Senin, 02 Maret 2009

Peningkatan GWM: Jangan Beri Ruang untuk Ekspansi Kredit “Konsumsi”

Peningkatan GWM: Jangan Beri Ruang untuk Ekspansi Kredit “Konsumsi”

dias.satria@yahoo.com

Saat ini Bank Indonesia tengah memikirkan untuk melakukan revisi terhadap kebijakan GWM (Giro Wajib Minimum) yang dinilai kurang relevan dengan perekonomian domestik.

Secara teoritis, GWM atau yang populer dengan istilah “reserve requirement” merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan moneter yang dapat digunakan untuk mengontrol jumlah uang beredar (JUB), yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi target inflasi yang diharapkan oleh Bank Sentral. Dalam konteks ini, peningkatan GWM memiliki pengaruh yang negatif terhadap peningkatan jumlah uang beredar. Atau dengan kata lain, untuk mengurangi inflasi dengan mengurangi laju JUB, Bank Sentral dapat meningkatkan GWM.

Namun patut disadari bahwa efektifitas kebijakan ini sulit sekali dikendalikan dalam mempengaruhi jumlah uang beredar, karena dalam money multiplier selain GWM masih ada currency ratio dan excess ratio yang perilakunya masing-masing ditentukkan oleh preferensi masyarakat dalam memegang uang kas (currency ratio), dan preferensi bank dalam memegang cadangan lebih (excess ratio). Dan tentu tidak mudah mengetahui bagaimana preferensi keduanya (masyarakat dan bank).

(Dalam model moneter yang sederhana, jumlah uang beredar = money multiplier x uang inti; dan dalam money multiplier, GWM hanyalah salah satu variabel saja yang mempengaruhi money multiplier, karena masih ada currency ratio dan excess ratio.)

Secara empiris, terjadi bipolar pandangan terhadap kebijakan GWM. Beberapa bank sentral dunia yang tidak menerapkan kebijakan GWM dan menitikberatkan pada kebijakan Operasi Pasar terbuka, antara lain: Kanada, Australia, Meksiko, New Zealand, Swedia dan Inggris. Sedangkan beberapa negara yang menerapkan GWM, diantaranya: U.S, India, China, Srilangka, Estonia, Zambia, dll. China, merupakan salah satu negara yang secara aktif melakukkan peningkatan GWM hingga 9 kali di tahun 2007 untuk mengatasi tingginya inflasi yang terjadi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Reserve_requirement)

Namun dalam konteks Indonesia, kebijakan GWM harus secara hati-hati diimplementasikan. Karena kebijakan GWM akan meningkatkan resiko likuiditas pada bank-bank yang memiliki excess reserve (cadangan lebih) yang sangat minim. Hal ini tentu saja dapat membahayakan operasional perbankan, dan membahayakan industri perbankan. Pertama, risiko likuiditas dapat meningkatkan biaya yang tinggi pada bank, karena keharusan untuk menjual aset jangka pendek dengan fire sale atau harga yang murah. Hal ini dilakukkan untuk mendapatkan likuiditas segar. Kedua, jika bank tidak mampu menyiapkan likuiditas yang cukup bagi nasabah, maka ancaman rush atau bank run akan meningkat.

Oleh karena itu, Bank Indonesia harus secara clear harus menjelaskan tujuan untuk merevisi GWM?

Secara sederhana, ekspansi kredit yang sudah terlalu tinggi tentu dapat dijadikan sebagai alasan mengapa Bank Indonesia harus merevisi GWM. Hal ini disebabkan karena tingginya ekspansi kredit dan tentu saja JUB, dapat membahayakan bagi capaian “target” inflasi Bank Indonesia. Dalam konteks ini, Bank Indonesia menganggap pengaitan GWM dan LDR menjadi kurang relevan lagi.

Namun jika ini alasanya (menekan ekspansi kredit), maka kebijakan GWM sebenarnya belum tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena komposisi dalam kredit ada 3 jenis, yaitu: kredit konsumsi, investasi dan modal kerja. Dengan peningkatan GWM ditakutkan akan semakin mendesak atau mengurangi ekspansi kredit dari jenis modal kerja dan investasi. Hal ini disebabkan karena kredit konsumsi dianggap sebaga mainan baru yang menyenangkan bagi perbankan tanah air, karena keuntungan yang menggiurkan.

Dalam konteks ini, Bank Indonesia harus dapat secar jeli melihat permasalahan ekspansi kredit yang mengancam inflasi, khususnya dari sumber ekspansi yang berasal dari tingkat konsumsi yang tinggi. Jangan sampai kebijakan GWM dapat membahayakan output nasional dan pembangunan ekonomi nasional, karena berkurangnya ekspansi kredit investasi dan modal kerja.

Jika mungkin, Bank Indonesia dapat menghambat kredit konsumsi dengan melakukkan peningkatan GWM untuk commercial loans. Hal ini tentu saja dapat meningkat oppurtunity cost bank untuk melakukkan penetrasi kredit konsumsi yang berlebihan. Jika ini yang dilakukkan, maka struktur LDR akan semakin sehat, dengan semakin baiknya proporsi kredit investasi dan modal kerja. (dias.satria@yahoo.com)

Tidak ada komentar: