak tentu di saat pesta demokrasi, sudah pasti akan mengurungkan niat para pengusaha untuk melakukkan ekspansi lebih jauh. Kedua, kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah incumbent mungkin akan cenderung melakukkan kebijakan-kebijakan popular yang inflasioner (memacu harga tinggi). Ketiga, kondisi resesi tentu akan menurunkan pendapatan masyarakat dan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Keempat, kondisi resesi tentu akan mengurungkan ekspansi kredit oleh perbankan sehingga mengurangi performace sektor riil secara umum.

Lemahnya kinerja ekonomi Indonesia, setidaknya akan memperburuk indikator sosial ekonomi domestik khususnya pada tingkat kemiskinan dan pengangguran. Dan, jika mungkin dapat dihitung adalah efek resesi ekonomi pada kerusakan lingkungan. Mengapa? Dengan semakin menurunnya profit perusahaan, concern perusahaan terhadap lingkungan sebagai tanggung jawab korporasinya (CSR) tentu akan semakin menurun.

Efek yang cukup signifikan pada perekonomian, tentu akan berimplikasi negatif pada banyak pihak. Khususnya bagi perusahaan yang kehilangan profit, Pekerja yang kehilangan pekerjaan, Lulusan yang tidak dapat pekerjaan dan masyarakat yang semakin miskin.

Dalam menjawab tantangan kedepan, tentu dibutuhkan kebijakan yang down to earth yang mampu menjawab problem yang rumit dalam ekonomi. Secara sederhana, 2 perspektif kebijakan ekonomi (jangka pendek dan jangka panjang) harus dapat diterapkan secara optimal dan proporsional, tanpa membebankan pada salah satunya.

Dalam jangka pendek, policy mix (bauran kebijakan) kebijakan fiskal dan moneter mungkin akan membantu meminimalkan distorsi pada siklus bisnis. Namun analisis lebih dalam tentu harus dilakukkan lebih lanjut sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Terkait dengan kebijakan fiskal, pandangan teoritis yang melihat tambahan output (pertumbuhan ekonomi) akibat kebijakan ekspansi fiskal memang tidak selamanya salah. Namun perlu difahami bahwa kebijakan fiscal sangat rentan dengan masalah keberlanjutan (sustainability). Pertama, fiscal yang berat akan membebankan anggaran pemerintah di masa depan. Dan, kebijakan ini biasanya akan memberikkan efek negative dengan peningkatan koleksi pajak yang semakin besar di masa depan. Kedua, kebijakan fiscal “pengeluaran pemerintah” mungkin akan menciptakan lapangan pekerjaan dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang efeknya dipertanyakan. Kecuali jika proyek infrastruktur dengan dana tersebut, mampu menarik investasi baru yang masuk. Ketiga, kebijakan fiscal rentan terhadap terjadinya efek crowding out, atau dengan kata lain dapat mengurangi investasi swasta.

Terkait dengan kebijakan moneter, “sudah sangat jelas” bahwa perlakuan kebijakan suku bunga (SBI) dalam menjaga stabilitas harga masih sangat diragukkan kefektifannya. Hal ini disebabkan karena Inflasi yang terjadi masih sangat rentan akibat inflasi yang bersumber dari administered price (kebijakan pemerintah) dan volatile foods (inflasi bahan makanan). Dan faktor yang terakhir (volatile foods), bukanlah permasalahan yang mudah, karena terkait dengan permasalahan yang kompleks dibidang tata niaga, tingkat kompetisi usaha dan kebijakan pemerintah. Sehingga, efektivitas kebijakan moneter dari BI seharusnya difokuskan pada penjagaan stabilitas system keuangan khususnya pada aliran modal masuk dan penjagaan stabilitas nilai tukar rupiah. sedangkan, penjagaan inflasi domestic tetap harus dapat disinkronkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait.

Dua kebijakan diatas merupakan kebijakan jangka pendek, yang tentunya memiliki limitasi (keterbatasan) yang sangat tinggi. Khususnya di saat resesi ekonomi yang sangat rentan dengan kondisi yang unconditional (tidak biasa) dan uncertainty (tidak tentu). Sehingga perspektif kebijakan jangka panjang, tidak boleh dilupakan oleh pemerintah. Kunci dasarnya adalah bagaimana mengubah bangsa ini melewati step-step pembangunan, dari perekonomian yang sub sistem ke perekonomian yang lebih inovatif dan berbasis pada kemajuan teknologi tinggi.

Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran yang strategis dalam pengelolaan ekonomi. Dan tentunya dibutuhkan kebijakan yang jangka panjang dan bukan kebijakan yang “karbitan”. Perlu dilakukkan perencanaan yang matang, dan partisipasi yang aktif dari seluruh stakeholder swasta agar partisipasi pembangunan dapat berjalan maksimal. Dalam konteks ini, pengenalan teknologi tinggi pada industry-industri kecil harus dapat difasilitasi oleh pemerintah.

Disisi lain, pemerintah tidak boleh melupakan nasib si kecil “masyarakat miskin”, dan pembangunan desa. Bahwa kebijakan pemerintah tidak boleh hanya difokuskan pada pemberian bantuan yang sifatnya jangka pendek dan tidak memperhatikkan keberlanjutan (sustainability). Intinya ada di dua hal, yaitu: pembangunan komunitas ekonomi masyarakat desa (Kredit mikro, pembangunan sektor pertanian dll) dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (Investing People). Dua hal tersebut merupakan kebijakan sederhana yang dimungkinkan dapat sustainable, dan dapat menopang kinerja ekonomi yang sedang mati suri.

Tidak ada komentar: